Bulan Agustus tahun ini bangsa Indonesia kini merayakan hari ulang tahun kemerdekaannya yang ke-75 tahun. Tepat 75 tahun juga Indonesia telah merdeka dari penindasan para penjajah hak asasinya sebagai manusia. Sayangnya diskriminasi yang mengatasnamakan ras, suku, dan agama masih tetap meninggalkan dendam dan mendarah daging, lagi serta terbudayakan dan mengancam keutuhan bangsa.
Diskriminasi terhadap suatu kelompok, baik berbasis kepercayaan agama, suku-budaya, hingga orientasi seksual, masih kerap terjadi di sejumlah tempat di Indonesia. Masih pantaskah kita menyebut diri kita sebagai bangsa yang telah merdeka jika satu kelompok dengan kelompok yang lain, masih mencerca dan menindas. Bahkan tak luput mempersekusi saudaranya sendiri?
Memanusiakan Manusia Lain
Baru-baru ini warganet dihebohkan oleh sejumlah dukungan terang-terangan terkait unggahan berbau pro LGBT oleh sejumlah perusahaan besar terkenal. Ketika memperingati perayaan tahunan Pride Month, seperti Unilever, Adidas, hingga Nickelodeon—yang mengakui bahwa kartun Spongebob merupakan bagian dari komunitas LGBT. Hal ini lantas memberikan perdebatan yang cukup ramai di kalangan warganet pada sejumlah media massa terhadap isu keberadaan kelompok minoritas seksual: lesbian, gay (homoseksual), biseksual, dan transgender (LGBT) di Indonesia.
Mereka menolak keras keputusan sejumlah produsen yang memberikan dukungan kepada kelompok LGBT. Bahkan sejumlah masyarakat yang anti terhadap pengakuan komunitas LGBT menyerukan untuk melakukan pemboikotan terhadap berbagai produk hasil perusahaan-perusahaan yang mendukung gerakan semacam ini. Sebenarnya Unilever (global) sendiri mengakui telah lama mendeklarasikan bahwa mereka mendukung komunitas ini. Meskipun demikian, pihak Unilever sudah memberikan pernyataan tertulis bahwa mereka akan bertindak dan menyampaikan pesan-pesan yang disesuaikan dengan budaya, norma dan nilai-nilai yang berlaku di Indonesia.
Komunitas LGBT
Di samping perdebatan bahwa hal ini tidak seharusnya karena bertentangan dengan nilai agama, moral, serta budaya ketimuran. Banyak orang yang mulai menyadari serta mengakui eksistensi dari nilai-nilai kemanusiaan yang erat kaitannya dengan isu ini. Berdasarkan riset mandiri oleh situs berita dan infografik Tirto Id yang berkolaborasi dengan JakPat, penyedia platform survei daring, pada tahun 2019 menemukan bahwa sebesar 35,92 persen masyarakat masih memilih setuju bila komunitas LGBT memiliki hak hidup di Indonesia. Sedangkan sebanyak 39,30 persen lainnya tidak setuju jika pemerintah harus melindungi hak-hak komunitas ini.
Yang jelas bahwasanya isu LGBT bukan masalah tertarik atau tidak dalam bersimpati, sebab Anda tidak bisa memilih-milih untuk berhadapan dengan isu kemanusiaan. Sama halnya seperti aksi gerakan aktivis mancanegara Black Lives Matter, yang menentang kekerasan maupun rasisme sistemik terhadap orang kulit hitam, yang baru-baru ini kembali marak disuarakan. Mengapa? Tentu saja tidak ada seorang individu yang mau atau berharap bahwa keberadaan dirinya mampu menghadirkan perselisihan dan menjadi celaka baginya. Dalam kata lain tidak ada seorangpun mau dengan sengaja terlahir untuk menerima penolakkan oleh orang-orang di sekitarnya.
Tantangan Kemanusiaan
Salah satu faktor penyumbang dan tantangan terbesar bagi aksi kemanusiaaan isu ini adalah dalam menghadapi stereotip dan pengucilan. Hal ini tidak jarang datangnya dari tokoh-tokoh penting masyarakat, baik organisasi keagamaan, pemuka agama bahkan pemerintah—yang seharusnya menjadi pelindung. Menjamin keamanan, dan pemenuhan hak asasi warga negaranya. Banyak dari mereka, bahkan kita sendiri, meyakini bahwa keberadaan LGBT sudah jelas menentang ideologi bangsa pada sila pertamanya.
Hal ini diyakini memperkuat pernyataan adanya penolakan yang signifikan terhadap pengakuan komunitas ini di Indonesia. Jika demikian, maka Anda mensejajarkan diri dengan Sang Pencipta, dengan semena-mena menciptakan kehendak sendiri. Seperti yang terkandung dalam sila pertama pancasila adalah bahwa setiap manusia harus percaya dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa menurut agama dan kepercayaannya masing-masing. Dan memanusiakan manusia yang lain merupakan perintah-Nya.
Demikian halnya sebagaimana butir-butir dari pancasila yang lain mendorong kita supaya menciptakan keharmonisan bermasyarakat, yang saling menghargai perbedaan di antara orang lain. Tanpa terkecuali mereka yang tidak memiliki preferensi atas ketertarikan seksual yang berbeda atau dianggap “tidak lazim”. Keyakinan agama itu mengajarkan seseorang untuk berbuat baik, tetapi tidak semua orang melakukannya—masih ada banyak orang melakukan kejahatan atas dasar nama agama, benarkah mereka orang yang bertakwa?
Hal yang dengan jelas tidak dapat ditolerir atau dibenarkan adalah tindakan semena-mena terhadap orang lain: mengganggu, menyakiti, baik fisik maupun psikis, dalam bentuk kekerasan verbal, sosial, atau fisik, dan semua orang tahu hal ini.
Pelindungan yang Kekaburan
Tidak semua orang mau mendukung komunitas LGBT, dan kita yang berlawanan dengan paham itu perlu menghargai pendapat mereka. Hanya saja, ketika seseorang menghilangkan identitas gender dalam memperlakukan pasangan berjenis kelamin sama, itu adalah suatu bentuk penindasan—itu adalah sebuah perbedaan yang besar. Bukan berarti semua orang yang tidak tertarik dengan isu LGBT berarti mereka menjadi intoleran. Adapun mereka yang masih dapat menerima perbedaan tersebut namun tidak secara terang-terangan menunjukkan dukungannya. Apakah tidak mendukung artinya intoleran?
Hanya saja, sikap dukungan yang pasif hanya mampu menenangkan sebagian hati, sama sekali tidak mampu menjamin dampak terhadap perubahan pemenuhan hak kemanusiaan kelompok minoritas ini. Dukungan yang dibutuhkan setiap kelompok yang terdiskriminasikan, baik itu perbedaan pada orientasi seksual, kepercayaan, budaya, atau warna kulit, adalah dengan cara memperlakukan mereka selayaknya manusia, itu saja. Tetapi mengapa tindakan kekerasan sewenang-wenang terhadap sejumlah kelompok minoritas masih mendarah daging dalam masyarakat?
Mira seorang transpuan menjadi korban pembakaran massa awal-pertengahan tahun ini. Kasusnya sendiri sudah dalam penanganan Polsek Cilincing, Jakarta Utara (5/4). Mira hanyalah salah satu dari sekian banyak transpuan (transgender) yang mendapatkan perlakuan tidak manusiawi yang dilakukan oleh mereka yang tidak mendukung kemanusiaan kelompok LGBT, mereka tidak memberikan kesempatan komunitas ini untuk unjuk prestasi.
Sudut Pandang Hukum
Dari pantauan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) sendiri, mereka yang mengidentifikasi dirinya sebagai kelompok LGBT rentan mendapatkan perlakuan tidak pantas oleh masyarakat yang fanatik berkontradiksi terhadap keberadaan dan pengakuan kelompok ini. Sehingga anggapan bahwa tidak ada tempat yang aman bagi kelompok LGBT di Indonesia untuk dapat menjadi diri mereka, mengekspresikan diri sebagai seorang warga negara yang berdaulat, itu benar adanya.
Pemerintah kita sendiri mengakui sudah memiliki rancangan aksi nasional hak asasi manusia yang dengan tegas menyatakan bahwa kelompok minoritas ini harus dilindungi oleh negara. Disebutkan bahwa semua manusia, terlepas dari apapun orientasi maupun identitas gendernya, terlahir merdeka dan memiliki hak-hak yang sama. Ini adalah kemampuan para tokoh masyarakat dalam mempengaruhi pandangan masyarakat. Sekalipun banyak riset yang mampu mematahkan konstruksi penolakan hak LGBT di Indonesia, jika itu kalah berbanding dengan banyaknya jumlah masyarakat yang mau toleran maka menjaring angin, terasa ada tertangkap tidak; sia-sia saja usahanya.
Semestinya para organisasi keagamaan, pemuka agama juga pemerintah mampu mendamaikan anggapan fanatik mereka terhadap stigma, diskriminasi, dan stereotip kaum LGBT—selain daripada hanya menghadirkan “instrumen perlindungan” yang sepertinya hanya sebagai pengindah koleksi hukum. Jika tidak, mereka sama saja tidak menjunjung tinggi toleransi pada kemanusiaan dan membiarkan ‘bhineka tunggal ika’ menjadi tiada arti sesungguhnya.
Jhon Kris Dwitama Wamaer
Mahasiswa Sampoerna University
Editor: Muhammad Fauzan Alimuddin
Baca Juga:
Agama Dominan yang Intoleran, Sesuaikah dengan Sila ke 1 Pancasila?
Merekat Persatuan dalam Kebhinekaan
Indonesia vs Musuh dalam Selimut