Mahasiswa: Tunggangan Rakyat dalam Melaksanakan Amanat Reformasi

Indonesia saat ini mungkin berada di titik yang penuh dengan huru-hara di pelbagai tempat. Bukan tanpa sebab, kekacauan yang ditimbulkan dari adanya kontroversi mengenai nomenklatur hukum yang dimunculkan oleh pemerintahan yang kemudian memancing berbagai elemen masyarakat untuk memperjuangkan hak-haknya, khususnya mahasiswa.

Poin-poin kontroversial tersebut tertuang dalam naskah berbagai peraturan perundang-undangan yang dirancang dan dibahas oleh lembaga legislatif negara, DPR-RI, dalam agendanya yang dilakukan di Senayan, Jakarta. Sebut saja, Revisi UU KPK, Revisi KUHP, RUU Pertanahan, Reforma Agraria dan RUU Pemasyarakatan. Bentuk protes yang dilayangkan kesatuan mahasiswa dari berbagai daerah dan beragam organisasi pergerakan ini membentuk, yang disebut penulis sebagai, reintegrasi mahasiswa semenjak aksi besar reformasi tahun 1998.

Aksi protes mahasiswa ini dilakukan di sebagian besar wilayah tanah air, mulai dari Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan pusatnya di Jawa. Masifnya, mahasiswa melakukan aksi protes ini di depan kantor lembaga pemerintahan daerah masing-masing, hal ini dimaksudkan untuk menyampaikan tuntutan-tuntutan utama kepada Dewan Perwakilan Rakyat pusat (DPR-RI) lewat desakan di kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) di tiap-tiap kabupaten/ kota dan provinsi. Tak jarang aksi mahasiswa berhasil menerima respon yang positif dari lembaga pemerintahan daerah yang berjanji akan menyampaikan aspirasi-aspirasinya kepada pemerintah pusat. Hal ini disambut baik oleh kerumunan mahasiswa yang berkumpul sehingga pada akhirnya mereka dapat bubar dengan tertib dan damai.

Bacaan Lainnya

Namun, banyak isu-isu mencengangkan yang mengiringi langkah suci mahasiswa di berbagai daerah tersebut. Hal ini tidak terlepas dari adanya agenda pemilu lima bulan yang lalu. Ya, benar sekali, isu tersebut adalah adanya asumsi bahwa aksi-aksi mahasiswa ditunggangi/ dipelopori/ diboncengi oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab. Selain itu, anggapan bahwa mahasiswa hanya buang-buang suara tanpa bobot marak diperbincangkan dimana-mana. Ini tentu akan memunculkan sudut pandang yang sangat berbeda dengan tujuan awal mahasiswa dalam melakukan aksinya. Namun setidaknya dalam artikel ini, penulis akan sedikit membantah asumsi-asumsi tersebut.

Tuduhan-tuduhan tak bertulang yang dilontarkan kepada mahasiswa dalam aksinya di berbagai daerah memunculkan banyak kontradiksi, entah di kalangan pers maupun lingkup civitas akademik seperti dosen dan mahasiswa. Masing-masing kelompok memang mempunyai argumentasinya sendiri dalam menyorot peristiwa demonstransi mahasiswa ini. Tentu penulis akan berusaha objektif dalam ikut serta mengikuti perkembangan kejadian ini. Namun yang harus menjadi titik perhatian adalah isu-isu diatas yang berkembang saat ini dapat merusak citra independensi mahasiswa dalam memperjuangkan hak-hak atas nama rakyat Indonesia. Penulis melihat, isu-isu tersebut tidak hanya akan merusak tujuan aksi demonstransi mahasiswa, akan tetapi akan menimbulkan paradigma buruk terhadap citra mahasiswa itu sendiri. Sebab dari isu-isu tersebut mahasiswa dinilai sebagai subjek yang mudah ditunggangi dan tidak mempunyai kredibilitas yang perlu dibanggakan.

Polemik yang mengiringi aksi mahasiswa akhir-akhir ini adalah adanya misi yang lain terhadap penggulingan pemerintahan yang sah menurut demokrasi hasil pemilu 2019, tahun ini. Memang hasil pemilu yang mengesahkan pasangan dengan nomor urut 1 sebagai capres dan cawapres terpilih belum dilaksanakan pelantikan resmi, namun masih ada saja pihak-pihak yang ingin menggagalkan agenda tersebut dengan dalih yang bermacam-macam. Penulis tidak mengatakan bahwa isu-isu ini berasal dari golongan oposisi (partai politik), sebab penulis berkeyakinan sikap kenegarawanan antara dua pihak yang telah melakukan rekonsiliasi politik setidaknya telah mematahkan semua argumen yangmana saat pemilu lima bulan yang lalu sedang dalam keadaan yang panas-panasnya.

Tentu, polemik yang timbul seperti ini melukai citra diri seorang mahasiswa yang telah mencurahkan segala tenaga bahkan siap akan jiwa bila diminta demi tegaknya keadilan di negara ini. Selain itu, isu seperti ini akan membentuk sebuah paradigma buruk dari adanya dampak nama “Mahasiswa” yang dijadikan alat untuk meraih tujuan gelap oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab.

Dalam hal ini, pertama, penulis ingin merelaksasikan memori perjalanan mahasiswa dalam penegakan keadilan di Indonesia. Kita sebut saja yang paling besar adalah reformasi tahun 1998, yangmana kala itu mahasiswa berhasil merebut kedaulatan rakyat dari rezim Presiden Soeharto. Dengan segala curah pikiran dan tenaga, demi tegaknya keadilan yang saat itu direnggut oleh elit negara, mahasiswa mampu mewujudkan serta merombak masa orde baru ke era reformasi. Ini bukanlah suatu yang kecil, namun telah dicatat oleh sejarah bangsa. Maka dari itu, sangat naif apabila mahasiswa menerima tunggangan-tunggangan sesaat dalam agendanya menolak hukum yang di ‘buat-buat oleh para elit negara. Apabila dirujuk pada target tuntutan memang berbeda, peristiwa ’98 murni ditujukan kepada lembaga eksekutif negara (Presiden), namun target saat ini adalah tuntutan terhadap nomenklatur hukum maupun revisi hukum yang dinilai kontroversial yang mana muncul dari ‘bibir-bibir Senayan. Tentu ini terasa sangat berbeda, dan tidak bijak apabila mengarahkan isu bahwa mahasiswa ditunggangi untuk meruntuhkan pemerintahan yang sah itu adalah agenda utama mereka.

Mungkin diksi “ditunggangi” benar adanya, namun penulis mengalihkan dalam konteks yang berbeda. Mahasiswa dalam aksinya adalah kawanan kuda politik yang terdidik, berwawasan, kuat dan sekarang ini keluar dari kandang kesengsaraan dan penindasan, serta mau diarahkan kemanapun dengan seorang delman, yakni amanat rakyat. Term ini dirasa cocok disematkan pada misi-misi mahasiswa sepanjang sejarah politik Indonesia. Tiada argumen lain yang dapat membantah kredibilitas mahasiswa yang memperjuangkan hak-hak rakyat lewat jalur manapun, diskusi, perdebatan, hingga puncaknya berupa long march di jalanan. Hal ini sejalan dengan pernyataan beberapa ketua BEM dari sejumlah universitas ‘entah berupa press conference kepada dewan pers, maupun saat diundang dalam diskusi nasional di media televisi.

Kedua, isu-isu yang marak terdengar di telinga masyarakat bahkan pejabat di pemerintahan menyatakan bahwa aksi mahasiswa ini hanya kertas putih yang tidak ternoda oleh satu tetes tinta pun. Ini menimbulkan stigma negatif bahwa mahasiswa yang melakukan aksi hanyalah ‘ikut-ikut an tanpa didasari oleh pengetahuan dan wawasan yang mendalam mengenai perkembangan politik dan hukum di Indonesia. Ini tentu bertolak belakang dengan kenyataan di lapangan, mahasiswa adalah kaum terdidik yang mengampu keilmuan tertentu di sebuah perguruan tinggi, misal ilmu politik, hukum, ekonomi, sains hingga keagamaan. Selain itu, kita tidak bisa menafikan adanya organisasi kemahasiswaan yang jam terbangnya tidak bisa diragukan dan telah melahirkan alumni-alumni yang kompeten dalam masing-masing bidang yang ditekuni.

Tentu, wawasan mengenai politik secara mendalam tidak dapat dimasifkan ke seluruh mahasiswa pada awalnya, namun karena adanya ‘melek info serta kondisi negara, info-info mengenai politik dan hukum pun menyebar dengan mudah lewat gawai masa kini walaupun mahasiswa yang tidak mengikuti organisasi pergerakan atau jarang mengikuti seminar dan diskusi-diskusi politik. Inilah yang mendorong sebuah wawasan tersebar luas sehingga menjadi promotor bagi mereka yang melakuka aksi.

Jadi, kesimpulan dari sedikit penjelasan diatas adalah isu-isu yang menghukumi mahasiswa sebagai tunggangan oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab adalah ‘wrong statement. Itu hanya mengarahkan pola pikir kepada kebodohan dan kejumudan, karena rela menggadaikan harga diri hanya untuk kepentingan sesaat. Tidak tepat rasanya isu tersebut dilayangkan kepada mahasiswa yang kredibilitasnya tidak bisa diragukan lagi atas kesetiaan kepada negara. Dan pernyataan-pernyataan bahwa mahasiswa tidak ‘ngerti apa-apa, itu pun sama halnya membangun paradigma pesimisme terhadap mahasiswa itu sendiri. Tidak mungkin mahasiswa dapat masuk sekaligus berbicara bahkan hingga berdebat kepada pejabat-pejabat permerintahan di gedung maupun saat diundang di media televisi nasional.

Semoga banyaknya isu negatif yang berkembang, tidak mempengaruhi sedikitpun niat dan tekad mahasiswa dalam memperjuangkan hak-hak rakyat yang mereka ampu diatas bahu masing-masing mahasiswa di seluruh penjuru nusantara. Sekian, semoga bermanfaat dan terima kasih.

Perdana Putra Pangestu

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0811-2564-888
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.