Berebut Simpati Pemilih Mengambang (Swing Voters)

Gelaran Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 tinggal tersisa beberapa minggu lagi. Berbagai manuver propaganda politik mengemuka di berbagai ruang publik. Arena pertarungan menggema, riuh dan gemuruh semakin meninggi menuju hari pelaksanaan pemilihan umum pada, 17 April 2019. Tinggal satu bagian yang diperebutkan, yaitu para pemilih mengambang (swing voters).

Pada Ahad (24/3) lalu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan kampanye rapat umum atau kampanye akbar dimulai dari tanggal 23 hingga 13 April 2019. Praktis, momentum ini membuat kedua pasangan calon presiden (Capres) dan wakil presiden (Cawapres) semakin gencar melakukan safari politik ke basis-basis pemilih di daerah. Selain untuk saling menyakinkan pendukungnya juga sebagai ajang saling menggaet suara mengambang (swing voters).

Dalam literatur ilmu politik, istilah pemilih mengambang (swing voters) dipakai untuk menyebut kelompok masyarakat-pemilih yang belum menentukan pilihan politiknya atau tidak terikat baik secara organisatoris maupun secara psikologis dengan partai politik atau figur politik tertentu.

Bacaan Lainnya
DONASI

Terus Meningkat
Sejak era Reformasi, tren Golput menunjukkan adanya kenaikan yang signifikan pada tiap penyelenggaraan Pemilu. Berdasarkan data KPU, pada pemilihan legislatif pertama era Reformasi yakni tahun 1999 jumlah Golput mencapai 7,30 persen. Pada Pemilu selanjutnya, yakni tahun 2004 jumlah itu naik menjadi 15,90 persen. Pada Pemilu 2009 angka Golput kembali naik menjadi 29,10 persen dan turun menjadi 24,89 persen pada Pemilu tahun 2014.

Tren peningkatan angka Golput juga terjadi dalam konteks Pemilihan Presiden. Pada Pilpres tahun 2004 yang merupakan Pilpres pertama yang dilakukan secara langsung angka Golput mencapai 21,80 persen pada putaran I dan naik ke angka 23,40 persen pada putaran II. Pada Pilpres 2009 yang hanya dilakukan dalam satu putaran, jumlah angka Golput mencapai 28,30 persen, sedangkan pada pemilu 2014 terus mengalami kenaikan yang signifikan dengan jumlah angka Golput mencapai 29,01 persen.

Hal serupa juga disampaikan oleh Ketua Umum Perkumpulan Swing Voters, Adhie M Massardi. Berdasarkan data yang dimiliki Perkumpulan Swing Voters (PSV), angka swing voters mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Dimulai dari 7,3 % pada Pemilu 1999, 15,9 % pada Pemilu 2004, 28,3 % pada Pemilu 2009, dan 29,1 % pada Pemilu 2014.

Sementara itu, untuk pemilu 2019, berdasarkan hasil survei terbaru Alvara Research Center dikutip dari detik.com, Jumat (25/3/2019). “Elektabilitas pasangan Joko Widodo-KH Maruf Amin sebesar 53,9 %, sementara elektabilitas pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno sebesar 34,7%. Di mana yang belum memutuskan sebesar 11,4%,”. Hal ini mengalami penurunan dari survei sebelumnya, yaitu “Bulan Desember, elektabilitas Jokowi-Ma’ruf 54,3%. Sementara Prabowo-Sandi sebesar 35,1%. Sedangkan undecided voters-nya sebesar 10,6%,”.

Dari data-data tersebut, ini mengindikasikan bahwa, keberadaan pemilih mengambang (swing voters) dan “undecided voters” tidak dapat dipandang sepele, jumlahnya pun tidak pernah sedikit, seolah “swing voters” ini telah menjadi bagian tidak terpisahkan dalam setiap hajatan politik nasional. Tidak terkecuali dalam konteks Pemilihan Umum yang akan diselenggarakan 19 April 2019 mendatang.

Kampanye Minim Subtansi
Fenomena tingginya angka pemilih mengambang yang berkorelasi positif pada membengkaknya jumlah angka Golput pada dasarnya disebabkan oleh beberapa faktor.

Pertama, Program dan visi misi kandidat kurang menarik. Kampanye Pilpres yang dilakukan oleh masing-masing kandidat beserta tim pemenangannya masih minim gagasan, membosankan, masih berkutat pada isu-isu kulit permukaan sehingga belum banyak menyentuh substansi permasalahan masyarakat.

Minimnya kreativitas dalam berkampanye mengakibatkan pemilih menjadi bingung dan bimbang. Jokowi-Ma’ruf, sebagai calon petahana, hanya bermain di wilayah emosional dan elektoral menggunakan gaya pencitraan saja tanpa disertai program perbaikan (revitalisasi) yang lebih fresh dan real dari program dan kebijakan periode sebelumnya, khususnya untuk tenaga pengajar.

Begitupun sang petahana Prabowo-Sandi, mereka sekadar melakukan agresivitas verbal sloganistik tanpa ditunjang program dan gagasan alternatif yang lebih tematik, komprehensif, dan membangun dialektika gagasan berbasis data dan fakta

Kedua, mesin partai politik belum maksimal. Tidak berfungsinya lembaga-lembaga perwakilan masyarakat, khususnya DPR, DPRD, dan MPR, serta maraknya kasus korupsi, kolusi, nepotisme (KKN) yang melibatkan anggota lembaga perwakilan rakyat menyebabkan kepercayaan masyarakat terhadap parpol menjadi lemah, sehingga kepercayaan masyarakat terhadap Capres dan Cawapres pun ikut menyusut.

Menurut hasil poling Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) pada tahun 2017 mengungkapkan kedekatan psikologis (party identification) dengan partai lemah, hanya sekitar 11,7%. Hasil polling tersebut juga mengungkap swing voters paling banyak dialami Partai Demokrat (51%), kemudian diikuti PAN (50%), PPP dan Hanura (masing-masing 47%), Gerindra (45%) dan Golkar (38%). Adapun partai yang paling sedikit swing voters-nya adalah PKS (20%) dan PDI-P (23%).

Ketiga, Swing Voters dipenuhi pemilih Rasional (intelektual). Pemilih kategori rasional ini mengutamakan rekam jejak dan program yang dijanjikan, sekaligus menganalisis kemungkinan program-program tersebut relevan untuk dikerjakan atau tidak. Mereka tidak begitu peduli faktor ideologi suatu partai dari kandidat tertentu. Kebanyakan dari pemilih ini dipenuhi kaum milenials.

Berdasarkan data Saiful Mujani Research Center (SMRC) dikutip dari katadata.co.id. Pada Desember 2017, jumlah generasi milenial dengan rentang umur 17-34 tahun mencapai 34,4% dari jumlah masyarakat Indonesia sebesar 265 juta. Sementara itu, KPU memprediksi jumlah pemilih muda saat ini diperkirakan mencapai 70-80 juta atau 35-40% dari 139 juta pemilih.

Angka-angka di atas tentu bukan sekedar data, namun bisa dipahami sebagai semacam peta politik bagi para kontestan yang bertarung di Pemilu 2019. Memaksimalkan perolehan suara di kalangan pemilih mengambang tentu menjadi tantangan bagi para kompetitor. Untuk itu, diperlukan reorientasi strategi agar perolehan suara di ceruk pemilih mengambang itu dapat dimaksimalkan

Reorientasi Strategi Kampanye
Setidaknya, ada tiga hal yang mesti dilakukan untuk memaksimalkan perolehan suara di kalangan pemilih mengambang.

Pertama, Branding atau program yang tepat. Dalam hal ini, program yang ditawarkan bukan hanya berorientasi kepada elektabilitas, tetapi harus berorientasi kepada tawaran solusi atas berbagai problem sosial. Karena swing voters adalah pemilih yang abu-abu sehingga perlu pendekatan yang berbeda dengan program yang nyata

Model kampanye yang menawarkan solusi imajiner, apalagi dibarengi dengan mengeksploitasi sentimen identitas tidak diragukan akan kian menebalkan sikap pesimisme kalangan pemilih mengambang.

Kedua, melakukan pemetaan geografis, yakni mengidentifikasi di wilayah mana saja sebaran pemilih mengambang memiliki jumlah yang signifikan. Memang belum ada data yang pasti mengenai di wilayah mana kelompok pemilih mengambang paling banyak tinggal. Namun, dari hasil pemetaan jumlah suara golput pada Pemilu dan Pilpres periode sebelumnya, agaknya kita bisa menarik kesimpulan mengenai jumlah suara mengambang.

Ketiga, melakukan Pendidikan Politik secara sosiologis-ideologis melalui kampanye terbuka. Dalam hal ini, yang perlu dilakukan adalah bukan sekedar mengajak masyarakat untuk menjadi “partisan Pemilu” atau pendukung Pemilu, layaknya pendekatan “salesmanship”, namun bergerak di wilayah “generik” kemanfaatan pragmatis bagi masyarakat melalui upaya politik.

Dengan upaya demikian, diharapkan “swing voters” dan “undecided voters” ini bisa dimaksimalkan. Karena Perkara menang dan kalah dalam kontestasi Pileg dan Pilpres adalah perkara kesiapan dan kematangan strategi kampanye politik. Jika strategi kampanye tidak mumpuni, maka sudah dapat dipastikan: kegagalan dan frustasi (bagi yang tidak siap kalah) yang akan didapati.

Dadan Rizwan Fauzi, S.Pd.
Mahasiswa PKn Pascasarjana UPI

Baca juga:
Wajah Buram Disfungsi Kampanye Pemilu 2019
Menyongsong Pemilu 2019
Ironi Partai Politik dalam Pusaran Korupsi

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI