“Didiklah rakyat dengan organisasi dan didiklah penguasa dengan perlawanan.” (Pramoedya Ananta Toer)
Belum lama ini isu RUU dan RKUHP bermasalah menarik banyak perhatian, termasuk mahasiswa. Lewat lembaga legislatif, DPR dinilai memaksakan pengesahan RUU dan RKUHP yang disinyalir mengkebiri demokrasi dan menindas rakyat kecil. Bagaimana tidak, banyak pasal karet yang berpotensi melemahkan hukum, hak asasi, hingga pada akhirnya menimbulkan kesenjangan antar golongan di masyarakat serta memberikan peluang para elite untuk menjilat lebih dan memperkaya kepentingan oligarki.
Pelemahan juga terjadi pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dimana sebagai lembaga independen negara. Namun sangat disayangkan, tak lama kemudian RUU KPK bermasalah lekas diketok palu dan dinyatakan sah sebagai UU KPK memperjelas para wakil rakyat secara beramai-ramai melemahkan posisi KPK dalam memberantas korupsi. Ini salah satu bukti persekongkolan pemerintah dan DPR (yang juga dikuasai oleh partai pendukung pemerintah) dalam melemahkan KPK. Bukan hanya DPR yang selama ini telah dikenal sebagai salah satu lembaga yang paling korup dengan kepercayaan publik yang rendah, pemerintah yang dipimpin oleh ‘orang baik’ juga turut berkontribusi atas pelemahan KPK.
Tak lama dari itu, gelombang pergerakan mahasiswa dari berbagai daerah mulai turun ke jalan dengan tegas menuntut dan menolak RUU dan RKUHP bermasalah serta mencabut UU KPK yang sementara diterbitkan lewat Perppu. RUU dan RKUHP yang bermasalah atau kontroversial diantaranya; UU pertanahan dan UU mineral, tambang dan batu bara (minerba) yang memberi kemudahan bagi pengerukan sumber daya alam dan melanggengkan swastanisasi, RUU Pemasyarakatan yang mempermudah koruptor memperoleh keringanan hukuman (remisi), yang sejalan dengan upaya pelemahan KPK, RUU Ketenagakerjaan yang tidak berpihak pada pekerja, RUU SisnasIptek yang menegaskan kontrol pemerintah atas produksi pengetahuan, RUU perkoperasian yang justru mengerdilkan koperasi, dll juga masuk dalam Prolegnas (Program Legislatif Nasional) yang hendak disahkan DPR sebelum masa jabatan mereka berakhir bulan depan.
Malam lalu (23/9/2019), pemerintah telah menyatakan usulan penundaan pengesahan RKUHP, RUU Pertanahan, RUU Minerba dan RUU Pemasyarakatan hingga periode DPR mendatang. Namun, penundaan pengesahan itu bukan berarti penolakan substansi pasal yang bermasalah. Pemerintah juga tidak bersikap atas sejumlah pasal yang ditolak oleh banyak kalangan masyarakat sipil. Di samping itu, selain RKUHP pemerintah juga pengusul RUU Pemasyarakatan, sehingga tidak ada alasan bagi pemerintah tidak mengetahui isi rancangan aturan tersebut, termasuk pasal-pasal yang bermasalah. Sementara RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang melindungi perempuan dan anak dari tindak pidana kekerasan tidak kunjung disahkan.
Sejarah Pergerakan Mahasiswa
Idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki oleh pemuda.” (Tan Malaka)
Bukan sekali ini saja mahasiswa berdemonstrasi secara masif menggugat pemerintah atau DPR. Sepanjang sejarah Indonesia merdeka, sudah tiga kali terjadi demonstrasi mahasiswa secara besar-besaran. Dua di antaranya mampu menumbangkan rezim yang tengah berkuasa. Kejatuhan itu pun punya persamaan, yakni dimulai dari pemimpin yang tidak mau mendengar aspirasi rakyatnya.
Demonstrasi mahasiswa pertama terjadi di era Orde Lama. Kala itu ribuan mahasiswa turun ke jalan, menyerukan protes atas kondisi negara yang kian memprihatinkan. Protes ini berhulu dari tragedi berdarah Gerakan 30 September 1965. PKI yang melancarkan aksinya di beberapa derah di Jawa Timur dan Jawa Tengah telah menimbulkan keresahan masyarakat hingga dampaknya terasa sampai ke Istana. Kekacauan politik yang dibiarkan berlarut-larut diperparah dengan kebijakan pemerintah yang mencekik rakyat. Pemerintah menaikkan harga sembako yang meroket 300 sampai 500 persen yang tidak lain agar mengalihkan perhatian masyarakat terhadap kondisi politik ke urusan perut. Tidak banyak yang bisa diperbuat, termasuk Ir. Soekarno sebagai Presiden selain mengalihkan isu yang sedang memanas kala itu.
Muak atas ketidakbecusan pemerintah mengatasi permasalahan politik, sosial dan ekonomi negara, akhirnya mahasiswa turun ke jalan dan telah menggalang demonstrasi sejak awal Januari 1966. Gelombang demonstrasi mencapai puncaknya pada tanggal 12 Januari 1966. Dalam setiap aksinya, para demonstran konsisten mengajukan tiga tuntutan rakyat atau tritura: (1) Bubarkan PKI beserta ormas-ormasnya, (2) Rombak Kabinet Dwikora, dan (3) Turunkan harga.
Saat itu, mahasiswa membentuk Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) pada tanggal 25 Oktober 1966 yang merupakan hasil kesepakatan sejumlah organisasi mahasiswa, yakni Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Sekretariat Bersama Organisasi-organisasi Lokal (SOMAL), Mahasiswa Pancasila (Mapancas), dan Ikatan Pers Mahasiswa (IPMI).
Sehari berselang, KAMI dibubarkan paksa oleh presiden sebagai konsekuensi atas kericuhan tersebut. Namun, gelora unjuk rasa anti-PKI tidak pernah padam. Soekarno yang kian terjepit akhirnya mengeluarkan Surat Perintah 11 Maret 1966. Sejarah lalu mencatat, Supersemar itu nantinya justru dimanfaatkan Jenderal Soeharto untuk menggerogoti kekuasaan Soekarno.
Kemudian aksi mahasiswa di era Orde Baru yang menentang pembatasan kebebasan berpendapat dan pembungkaman pers, partai Golkar menjadi partai utama, dan maraknya KKN yang melibatkan banyak pejabat pemerintahan. Tiga tuntutan yang diajukan mahasiswa saat demonstrasi dinamakan “Tritura Baru 1974”, yang isinya: (1) Bubarkan lembaga Asisten Pribadi Presiden (Aspri), (2) Turunkan harga, (3) Ganyang korupsi.
Pergerakan mahasiswa mencapai momentumnya saat terjadinya krisis moneter pada pertengahan tahun 1997. Setelah 32 tahun berkuasa, mahasiswa menganggap Presiden Soeharto gagal menuntaskan masalah negara. Bukannya membaik justru memperburuk kondisi negara terutama krisis sosial dan ekonomi yang diperparah dengan memperkaya diri sendiri (KKN).
Gelombang besar mahasiswa lalu menduduki Gedung DPR/MPR sejak 18 Mei 1998. Mahasiswa bertahan di sana sampai tuntutan Sidang Istimewa segera dijalankan untuk memakzulkan Soeharto. Karena kian terjepit, Soeharto akhirnya tak bisa berbuat banyak. Pada 21 Mei 1998 ia menyatakan berhenti sebagai presiden.
Re-orientasi Demonstrasi
Seorang pemikir politik asal Perancis, Montesquieu, mengatakan bahwa demokrasi merupakan sistem pemerintahan terbaik dari banyak sistem pemerintahan yang ada di dunia. Kemudian disempurnakan oleh Presiden Amerika Serikat yang anti diskriminasi, Abraham Lincoln dengan pemerintahan “Dari, Oleh dan Untuk Rakyat. Banyak cara yang bisa dilakukan dalam menyampaikan pendapat atau ber-demokrasi, seperti berkumpul (musyawarah), diskusi, menulis di media massa, bersurat, pemilihan umum, hingga turun ke jalan (demonstrasi).
Meskipun setiap individu dapat menyampaikan pendapatnya, tak jarang ada individu atau pihak lain yang sulit menerima perbedaan pendapat sehingga timbul gep dalam demokrasi. Disini, arti demokrasi ialah bagaimana dapat duduk bersama dan menerima pluralisme yang ada sehingga tidak timbul diskriminasi ataupun minoritas yang diabaikan (karena mengedepankan suara atau pandangan mayoritas), sebab perbedaan adalah sebuah anugerah Tuhan yang mesti diterima dan dihargai.
Namun, tidak semua masyarakat sepaham mengenai cara ber-demokrasi yang satu ini (demonstrasi). Ada yang berasumsi bahwa demonstrasi hanya akan berujung tindakan anarkis dan menimbulkan tragedy. Bahkan pandangan stereotipe mengenainya yang menganggap turun ke jalan seperti turun ke arena pertarungan. Hal ini yang secara tidak langsung telah menggeser esensi daripada demonstrasi itu sendiri. Esensi demonstrasi sesungguhnya menyampaikan keinginan dan aspirasi masyarakat luas dengan turun ke jalan langsung tanpa kekerasan dan menemui pihak pemerintah agar dapat mendengar dan melihat kondisi masyarakat yang sebenarnya.
Bagi mereka yang tidak ikut turun ke jalan, bukan berarti stagnan atau tidak berada dalam isu yang sama, tetapi menunaikannya dengan cara yang berbeda seperti memberi dukungan moril bagi aktivis yang dikriminalisasikan, menulis di media sosial ataupun massa, menggelar kajian dan diskusi, serta berbagi informasi akan perkembangan isu yang sedang dikawal. Dan yang utama bagaimana memulainya dari kesadaran diri, paham akan masalah atau konteks yang melatar-belakangi demonstrasi, hingga mengerti prosedural aksi sebelum ikut turun ke jalan, bukan karena hanya ingin ikut-ikutan atau mengedepankan eksistensi lainnya.
Mahasiswa sebagai pembaharu dan generasi penerus bangsa tidak bisa tinggal diam bila melihat para wakil rakyat memperkaya diri dan menindas rakyat dengan kepentingan oligarkinya. Peran mahasiswa sebagai agent of change dan social control mengharuskan mereka bersikap dan bertindak untuk mengubah kehidupan bangsa ke arah yang lebih baik. Seperti yang dikatakan Soe Hok Gie mengenai mahasiswa sekaligus mengakhiri tulisan ini, “Bidang seorang sarjana adalah berfikir dan mencipta yang baru, mereka harus bisa bebas dari segala arus masyarakat yang kacau. Tapi mereka tidak bisa terlepas dari fungsi sosialnya. Yakni bertindak demi tanggung jawab sosialnya, apabila keadaan telah mendesak. Kaum intelejensia yang terus berdiam di dalam keadaan yang mendesak telah melunturkan semua kemanusiaan”.
Ahmad Yudi S
Menlu BEM STIKes Respati