Demo Hanya jadi Konten Media Sosial Pribadi?

demo jadi konten

Seperti yang kita tahu, di zaman sekarang ini belum lengkap rasanya jika kita melakukan kegiatan sesuatu namun tidak diabadikan di sosial media kita. Bukan hanya generasi milenial ataupun generasi Z bahkan generasi X pun juga demikian.

Contohnya saja terkadang jika kita membuka aplikasi Tiktok pasti ada muncul video emak-emak yang sedang reuni atau arisan menggunakan baju yang senada dan membuat video di aplikasi tersebut.

Namun kebiasaan seperti ini terkadang disalahartikan dimana setiap ada sesuatu harus membuat konten media sosial tanpa memikirkan efek yang membahayakan bagi diri kita ataupun orang lain.

Bacaan Lainnya

Contohnya saja yang membahayakan adalah ketika seseorang membuat video di tebing yang terkena ombak. Sewaktu-waktu ombak besar dapat menyambar sang pembuat konten.

Baca juga: Catatan Akhir dari Seorang Demonstran

Bahaya yang lain misalnya ketika seseorang rekam video di tepi rel kereta api. Bisa saja sambaran rel kereta yang sangat kencang bisa mencelakakan si pembuat konten.

Demo jadi Konten Media Sosial

Kali ini akan dibahas tentang mahasiswa yang membuat konten di tengah demo yang terjadi dalam kurun waktu bulan April dimana terjadi 2 demo di dalam 1 bulan. Demo bisa juga dianggap berbahaya karena jika suasana tidak kondusif bisa jadi akan menimbulkan jatuhnya korban dan menghambat jalannya banyak orang yang menyelamatkan diri.

Sebenarnya apa sih demo itu? Demo atau unjuk rasa merupakan suatu kegiatan menyatakan pendapat atau protes terhadap suatu kebijakan yang dilakukan oleh sekelompok orang di hadapan umum.

Namun terkadang demo dapat disalahartikan oleh beberapa oknum hanya untuk sebagai konten saja supaya terlihat keren mengikuti demo.

Mengapa bisa seperti itu? Karena beberapa oknum tertangkap kamera membawa spanduk yang kurang pantas dan foto-foto tersebut tersebar secara luas di media sosial seperti contohnya mahasiswi yang membawa tulisan seperti ini “lebih baik bercinta 3 ronde daripada harus 3 periode”, “Daripada BBM yang naik mending ayang yang naik”, “Stop peras duit rakyat sesekali peras adek dong pak.”

Ada juga yang membuat video di tengah kerumunan demo yang dinilai cukup membahayakan diri sendiri dan membawa efek yang buruk.

Efek dari demo yang dihasilkan beragam jika demo terjadi secara anarkis akan mengakibatkan beberapa fasilitas negara rusak, terjadinya banyak korban kekerasan bahkan hingga meninggal dunia baik dari pihak demonstran ataupun aparat. Namun, jika demo berlangsung secara damai dan tertib akan terasa indah dipandang masyarakat, dan tidak menimbulkan kerugian.

Bagaimana jika membuat video di tengah suasana demo?

Membuat video di suasana seperti itu diperlukan kewaspadaan untuk diri sendiri dan orang lain. Jika suasana demo berjalan dengan tertib dan damai lalu ingin membuat video untuk sebagai hiburan dengan mempertimbangkan faktor keamanan mungkin akan justru menjadi hiburan bagi pendemo yang lain juga. Karena di tengah panasnya matahari lalu suasana yang cukup emosional, itu bisa menjadi hiburan sekedar tertawa bagi pendemo yang melihatnya.

Lalu bagaimana jika membuat konten ditengah suasana demo yang mencekam dan tidak kondusif. Bukannya justru itu akan membahayakan keselamatan diri sendiri dan menghambat jalan bagi yang ingin menyelamatkan diri.

Lalu bagaimana dengan oknum yang membuat spanduk dengan kata-kata yang kurang sopan dan dianggap hanya menjadikan demo sebagai kebutuhan konten?

Baca juga: Meruwat dan Merawat Kembali Demonstrasi Mahasiswa

Pro dan kontra dari masyarakat beriringan dengan membawa spanduk seperti kata kata yang telah disebutkan di atas. Ada yang menilai hal itu wajar saja karena demo memang bertujuan untuk menarik banyak perhatian. Namun tidak sedikit juga yang menilai itu tidak etis tidak mencerminkan masyarakat yang berpendidikan.

“Emang kenapa sih kalo pake bahasa kaya gini? Demo itu tujuannya emang caper, kalo ga caper ya ga didenger. Makanya ada idiom yang bilang, violence is the language of the unheard, karena didenger ketika tinju melayang aja. Gw reiterasi poin gw: voilence is the language of the unheard”Artinya semakin ga didengar aspirasi rakyat, ya akan semakin ekstrim dan radikal cara penyampaian pendapatnya bisa kekerasan, bahasa kotor, atau tindakan pembangkanan sipil. Semoga paham.”

“untuk kawan-kawan mahasiswa yuk lebih bijak dalam menyampaikan aspirasi, fokus dengan tujuan kita hari ini. tunjukkan kepada masyatakat bahwa kita kaum intelektual dan bukan caper belaka.”

Jadi, apa benar demo hanya sebagai ajang unjuk diri untuk konten media sosial saja ?

Mungkin jika dikatakan seperti itu terlihat sedikit kurang adil dan kurang etis, apalagi hanya beberapa oknum saja yang melakukan hal seperti itu.

Untuk mereka yang memang merasakan dampak besar dari kebijakan yang akan dilaksanakan, akan terkesan mengapa hanya oknum yang melakukan namun seluruhnya merasakan dampak seperti hujatan dari netizen media sosial.

Mereka akan merasakan dampak kebijakan yang dinilai memberikan kerugian bagi mereka lalu mereka juga akan merasakan dampak negatif dengan adanya kejadian tersebut. Bukan tidak mungkin mereka menjadi sasaran hujatan dari warga sekitar maupun dari media sosial juga, padahal mereka tidak melakukan hal negatif seperti yang di lontarkan.

Penulis: Ainy Aprilia Nur Khasanah
Mahasiswa D3 Manajemen Bisnis Universitas Sebelas Maret

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0811-2564-888
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.