Pemilu dan Konflik

Pemilihan umum (pemilu) identik dengan konflik, pandangan itu didasarkan sejarah panjang pemilu yang terjadi di berbagai belahan bumi. Sejarah mencatat terjadi konflik yang berkepanjangan akibat dari pemilu, seperti yang terjadi di Honduras, Filipina, Afganistan dan Vanezuela. Dari beberapa negara di atas, konflik pemilu di negara venezuela mengakibatkan ekonomi anjlok hingga saat ini dan menyebabkan inflasi sebesar 8.000.000 persen per 18 April 2019.

Konflik dalam pemilu terjadi mulai pada tahapan kampanye. Kampanye yang seharusnya digunakan untuk meraih simpatisan justru diwarnai dengan tindakan agresif seperti penyerangan, kampanye hitam, dan penyebaran isu-isu SARA yang rawan memecah belah masyarakat.

Sejatinya pemilu merupakan inti dari dari sebuah negara demokrasi bisa dikatakan juga pemilu adalah ciri utama demokrasi. Pemilu sebenarnya sebuah pesta kebebasan berekspresi dimana rakyat dapat menyalurkan aspirasi nya untuk memilih pemimpin dan wakil-wakilnya di pemerintahan. Di Indonesia sendiri pemilu biasa disebut dengan istilah pesta demokrasi, istilah itu mulai digunakan oleh soeharto pada pemilu tahun 1982.

Bacaan Lainnya

Namun, pemilu di indonesia juga tidak bisa lepas dari konflik, bahkan pemilu yang pertama kali dilakukan indonesia tahun 1955 sudah diwarnai berbagai konflik. Herbert Feith dalam bukunya “The Indonesian Elections of 1955” mengatakan ada sejumlah peristiwa yang terjadi di pemilu 1955 di antaranya demonstrasi menentang penistaan agama, penolakan pemakaman komunis, hingga intimidasi yang dilakukan oleh aparat.

Pemilu yang baru saja dilakukan pada bulan April 2019 juga tak lepas dari konflik. Politik indentitas dan berita hoax merupakan salah satu penyulut konflik di pemilu 2019. Bahkan pasca penguman hasil rekapitulasi suara oleh KPU konflik justru semakin memanas. Tensi politik yang tinggi sejak masa kampanye hingga pengumuman hasil rekapitulasi suara pecah pada 21 hingga 22 mei 2019.

Lantas kenapa pemilu yang dianggap sebagai pesta demokrasi serta pesta kebebasan berekspresi justru dianggap identik dengan terjadinya konflik?

Pertanyaan reflektif ini sering terlintas dalam pikiran masyarakat namun, hingga saat ini belum ada sebuah jawaban pasti tentang pertanyaan itu. Jika, ditarik benang merah dari seluruh konflik yang terjadi maka akan menghasilkan sebuah simpulan bahwa konflik terjadi karena adanya dugaan kecurangan serta sikap belum siap untuk menerima kekalahan.

Pemilu dianalogikan sebagai genderang rapa’i passe yang berasal dari Aceh. Genderang rapa’i passe merupakan genderang yang ditabuh beramai-ramai yang pada awalnya dimaksudkan untuk memanggil orang berkumpul namun, pada perjalanannya genderang itu disebut simbol perdamaian. Kontestasi yang sengit dalam tahan-tahapan Pemilu hendaknya dimaknai sebagai bagian dari upaya menabuh genderang rapa’i beramai-ramai.

Yakni ketika perbedaan-perbedaan yang tercipta karena beragamnya aspirasi tentang pemimpin, pada akhirnya memiliki tujuan yang sama yakni mewujudkan pemerintahan yang baik. Ketika kita menyalurkan suara ke kotak suara, itu harus dimaknai sebagai upaya menabuh genderang bersama-sama dan menghentikan segala pertikaian.

Pandangan Pemilu yang identik dengan  konflik dapat diubah ketika seluruh elemen negara mampu menciptakan rasa saling percaya (mutual trust), menciptakan dialog publik yang beretika, serta adanya sikap penguasaan diri untuk tidak melakukan tindakan-tindakan yang melanggar konstitusi.

Diyah Mustika Anggraeni
Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta

Baca juga:
Jalan Perdamaian Indonesia Pasca Pilkada
Pendidikan Perdamaian dan Anti Kekerasan di Media Sosial
Membumikan Islam Damai

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI