Masa kampanye Pemilu 2019 tinggal beberapa minggu lagi. Kedua pasangan calon presiden dan wakil presiden semakin gencar melakukan safari politik ke basis-basis pemilih guna meraup suara. Berbagai manuver propaganda politik mengemuka di berbagai ruang publik. Arena pertarungan menggema, riuh rendah dan akan semakin meninggi menuju hari pelaksanaan pemilihan umum, 17 April 2019.
Di antara 11 tahapan pemilu, tahapan kampanye merupakan hal yang paling penting bagi rakyat. Melalui kampanye, para calon presiden dan wakil presiden memberitahukan kepada warga masyarakat tentang apa yang akan dilakukannya jika kelak dirinya terpilih. Bagi rakyat, informasi ini menjadi sangat penting sebagai referensi dalam menentukan pilihan pada hari pencoblosan kelak.
Namun sayangnya, kampanye Pilpres hingga saat ini masih minim gagasan, membosankan, dan belum banyak menyentuh substansi permasalahan kebangsaan. Kampanye masih berkutat pada isu-isu kulit permukaan. Dalam kondisi ini, kampanye menjadi bias makna, kental seteru kepentingan, bukan lagi ajang pembelajaran politik, yang seharusnya open minded dan memberikan maslahat.
Terjebak Sinisme Politik
Semakin hari, perjalanan menuju pilpres 2019 dirasa semakin mengkhawatirkan, terutama mengenai konten kampanye atau substansi yang mereka “tawarkan” ke publik. Kampanye Pilpres yang sejatinya menjadi ajang adu gagasan, rencana program, dan kreativitas justru berubah menjadi arena saling sindir, saling serang pernyataan, dan saling “baper” antara masing-masing paslon.
Dalam hal politik identitas, pihak penguasa maupun oposisi sama-sama menggunakan perangkat agama dalam permainan politik. Satu pihak menyebut agama sebagai alat pembenar “ikhtiar” politiknya, sementara pihak lain menggunakan agama untuk memuluskan kekuasaannya. Kedua kubu pun serasa memiliki “saham agama”. Ironisnya perdebatan ini terus dilakukan secara berulang mengakibatkan terciptanya tsunami sinisme politik di mana-mana.
Politik sinisme tersebut secara umum bisa kita lihat dari empat bentuk utama. Pertama, penyampaian pesan yang selalu parsial, cenderung dangkal, tidak substansial, bahkan cenderung mengadaada. Kedua, kritik yang dilakukan selalu serampangan tanpa data akurat, sekadar untuk memukul lawan. Ketiga, penyampaian pesan emosional, yang menunjukkan kegeraman atau mengarah pada agitasi. Keempat, inisiasi untuk menyinggung lawan lewat pesan-pesan yang sumir dan multitafsir.
Di media sosial, polarisasi pilihan Capres dan Cawapres semakin menguat. Para peserta pemilu, mulai dari Capres sampai anggota Timsesnya lebih asik ‘berbalas pantun’ dengan konten dan diksi yang tidak mencerdaskan. Badai dikotomi kelompok ‘cebong’ dan ‘kampret’ semakin kuat frekuensinya dengan saling ejek mengejek secara vulgar, media sosial kini sudah sangat pengap dipenuhi dengan aroma dan bumbu-bumbu kebencian.
Fenomena sinisme politik ini semakin diperparah dengan banyaknya berita bohong (hoax) yang diproduksi dan disebarkan di berbagai media. Ironisnya, banyak pula para elit politik dan kaum intlektual yang memviralkan bahkan ikut melegitimasi atas berita bohong (hoax) yang beredar tersebut. Di titik ini, masyarakat semakin sulit mendapatkan rujukan berita atau liputan atas sebuah pristiwa di panggung nasional yang mengasah nalar politik yang berkeadaban.
Harold Adams Innis seorang ilmuwan Kanada dalam bukunya The Bias of Communication (1951) mengatakan bahwa monopoli informasi lambat laun akan mempengaruhi dan “menyeimbangkan” sebuah sistem. Ada kecenderungan pendidikan politik bergeser menjadi marketing politik. Marketing semacam ini dikemas dengan berbagai isu dan terus digelontorkan dalam setiap pemilihan.
Perang propaganda elit membuat wajah demokrasi penuh cacian. Parpol menjelma sebagai orkestra nyanyian sinisme. Elite-nya bak konduktor yang menginstruksikan nada-nada sekat dalam berkontestasi. Alhasil, yang diperlihatkan oleh para opinion leader bukanlah sebuah pesan komunikasi politik yang mendidik dan berkualitas, melainkan konstelasi ajang akrobat sinisme elite yang dibalut dengan bumbu agama.
Implikasinya, di tataran akar rumput, masyarakat semakin gampang tersulut dan terkontaminasi untuk kemudian masuk ke dalam wilayah saling hujat tanpa beralaskan objektivitas dan interpretasi politik yang jernih. Masyarakat sebagai pemilik ‘kekuasaan politik mini’ di dunia maya (social media), kini telah menjadi sasaran sindrom kekuasaan para elite yang terjangkit virus demagogisme, sebuah ungkapan kekhawatiran Aristoteles akan rusaknya tatanan demokrasi.
Harus Segera dihentikan
Tren politik nyinyir atau sinisme yang dilontarkan parpol dan elite-nya tentu harus segera diselesaikan. Meskipun sinisme politik ini memang tidak mematikan secara fisik, namun Efek dari politik sinisme ini bisa jangka panjang, karena akan berdampak terhadap polarisasi masyarakat yang bisa menimbulkan kekacauan politik (political chaos) yang sangat sukar untuk diurai.
Sebenarnya, dalam hal Pemilu sudah ada beberapa Peraturan KPU yang mengatur tentang pelarangan menggunakan isu SARA, namun sejauh ini tidak memberikan efek jera dan cenderung hanya bersifat imbauan. Demikian halnya dengan keberadaan Bawaslu yang tak kuasa merevitalisasi fenomena ini. Jika terjadi pembiaran seperti, nilai demokrasi bergeser menjadi kontraproduktif.
Untuk menyelesaikan permasalahan ini, sesungguhnya bisa dijerakan dengan menjalankan amanat konstitusi yang ada. Pada Pasal 40 ayat 2 UU 2/2011 tentang Parpol, telah diatur larangan parpol melakukan “kegiatan yang membahayakan keutuhan dan keselamatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sanksinya bisa pembekuan hingga pembubaran di Mahkamah Konstitusi (MK) seperti diatur Pasal 48.
Dalam hal ini, MK bisa menafsirkan Pasal 40 ayat 2 bahwa segala bentuk sinisme dan propaganda yang dilakukan elite (pengertian elite melekat dengan parpolnya) masuk kategori kegiatan yang membahayakan keutuhan negara sehingga sanksinya bisa pada pembekuan dan pembubaran parpol. Jadi, tidak hanya kejahatan korupsi, terorisme dan larangan menyebarkan ajaran komunisme/Marxisme-Leninisme saja yang diartikan membahayakan keutuhan negara seperti Pasal 40 ayat 5 UU Parpol.
Kini momentum Pemilu sudah di depan mata. Setiap elit Parpol seharusnya memiliki tanggung jawab moral untuk mendidik dan mencerahkan masyarakat. Undang-undang 2/2011 tentang Parpol menegaskan pentingnya pendidikan politik sebagai perekat persatuan dan kesatuan. Pendidikan politik harus dilakukan oleh parpol agar masyarakat sadar berpolitik dan berpartisipasi dalam pembangunan. Jika melirik konstitusi, partai politik diperintahkan untuk menjalankan pendidikan politik.
Selain itu, masyarakat harus bisa menggunakan hak politiknya tanpa terintimidasi oleh hasutan para elit. Masyarakat juga harus sadar memilih Parpol maupun elit-nya yang bersikap negarawan bukan politikus sejati. Kalaupun toh tidak bisa menghentikan, biarkan para “demagog” terus bernyanyi sinisme karena memang itulah kapasitasnya.
Semoga ke depan, badai sinisme ini segera mereda, sehingga kita sebagai generasi muda bisa berkesempatan untuk belajar pola interaksi dalam berpolitik sebagaimana mestinya. Karena politik itu akan memberikan dampak yang baik apabila dilakukan secara benar.
Dadan Rizwan Fauzi, S.Pd
Mahasiswa Pkn Pascasarjana UPI
Baca juga:
Debat Perdana Pilpres: Antara Optimisme dan Pesimisme Penyelenggaraan Pemilu 2019
Menyongsong Pemilu 2019
Menangkal Pemilu Berbalut Hoax