Pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2019 telah mencapai puncaknya pada 17 April 2019 kemarin. Dalam momentum ini, warga negara Indonesia telah bersama-sama menentukan siapa yang layak menduduki kursi presiden, wakil presiden, dan orang-orang yang akan duduk di parlemen baik di tingkat nasional maupun daerah.
Berdasar hasil quick count yang dilakukan sejumlah lembaga survei kredibel menunjukkan kemenangan Jokowi-Amin rata-rata di angka 54%, ada selisih perolehan suara sekitar 10% dibanding pasangan Prabowo –Sandi yang mendapat angka rata-rata 45%. Sementara untuk pemilu legislatif, diprediksikan ada 9 partai politik yang akan lolos parliamentary threshold, atau ambang batas perolehan suara minimal partai politik dalam pemilu yang dikonversi ke jumlah kursi di parlemen yang ditentukan perundangan.
Berbagai umbul -umbul bendera partai, baliho maupun stiker kampanye telah diturunkan. Tensi ketegangan juga semestinya mulai mereda hingga nanti menunggu hasil dari KPU. Namun nyatanya klaim kemenangan berdasarkan quick count masih saja meninggalkan residu ambisi politis. Apalagi kedua pasangan calon pemimpin mempunyai keyakinan yang sama kuat telah menang pada pemilu 2019.
Saling Klaim Kemenangan
Deklarasi kemenangan dalam Pilpres 2019 telah digelar masing-masing calon presiden. Joko Widodo mengklaim kemenangannya didasarkan pada data perolehan suara sementara lewat hitung cepat (quick count) yang dilakukan belasan lembaga survei. Sementara Prabowo dalam tiga kali deklarasi, tetap mengaku unggul dengan angka 62% berdasarkan penghitungan hasil TPS (form C1 plano) yang dikumpulkan oleh tim kampanye Prabowo-Sandi. Keduanya saling klaim kemenangan
Riuh rendah reaksi atas hasil hitung cepat pun terjadi juga dalam percakapan media sosial dan pemberitaan media daring. Perdebatan dan polemik antar pendukung pasangan calon presiden tak bisa dihindari. Tudingan hasil hitung cepat adalah sebuah rekayasa untuk menggiring opini publik pun terlontar, sehingga polarisasi di kalangan warganet pun masih terus berlanjut. Tentu ini bukanlah hal yang baik, karena bisa berujung pada konflik.
Memang, Scannell (2010) memaparkan bahwa konflik adalah suatu hal alami dan normal yang timbul karena perbedaan persepsi, tujuan atau nilai dalam sekelompok individu. Namun demikian, jika masing-masing pihak mau menang sendiri tanpa mengedepankan obyektivitas, maka akan berlanjut ketahap polarisasi bahkan konflik memasuki tahap segregasi (saling menjauh, putus komunikasi). Tentu ini bukanlah hal yang baik.
Kita mesti menyadari bersama, hitung cepat adalah salah satu metodologi ilmiah dalam bidang riset yang bisa dipertanggungjawabkan hasilnya. Meski demikian hasil hitung cepat bukanlah kesimpulan akhir. Dia hanya memberikan sebuah indikasi, dengan tingkat kesalahan yang terukur, sekitar 1 hingga 3 persen. Karenanya berdebat atas hasil perhitungan cepat beberapa Lembaga survei, menjadi tidak produktif, karena tidak akan bisa memengaruhi hasil akhir perolehan suara pemilu.
Para konstestan sebaiknya bersiap menerima apa pun hasil pemilu yang digelar hari ini. Protes berlebihan dari pihak yang kalah, apalagi tanpa dukungan bukti, hanya akan memperlihatkan sikap yang kurang berjiwa besar. Mewaspadai segala bentuk kecurangan memang penting, mempersoalkan hasil pemilu juga merupakan hak setiap kontestan. Tapi sebaiknya hal tersebut dilakukan lewat mekanisme demokrasi dan hukum yang berlaku.
Kawal Sesuai Konstitusi
Konstitusi menghormati hak siapa pun yang merasa dirugikan dalam penyelenggaraan Pemilu, dan menyediakan saluran hukum untuk memperjuangkan keadilan dan kebenaran. Dalam konteks Pileg dan Pilpres, hukum yang berlaku sudah menyediakan pola penyelesaian sengketa secara berjenjang. Mulai dari pengadilan tingkat pertama, banding sampai dengan kasasi ke Mahkamah Agung.
Untuk penyimpangan atau kecurangan yang bersifat terstruktur, sistematis dan masif (civil process), tersedia jalur penyelesaian melalui Mahkamah Konstitusi (MK). Mahkamah Konstitusi (MK) mendapat mandat untuk memutus perselisihan hasil pemilu sebagaimana ketentuan Pasal 24 C ayat (1) UUD NRI 1945 yang kemudian dijabarkan melalui UU No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang pada prinsipnya perselisihan hasil suara Pemilu diselesaikan melalui Mahkamah Konstitusi dengan cakupan kewenangan yang lebih luas, dari Pemilu presiden, legislatif, dan Pemilukada.
Sementara itu, untuk penyimpangan yang menyangkut personel penyelenggara Pemilu meliputi pidana Pemilu, administrasi Pemilu maupun kode etik penyelenggaraan Pemilu (crime process) dapat diajukan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Hal ini sebagaimana ketentuan dalam UU No. 7 Tahun 2017 Pasal 97 yang menyebutkan bahwa tugas Bawaslu melakukan pencegahan dan penindakan terhadap: pelanggaran Pemilu, sengketa Pemilu, dan menyelesaikan sengketa pemilu melalui Ajudikasi nonlitigasi.
Dengan demikian, jangan sampai ketidakpuasan atas hasil Pemilu dilampiaskan dengan cara-cara yang di luar koridor hukum. Hal tersebut perlu diingatkan, mengingat sudah banyak kasus kerusuhan baik di dunia maya ataupun nyata, terutama atas hasil Pemilu yang melampiaskan ketidakpuasannya dengan cara-cara anarkistis. Berangkat dari pengalaman itulah, kita mendorong semua pihak untuk menempatkan hukum sebagai panglima.
Perlu Sikap Kenegarawanan
Kita tentu berharap seluruh elite politik memiliki jiwa kenegarawanan serta bersabar untuk menunggu hasil akhir perhitungan dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), lembaga yang diamanatkan konstitusi sebagai penyelenggara pemilu. KPU sendiri sesuai peraturan akan mengumumkan hasil akhir perhitungan suara paling lama 35 hari setelah pemungutan suara, (22 Mei 2019).
Sikap kenegarawanan diperlukan baik oleh pemenang maupun yang kalah. Sang pemenang harus tetap rendah hati. Menang tanpa ngasorake (menang tanpa merendahkan), harus menjadikan mandat rakyat sebagai amanat untuk memajukan negara dan menyejahterakan rakyat. Hindari kejemawaan, keangkuhan, euphoria berlebihan dan menganggap pesaing sebagai pecundang.
Bagi yang kalah, harus bisa menerima dengan lapang hati, legowo. Karena sejatinya Pemilu itu adalah agenda lima tahunan untuk memilih pemimpin secara demokratis, sehingga sejak awal harus disadari bahwa dalam kontestasi tersebut menang dan kalah adalah suatu kepastian yang harus disikapi dengan lapang dada. Hindari sikap menghasut, menuding serta menyulut emosi publik untuk saling curiga, karena ini akan menyebabkan perpecahan diakar rumput.
Selain itu, penyelenggara Pemilu (KPU) dan Pengawas Pemilu (Bawaslu) juga harus bisa menunjukan sikap kenegarawannya. Mereka harus melaksanakan tugasnya secara baik, profesional, dan berintegritas sesuai dengan peraturan yang berlaku. Begitu pun masyarakat yang telah terpolarisasi seharusnya bisa cair kembali setelah hari pemuncak pada 17 April 2019 berlalu.
Berangkat dari narasi di atas, menjadikan Pemilu menjadi momentum penuh cinta adalah keniscayaan. Agar tidak memberi ruang untuk saling membenci, berkonflik, dan memutus persaudaraan. Sebagaimana Mahatma Gandhi pernah menceritakan, “Di mana ada cinta, di situ ada kehidupan”.
Salam Damai Indonesia Ku!
Dadan Rizwan Fauzi, S.Pd.
Mahasiswa Pkn Pascasarjana UPI
Baca juga:
Berebut Simpati Pemilih Mengambang (Swing Voters)
Ironi Partai Politik dalam Pusaran Korupsi
Wajah Buram Disfungsi Kampanye Pemilu 2019