Dewasa ini pada era revolusi digital, dimana segala jenis informasi dapat diperoleh dengan mudah baik itu informasi dengan konten positif maupun negatif. Banjir informasi pada era ini menghadirkan berbagai dampak sosial. Di antaranya berupa masalah sosial, dimana masalah tersebut hadir bukan dari bagaimana cara masyarakat mendapatkan berita, melainkan berasal dari kemampuan masyarakat menafsirkan, menelaah, dan mencerna berita yang dengan hitungan detik dapat tersebar ke berbagai penjuru media.
Kredibilitas media sebagai aliran utama berita yang terus-menerus condong kepada pemiliknya dan selalu berupaya mengkonstruksi image baik kepada kepentingan elit politik yang didukung pemiliknya. Hal ini memaksa masyarakat yang haus informasi untuk mencari sumber informasi alternatif. Tidak lain media alternatif yang digunakan di antaranya Facebook, Instagram, yang tak selalu mengalirkan berita fakta yang benar. Pada tahun 2016, Oxford menjadikan kata post-truth sebagai “Word of the Year”. Jumlah penggunaan istilah post-truth di tahun 2016 meningkat 2000 persen bila dibandingkan dengan tahun 2015.
Alasan mengapa kurva penggunaan kata post truth melambung tinggi di tahun 2016, dikarenakan sebagian besar penggunaan kata ini, hampir selalu disematkan pada dua momen politik paling berpengaruh di tahun 2016; yakni keluarnya Inggris Raya dari Uni Eropa (Brexit) serta terpilihnya Donald Trump sebagai presiden Amerika Serikat. Dalam kedua kasus tersebut, fakta-fakta mapan, pengetahuan rasional, dan pengecekan-cekatan terbukti tak berguna. Jurnalisme yang mengedepakan akuntabilitas dengan standar mutunya dan keterikatan kepada fakta telah hilang. Semua narasi yang penting secara sosial kehilangan kredibilitasnya. Buruknya, keseluruan ide tentang kebenaran menjadi kabur.
Kamus Oxford mendefinisikan istilah post-truth sebagai kondisi di mana fakta tidak terlalu berpengaruh dalam membentuk opini publik dibanding emosi dan keyakinan personal. Dalam kondisi demikian false news, fake news, hoax, memiliki pengaruh yang lebih besar sebagai bahan konsumsi berita masyarakat, di mana fakta, kebenaran dikesampingkan. Bukan hanya di dunia Barat, era post-truth telah menjangkit negara-negara lain seperti halnya Indonesia. Berita viral jauh lebih penting dari pada masyarakat harus menafsirkan fakta yang tersirat. Semua orang berbondong-bondong menjadi pihak serba tahu dan bebas berkomentar terhadap berita yang belum diketahui kebenaranya baik itu komentar pro maupun kontra.
Banyak netizen Indonesia latah terhadap hot news dimana semua orang harus up to date agar tidak ketinggalan segala berita hangat. Kondisi masyarakat yang demikianlah yang dapat menjadi sasaran empuk para elite politik untuk melaksanakan politik post-truth. Dimana masyarakat disuguhi berbagai berita burung, ujaran kebenciaan, narasi politik yang telah disetting, dan membebaskan masyarakat mencerna berita tersebut sehingga kepentingan elite dapat tercapai tidak lain yaitu kekuasaan.
Perilaku Masyarakat Indonesia di Era Post-Truth
Sejak muncul Revolusi Industri 4.0, kehidupan masyarakat diwarnai dengan penggunaan teknologi digital. Salah satu produk yang berkembang adalah media massa. Media massa ini sangat pesat perkembangannya dan begitu mudah mempengaruhi kehidupan masyarakat. Pengaruh lain dari perkembangan teknologi selain mempengaruhi perilaku manusia dalam aktivitasnya, Juga mempengaruhi pola pikir masyarakat yang cenderung bersifat personal sentris. Perkembangan teknologi yang begitu pesat mengakibatkan banyak bermunculan berbagai macam gejolak di dunia politik khususnya. Isu post-truth dalam dunia politik digunakan sebagai alat propaganda untuk menyerang suatu golongan, kelompok, atau lawan politik tertentu. Fenomena post-truth seringkali menjadi alat propaganda elit politik untuk memperebutkan kekuasaan.
Tahun 2019 Indonesia baru saja melaksanakan hajat pesta demokrasi yaitu pemilihan umum. Dalam perjalanan di tahun politik ini tidak lepas dari isu-isu post-truth yang dihembuskan selama masa kampanye. Seperti halnya kasus Ratna Sarumpaet, surat suara pilpres 2019 yang sudah tercoblos, e-KTP warga China, banyak KPPS yang meninggal pasca pemilu 2019, serta tuduhan kecurangan yang dilakukan oleh salah satu paslon. Isu-isu yang terus menerus dihembuskan kepada publik, mampu mengaduk-aduk sisi emosional halayak untuk menuntut kebenaran yang hakiki sehingga meletuslah aksi 22 Mei, yang sempat membuat keresahan, dan kerusuhan di ibu kota. Tidak berlebihan jika mengatakan aksi 22 Mei adalah aksi melawan bangsanya sendiri.
Pengaruh Politik Post-Truth terhadap Kesatuan dan Persatuan Masyarakat Indonesia
Budaya politik post-truth inilah yang akan menjadi tantangan desain Bangsa Indonesia ke depannya, karena suksesnya politik post-truth di Indonesia bukan hanya karena kurangnya edukasi dan literasi masyarakat Indonesia, tetapi pelaku utama dari basis elite politik dan pihak-pihak lain yang memiliki tujuan profit oriented dengan mengorbankan persatuan dan kesatuan masyarakat.
Momen-momen politik seperti halnya tahun politik 2019 pasti menjadi ajang seru untuk saling melancarkan politik post-truth dari masing-masing kubu; hoax, fitnah, isu politik, narasi settingan mewarnai hari-hari menjelang pemilu, yang tak lain demi mendapatkan suara dan mendulang simpati rakyat sebanyak-banyaknya. Kemampuan masing-masing kubu dalam mengaduk-ngaduk emosional simpatisannya dengan sentiment kecurangan pemilu, penganiayaan timses, mengorek latar belakang paslon, menjadi senjata masing-masing kubu yang siap digunakan untuk berperang. Atmosfer pra dan pasca pemilu semakin memanas, masyarakat yang tidak sabar menunggu konfirmasi dari pihak yang bewenang mulai membuat statement dan kesimpulan sendiri-sendiri berdasarkan keyakinan emosionalnya.
Dengan berbagai isu-isu yang dibentuk untuk menggiring opini masyarakat seperti halnya People Power versi 2019, akan menimbulkan keresahan, kecurigaan, dan pastinya apabila benar-benar terjadi akan menimbulkan chaos. Isu lainnya seperti halnya kecurangan yang dilakukan kubu posisi, klaim kemenangan secara sepihak dan menjadi pihak yang merasa dicurangi. Hal ini dapat menggiring opini masyarakat, memudarnya kepercayaan terhadap lembaga-lembaga berwenang seperti Bawaslu dan lembaga terkait lainnya, selanjutnya mengurangi kredibilitas negara dan menghilangkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah negara. Dan hal tersebut akan mengancam persatuan dan kesatuan masyarakat Indonesia.
Lapisan masyarakat di Indonesia diharapkan tidak bersikap fanatik terhadap golongannya yang bisa menjadi salah satu cara untuk menjaga persatuan. Pada Pilpres, banyak pihak-pihak yang ingin ikut campur ke dalam pesta demokrasi ini. jangan sampai persatuan dan keutuhan bangsa dikorbankan demi kepentingan pihak yang ingin berkuasa dalam lima tahun kedepan pasca pemilu. Berfikir positif bahwa setiap pemimpim memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing bisa menjadi peredam isu yang muncul akibat perdebatan antara dua kubu yang bertarung dalam Pilpres”.
Pemerintah dan segenap elite politik diharapkan menyudahi dan mengentikan isu-isu yang belum jelas dan terbukti kebenarannya dan tanpa didasari fakta. Di tahun mendatang setelah menemukan pemimpin bangsa yang menang dalam pesta demokrasi tahun 2019. Tidak ada lagi isu-isu miring sebagai balasan kekalahan dari salah satu kubu demi menjaga keharmonisan bangsa Indonesia. Rasa senasib, seperjuangan dan kita semua sama-sama anak bangsa dapat menjadi fokus untuk meredam isu perpecahan di masyarakat majemuk.
Endi Sukarno
Mahasiswa Pendidikan Kewarganegaraan dan Hukum Universitas Negeri Yogyakarta
Baca juga:
Revolusi Islam Sebagai Produk Politik
Muslihat Media Sosial pada Era Politik 2019
Pamitnya Kedamaian Akibat Kisruh Elit Politik