Fakultas Kedokteran: Profesi atau Gengsi?

Fakultas Kedokteran
Ilustrasi Fakultas Kedokteran (Sumber: Penulis)

Siapa yang tidak kagum pada dokter? Bekerja dengan alat-alat yang keren dan mengobati banyak orang, membuat dokter menjadi cita-cita yang seringkali diidamkan oleh banyak orang.

Dokter adalah sebuah profesi mulia. Ia rela mengorbankan waktunya untuk mengobati pasien yang membutuhkan. Terkadang seorang dokter bahkan tidak beristirahat untuk menjalankan operasi.

Image kita sebagai Masyarakat kepada dokter selalu baik, seperti saat berkonsultasi, dokter selalu terlihat tenang dan menunjukkan senyum. Seolah dokter adalah manusia tanpa celah yang tidak boleh mempunyai kekurangan.

Bacaan Lainnya
DONASI

Untuk menjadi seorang dokter, kita perlu melalui banyak tahapan. Pada tiga setengah tahun pertama, calon dokter akan menempuh tahap Pendidikan akademik yang akan dilanjut dengan Pendidikan profesi selama satu setengah sampai dua tahun.

Tahap selanjutnya adalah uji sertifikasi dan internship. Setidaknya untuk mencapai Tingkat dokter spesialis, calon dokter memerlukan waktu 7-10 tahun. Dengan lamanya waktu Pendidikan dan materi yang tentunya tak sedikit, seseorang yang ingin menjadi dokter memerlukan keinginan yang kuat agar tidak berhenti di Tengah-tengah.

Menariknya, peminat prodi kedokteran dari tahun ke tahun selalu tinggi. Menurut prof ashari, Ketua tim umum penanggung jawab SNPMB, kedokteran menjadi salah satu dari empat prodi dengan peminat terbanyak pada penerimaan mahasiswa baru tahun 2023. Hal ini menjadi pembahasan menarik bagi banyak pihak.

Mengapa program studi yang menghabiskan banyak waktu dan biaya ini sangat diincar oleh banyak calon mahasiswa? Bukankah masih banyak jurusan lain dengan prospek kerja yang menjanjikan dengan waktu kuliah yang lebih sedikit? Atau hanya karena ingin memperoleh status yang tinggi dan memenuhi semua kriteria pasangan idaman?

Favoritisme Masyarakat kepada Dokter

Sudah tidak heran bahwa Masyarakat memberikan perlakuann special kepada dokter. Dokter dianggap sebagai profesi suci yang kedudukannya lebih tinggi daripada yang lain. Stigma ini sudah ada sejak dulu, dimana orang-orang yang bisa menempuh Pendidikan untuk menjadi dokter hanyalah orang-orang yang berasal dari status keluarga yang tinggi.

Orang-orang ini juga dianggap memiliki kepintaran yang lebih dibandingkan dengan Masyarakat lain yang saat itu bersekolah saja tidak bisa. Waktu untuk menyelesaikan studi dokter secara paripurna juga tidak sebentar, dengan biaya yang tidak sedikit. Tak heran apabila Masyarakat berlomba-lomba untuk menjadi dokter atau mempunyai pasangan seorang dokter.

Dokter dan Keluarga

Apakah anda memiliki teman yang mempunyai silsilah keluarga besar berprofesi dokter? Tentu saja hal itu sudah seringkali kita temui di Masyarakat. Umumnya, mereka memiliki rumah sakit sendiri yang mereka jadikan tempat kerja keluarga.

Mempunyai keluarga besar dokter tentu saja memunculkan privilege tersendiri di Masyarakat, namun di sisi lain, juga memunculkan tuntutan bagi anak-anaknya. Masyarakat akan menganggap keturunan keluarga tersebut yang memilih jurusan lain selain kedokteran dan Kesehatan merupakan anak yang gagal dan tidak terlalu pintar.

Tidak hanya dari Masyarakat, dari sisi keluarga juga menekankan kepada anak-anak mereka untuk meneruskan profesi dokter karena khawatir anaknya akan gagal jika tidak memilih jalan yang sama, mengesampingkan minat dan kemampuan dari anak tersebut.

Hal tersebut dapat menimbulkan efek yang kurang baik pada psikologis anak karena tidak dapat menyalurkan minat dan kemampuannya secara optimal. Apalagi dengan waktu tempuh Pendidikan yang sangat lama, menjadi seorang dokter dapat menekan mereka karena harus terjebak dan mempelajari hal yang kurang mereka sukai.

Menjadi Dokter di Indonesia Akhir-Akhir Ini

Menurut Data Kemenkes 2023, sekitar 650 puskesmas belum memiliki dokter dan 5.354 lainnya belum memiliki tenaga Kesehatan yang lengkap. Jumlah tersebut tergolong sangat besar dan dengannya dapat kita simpulkan bahwa masalah pemerataan dokter dan tenaga Kesehatan lainnya masih harus diupayakan.

Banyak pasien-pasien di daerah yang tidak mendapat perlakuan secara tepat karena kurangnya tenaga Kesehatan dan ketersediaan alatnya. Kementrian Kesehatan menyebutkan bahwa satu-satunya cara adalah menambah jumlah dokter spesialis.

Sayangnya, terdapat Hambatan dari usul kemenkes tersebut yaitu waktu yang dibutuhkan oleh dokter umum untuk menjadi dokter spesialis juga tidak sebentar.

Umumnya, untuk menjadi dokter spesialis memerlukan waktu sekitar empat sampai paling lama enam tahun sesuai dengan spesialisasi yang diambil. Penambahan jumlah dokter spesialis juga tidak dapat menjamin isu pemerataan ini terselesaikan dengan optimal.

Banyak pertimbangan lain seperti jauh dari keluarga, daerah yang dituju kurang diinginkan, juga infrastruktur dan alat-alat yang tidak memadai membuat dokter-dokter enggan berada di daerah dan memilih menetap di kota-kota besar.

Terdapat stigma lain dari Masyarakat bahwa kata dokter melekat dengan kata kaya. Dokter memiliki gaji yang besar dengan masa depan yang cerah.

Rumah yang besar dan perhiasan yang bagus juga kehidupan  yang terjamin untuk keturunannya. Namun pada realitanya, gaji dokter umum disesuaikan dengan upah minimum rakyat (UMR). Kurang lebih gaji dokter umum berkisar antara 2 juta sampai dengan 4 juta. Untuk mendapatkan gaji dua digit, kita harus menjadi dokter spesialis.

Dibukanya Banyak Fakultas Kedokteran di PTN

Terdapat Fenomena unik yang terjadi pada tahun ini yaitu perguruan tinggi negeri beramai-ramai membuka fakultas kedokteran, baik dari universitas maupun institute. Hal ini menimbulkan banyak kontroversi apalagi dibukanya fakultas kedokteran di sebuah institute Pendidikan yang mana institute biasanya berfokus kepada satu rumpun ilmu.

Banyak pihak mempertanyakan Keputusan kemenkes yang menyutujui hal ini seolah-olah mengesampingkan fakta bahwa isu surplus dokter dan ketidakmerataan tenaga Kesehatan belum tertangani dengan baik.

Peserta ujian mandiri membludak, tidak mengindahkan akreditasi fakultas yang baru dibuka tersebut karena katanya, akan cepat naik sebab universitas tersebut termasuk di deret universitas terbaik negeri.

Sebagai salah satu mahasiswa baru yang sebelumnya mengikuti banyak ujian masuk, saya mengamati bahwa banyak teman saya yang mengerahkan seluruh usahanya untuk masuk ke fakultas kedokteran, sekalipun di perguruan tinggi negeri yang baru membukanya.

Dari hasil pencarian saya, akreditasi merupakan hal yang krusial saat kita ingin meneruskan studi ke level yang lebih tinggi.

Bagus atau tidaknya akreditasi fakultas berpengaruh kepada aktivitas pengajaran yang dilakukan. Selain itu, akreditasi yang bagus juga memudahkan kita saat mencari pekerjaan.

Bukan berarti yang memiliki akreditasi yang kurang tidak bisa dapat pekerjaan, namun akan lebih sulit dan memerlukan usaha yang lebih keras dibandikan dengan yang memiliki akreditasi baik.

Pesan untuk Kita Semua

Dokter hanyalah manusia biasa, ia hanya mengobati sesuai apa yang telah ia pelajari. Ia hanya membantu proses penyembuhan bukan maha menyembuhkan.

Dokter juga bisa salah, ia tidak selalu sempurna. Dan karena hal itu, menjadi dokter pun tidak membuat status kita menjadi tinggi, tidak pula membuat kita menjadi kaya. Menjadi dokter membuat kita mengetahui bahwa di sekitar kita, banyak orang yang memerlukan bantuan dengan ilmu-ilmu yang sudah kita pelajari.

Tahun yang baru akan segera datang, diikuti dengan harapan dan mimpi-mimpi baru yang akan menghampiri. Tentunya seleksi penerimaan perguruan tinggi sebentar lagi akan dimulai.

Teruntuk adik-adik calon mahasiswa apalagi yang ingin mendaftar ke fakultas kedokteran, ingatkan lagi tujuan kita untuk menjadi dokter ialah agar bisa mengobati orang sakit, merawat orang yang membutuhkan, dan melihat senyum orang yang telah sembuh.

Selalu tanamkan pada diri bahwa dokter adalah sebuah profesi ! bukan ajang adu gengsi. Kata-kata tersebut yang akan menjaga kita dari sikap-sikap yang tidak diinginkan. Selamat merajut mimpi teman-teman. Di tangan kita, masa depan bangsa ditentukan.

 

Penulis: Marisgama Alief Rizky
Mahasiswa Hubungan Internasional, Universitas Brawijaya

Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI