Upaya Pemberantasan Korupsi di Indonesia

Upaya Pemberantasan Korupsi
Ilustrasi: iStockphoto

Pendahuluan

Istilah korupsi berasal dari bahasa latin yakni corruptio. Dalam bahasa Inggris adalah corruption atau corrupt, dalam bahasa Perancis disebut corruption dan dalam bahasa Belanda disebut dengan coruptie. Agaknya dari bahasa Belanda itulah lahir kata korupsi dalam bahasa Indonesia.

Korup berarti busuk, buruk; suka menerima uang sogok (memakai kekuasaannya untuk kepentingan sendiri dan sebagainya). Korupsi adalah perbuatan yang buruk (seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan sebagainya). Korupsi adalah ketika pegawai negeri bertindak menyimpang untuk mendapatkan sesuatu yang secara sosial dan atau hukum dilarang (Quah, menurut Caiden, 1982).

Korupsi dapat dilakukan dalam berbagai cara, seperti pemerasan pajak, manipulasi tanah, pembuatan KTP yang cepat, SIM yang cepat, pengaturan anggaran atau budget, proses tender, dan penyelewengan dalam penyelewengan.

Bacaan Lainnya

Sejak tahun 1999, Transparency International (TI), sebuah lembaga anti-korupsi global, secara konsisten menempatkan Indonesia sebagai salah satu dari lima negara terkorup di dunia. Survei tahun 2004 yang dilakukan terhadap 146 negara menegaskan kembali hal ini, dengan Indonesia tetap berada di posisi kelima.

Survei ini juga mengungkapkan bahwa di Asia, Indonesia memegang predikat paling korup. Temuan-temuan dari TI ini semakin mendukung pernyataan Jon S.T. Quah bahwa, di antara lima negara pendiri ASEAN (Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand), korupsi telah menjadi endemik di semua negara kecuali Singapura.

Pelanggaran korupsi merupakan sebuah pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat. Oleh karena itu, tidak bisa lagi dianggap sebagai kejahatan biasa, melainkan telah menjadi kejahatan yang di luar kebiasaan.

Dalam usaha untuk memberantasnya, diperlukan metode yang di luar kebiasaan. Menurut Abdullah Hehamahua, ada delapan penyebab utama terjadinya korupsi di Indonesia:

  1. Sistem Penyelenggaraan Negara yang Salah;
  2. Rendahnya Kompensasi bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS);
  3. Kelakuan Serakah Pejabat;
  4. Kurangnya Penegakan Hukum;
  5. Penegakan hukum yang tidak efektif, di mana aparat penegak hukum mulai dari polisi, jaksa, hakim, hingga pengacara bisa disuap, sehingga hukuman yang diberikan kepada para koruptor menjadi sangat ringan dan tidak memberikan efek jera;
  6. Pengawasan yang Kurang Efektif;
  7. Kekurangan Keteladanan dari Pemimpin;
  8. Budaya Masyarakat yang Mempromosikan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

Upaya pemberantasan korupsi sudah dilakukan sejak lama dengan menggunakan berbagai cara, sanksi terhadap pelaku korupsi sudah diperberat, namun hampir setiap hari kita masih membaca atau mendengar adanya berita mengenai korupsi.

Terdapat beberapa bahaya sebagai akibat korupsi, yaitu bahaya terhadap: masyarakat dan individu, generasi muda, politik, ekonomi bangsa dan birokrasi. Terdapat hambatan dalam melakukan pemberantasan korupsi, antara lain berupa hambatan: struktural, kultural, instrumental, dan manajemen.

Oleh karena itu, perlu dilakukan langkah-langkah untuk mengatasinya, antara lain: mendesain dan menata ulang pelayanan publik, memperkuat transparansi, pengawasan dan sanksi, meningkatkan pemberdayaan perangkat pendukung dalam pencegahan korupsi.

Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, korupsi diklasifikasikan ke dalam: merugikan keuangan negara, suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan dalam pengadaan, gratifikasi. Dalam rangka pemberantasan korupsi perlu dilakukan penegakan secara terintegrasi, adanya kerja sama internasional dan regulasi yang harmonis.

Berita mengenai operasi tangkap tangan (OTT) terhadap pelaku korupsi masih sering terjadi. Yang cukup menggemparkan adalah tertangkap tangannya 41 dari 45 anggota DPRD Kota Malang oleh KPK.

Kemudian, tidak kalah menggemparkannya adalah berita mengenai tertangkap tangannya anggota DPRD Kota Mataram yang melakukan pemerasan terkait dengan dana bantuan rehabilitasi fasilitas pendidikan yang terdampak bencana gempa bumi Lombok, NTB. Di bawah ini akan diuraikan mengenai penyebab, hambatan, solusi dan regulasi korupsi di Indonesia.

Regulasi dan Upaya Pemerintah dalam Pemberantasan Korupsi di Indonesia

Pada dasarnya sudah dilakukan sejak empat dekade silam. Sejumlah perangkat hukum sebagai instrumen legal yang menjadi dasar proses pemberantasan korupsi di Indonesia juga telah disusun sejak lama. Namun efektifitas hukum dan pranata hukum yang belum cukup memadai menyebabkan iklim korupsi di Indonesia tidak kunjung membaik.

Hal ini dibuktikan dengan adanya indeks korupsi yang dilakukan oleh TI yang menempatkan Indonesia di ranking bawah.

Bahkan berdasarkan hasil survei di kalangan pengusaha dan pebisnis oleh lembaga konsultan Political and Economic Risk Consulancy (PERC) yang berbasis di Hongkong, Indonesia masih dinilai sebagai negara paling korup di antara 12 negara Asia tujuan investasi dunia.

‘Prestasi’ korupsi yang telah dicapai Indonesia, di samping merugikan secara langsung bagi pertumbuhan perekonomian dan pemerataan pembangunan nasional juga berdampak negatif bagi masuknya investasi asing ke Indonesia.

Investor asing dan bahkan lembaga donor dari negara-negara maju sering menggunakan hasil survei dari lembaga internasional, seperti TI dan PERC sebagai rujukan pengambilan keputusan investasi. Kegagalan penanganan korupsi oleh pemerintah juga melunturkan citra dan martabat bangsa di dunia internasional.

Oleh karena itu diperlukan regulasi dan upaya serius pemerintah dalam penanganan korupsi. Sebenarnya pemerintah telah berusaha agar tindak pidana korupsi dapat semakin berkurang dan tereduksi secara sistematis.

Pemerintah berusaha membangun komitmen politik secara nasional untuk memberantas KKN dengan menerbitkan regulasi hukum melalui ketetapan dan peraturan perundang-undangan, misalnya:

  1. TAP MPR Nomor X/MPR/1998 dan TAP MPR Nomor XI/MPR/1998;
  2. UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN;
  3. UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
  4. Keppres RI Nomor 81 Tahun 1999 tentang Pembentukan Komisi Pemeriksa Kekayaan Negara;
  5. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan UU Nomor 31 Tahun 1999;
  6. UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Kebijakan dan Strategi Pemberantasan Korupsi di Indonesia

Strategi pemberantasan korupsi harus dibangun dan didahului oleh adanya itikad kolektif, yaitu semacam kemauan dan kesungguhan (willingness) dari semua pihak untuk bersama-sama tidak memberikan toleransi sedikit pun terhadap perilaku korupsi.

Oleh karena itu, dalam mewujudkan sebuah strategi yang efektif memberantas korupsi, dibutuhkan pemenuhan prasyarat sebagai berikut:

Didorong oleh keinginan politik serta komitmen yang kuat dan muncul dari kesadaran sendiri, menyeluruh, dan seimbang sesuai dengan kebutuhan, ada target, dan berkesinambungan.

Berdasarkan pada sumber daya dan kapasitas yang tersedia sangat menaruh perhatian terhadap peringkat korupsi suatu negara yang dikeluarkan oleh lembaga survei internasional seperti TI. Dalam hal ini Denmark, Selandia Baru, dan Swedia merupakan negara dengan tingkat korupsi paling rendah.

Negara yang rendah korupsinya ditunjukkan dengan nilai skor, semakin tinggi skornya maka semakin rendah tingkat korupsi di negara tersebut. Berdasarkan hasil survei TI, Negara Irak, Myanmar, dan Somalia dianggap sebagai negara paling korup di dunia. Indonesia berada pada peringkat 126 dengan skor 2,6.

Berdasarkan hasil survei, TI masih menganggap Indonesia masuk kategori negara dengan korupsi tinggi. Dari tahun 2001 s/d 2008 skor Indonesia masih sangat rendah (skor < 3,0) dalam upaya pemberantasan korupsi. hal ini berarti upaya pemberantasan korupsi belum berjalan efektif. Faktor kegagalan pemberantasan korupsi di Indonesia, dapat disebabkan beberapa hal sebagai berikut:

  1. Belum adanya dukungan politik secara menyeluruh;
  2. Penerapan hukum terhadap pelaku korupsi kurang efektif, ambigu bahkan disinyalir dalam proses peradilan korupsi terdapat adanya mafia hukum yang ‘bermain’;
  3. Upaya pemberantasan korupsi belum fokus, banyak tekanan, tidak ada prioritas, dan tidak didukung oleh struktur birokrasi antar lembaga peradilan yang memadai;
  4. Lembaga anti korupsi masih dianggap sebagai organisasi yang tidak efektif dan efisien serta tidak sesuai harapan masyarakat;
  5. Lembaga peradilan sering terlibat konflik kepentingan dengan lembaga pemerintah lainnya, misalnya izin presiden bagi pelaku korupsi dari kalangan birokrat pemerintah menjadi penghambat penanganan korupsi secara cepat dan efektif.

Penulis:

Muhammad Rafly Ramadhan (NIM: 202310110311152)
Mahasiswa Hukum Universitas Muhammadiyah Malang

Editor: Ika Ayuni Lestari

Bahasa: Rahmat Al Kafi

Ikuti berita terbaru di Google News

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI