Indonesia menganut sistem demokrasi, yaitu pemerintahan dari rakyat, untuk rakyat, dan oleh rakyat (Abraham Lincoln). Demokrasi terwujud dengan diadakannya pemilu. Menurut Undang-Undang Dasar 1945 pasal 1 ayat (2) “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Pada tanggal 17 April 2019 yang lalu diadakan pemilu serentak untuk memilih calon presiden, wakil presiden, dan calon legislatif. Sehingga pada hari Rabu diliburkan nasional. Terdapat 5 kertas suara yang terdiri dari pemilihan presiden dan wakil presiden berwarna abu-abu, DPD RI warna merah, DPR RI warna kuning, DPRD Provinsi warna biru, dan warna hijau DPRD Kabupaten/Kota.
Rakyat mempunyai peran dan hak untuk ikut serta menentukan atau memilih pemimpin yang diharapkannya. Pemilihan presiden dan wakil presiden dilakukan lima tahun sekali sesuai dengan aturan yang berbunyi “Presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan” (Pasal 7 UUD 1945). Pemilu kali ini memang berbeda dari pemilu sebelumnya. Untuk pertama kalinya pemilihan presiden dan pemilihan legislatif diadakan dalam waktu yang bersamaan.
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. UU ini terdiri atas 573 pasal, penjelasan, dan 4 lampiran. Hal tersebut membuat Indonesia dipandang bagus oleh dunia Internasional dalam penyelengaraan demokrasi ini. Padahal nyatanya tidak demikian. Begitu banyak biaya yang harus negara keluarkan untuk penyelenggaraan pemilu ini. Dikutip dari https://www.detik.com/ anggaran untuk pemilu mencapai Rp 25 T. Selain itu, karena kurangnya persiapan yang matang, para pemilih ada yang tidak bisa melakukan pencoblosan karena kehabisan surat suara.
Dapat dikatakan bahwa pemilu 2019 berjalan dengan lancar, aman dan tertib. Akan tetapi ada masalah besar yang muncul dalam pesta demokrasi ini. Dibalik kebahagian terselenggaranya pemilu serentak ini, ada kesedihan mendalam. Dalam penyelenggaraan pemilu 2019 diketahui bahwa anggota KPPS (Kelompok Penyelenggaraan Pemunngutan Suara) yang meninggal sebanyak 540 orang dan ribuan orang masuk rumah sakit berdasarkan sumber dari berita https://jogjainside.com-headline .
Apa yang menjadi faktor meninggalnya anggota KPPS? Kemungkinan mereka yang meninggal dikarenakan sudah mempunai riwayat penyakit seperti jantung, gagal ginjal, hipertensi, asma, stroke yang dapat mengakibatkan kematian. Anggapan dari masyarakat dikarenakan faktor kelelahan saat menjadi anggota KPPS yang harus bekerja dari sebelum pemilu sampai dengan selesainya perhitungan suara. Alur penyelenggaraan pemilu sebelum hari H dengan mempersiapkan kotak suara, meja, tenda dan perlengkapan lainnya. Pada saat hari pelaksanaan sudah harus di TPS pagi hari untuk melakukan pencoblosan. Selesai pencoblosan dilakukan perhitungan suara. Perhitungan dapat diulang jikalau terjadi kecurangan. Penyelenggaraan pemilu yang serentak dengan jumlah surat suara ada lima, membutuhkan waktu yang sangat lama saat perhitungan suara. Kebanyakan TPS selesai melakukan perhitungan suara sampai dini hari pukul 02.00. Tiap TPS maksimal ada 300 surat suara, berarti ada 1500 surat suara yang harus dihitung. Para anggota KPPS dipaksa untuk bekerja selama 24 jam untuk menyelesaikan pemilu. Padahal seharusnya jam kerja 8 jam. Mengingat anggota KPPS yang bersifat sukarela dengan diberi bayaran yang tidak setimpal dengan kerja kerasnya. Adanya beban pikiran untuk mengisi formulir yang begitu banyak, ditambah rasa capek atau kelelahan yang dapat memicu penyakit dan menyebabkan kematian
Maka dari itu, diharapkan pemerintah segera menyelesaikan penyebab dari kematian anggota KPPS. Perlu perhatian khusus karena banyak nyawa yang hilang. Pemberian dana santunan kepada keluarga anggota KPPS dirasa perlu. Selain itu seharusnya adanya kajian mendalam tentang sistem pemilu ini sebelum diputuskan, dan untuk kedepannya supaya tidak terjadi lagi. Jika tidak diusut akan menjadi momok yang menakutkan untuk para anggota KPPS. Dalam penanganan kasus ini perlu dibentuk Tim Gabungan Pencari Fakta yang independen, selain itu adanya lembaga Komnas HAM untuk meneliti jika ada kematian anggota KPPS ini termasuk pelanggaran HAM atau tidak. Dukungan dari aktivis juga diperlukan untuk menyuarakan apa yang terjadi dinegeri ini. Walaupun kematian merupakan kehendak dari sang pencipta, tetapi hal ini perlu diusut. Perlu penelitian yang dilakukan dengan mewawancarai korban atau dengan melakukan otopsi korban jika diperbolehkan oleh pihak keluarga. Untuk melakukan otopsi sendiri itu sangat sulit karena korban sudah dikubur dan hal yang tidak manusiawi jika harus digali dan diotopsi. Sumber dari korban yang sakit bisa diperoleh. Kedepannya, para anggota KPPS harus mempunyai bukti pemeriksaan sehat dari dokter.
Pelaksanaan pemilu tahun 2024 jika diadakan serentak lagi, adanya kebijakan untuk memperpanjang waktu pemilu atau dengan menggunakan teknologi dalam pemilu. Selain itu dengan dilakukan shift pemungutan suara. Ataukah dipisah antara pemilu nasional dan daerah. Sebenarnya pemilu serentak ini membuat pemilih bingung karena dihadapkan oleh banyak pilihan. Masalah pemilu lain seperti kurangnya surat suara. Memang dalam penyusunan rancangan Undang-Undang sudah memikirkan dampak baik dan buruknya aturan tersebut. Akan tetapi, pemerintah dirasa belum melakukan uji coba Undang-Undang tentang Pemilihan Umum ini.
Azizah Nur Afifah
Mahasiswa Pendidikan Kewarganegaraan dan Hukum Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta
Baca juga:
Demokrasi dan Masa Depan Pemilu
HMI Badko Nusra Desak Presiden Jokowi Bertanggung Jawab Terkait Tragedi Demokrasi di Jakarta
Ironi Demagogi Politik dalam Pesta Demokrasi