Donald Trump, Presiden Amerika Serikat yang banyak mencuri perhatian publik dengan kebijakannya yang kontroversial kini dihadapkan oleh berbagai macam persoalan baik di dalam negeri maupun luar negeri.
Perang dagang Amerika Serikat dengan Tiongkok yang telah berbuntut panjang dari tahun 2018 hingga saat ini semakin memanas dan rumit membuat Trump mengambil langkah cepat dengan bersembunyi di balik slogan “America First”.
Di samping perang dagang yang semakin memanas, Amerika sebagai negara dengan peringkat satu kasus COVID-19 terbanyak di dunia, per-tanggal 4 Juli 2020 kasus positif COVID-19 di Amerika Serikat menyentuh angka 2,890,588.
Baca juga: Rendahnya Kualitas Pendidikan
Tentu saja membuat Donald Trump harus sigap bergerak cepat mengejar waktu untuk menstabilkan negaranya kembali terutama perekonomian negara yang memburuk. Selain COVID-19, kini Trump harus menerima berita pahit setelah kasus George Floyd yang membuat masyarakat internasional menjadi murka terhadap sikap negara demokrasi itu.
Tindakan rasisme terhadap kulit hitam kini menjadi tagar internasional dan membuat beberapa kota di Amerika Serikat dipenuhi demonstran. Sayangnya aksi demonstrasi tersebut memberikan dampak yang buruk bagi perekonomian Amerika Serikat.
American First
Lantas bagaimana nasib perekonomian Amerika Serikat di bawah kebijakan Trump yaitu “America First”, disamping memanasnya perang dagang dengan Tiongkok, jatuhnya ekonomi internasional dikarenakan pandemi COVID-19 dan kasus rasisme yang menggerogoti seantero negeri Paman Sam?
Kebijakan “America First” sudah sejak lama di ganyangkan oleh Trump, dimana slogan ini pertama kali digunakan Trump ketika diwawancarai oleh New York Times pada Maret 2016.
Pada Januari 2017 ketika hari pelantikannya, Trump kembali menyuarakan “America First, America First” yang diikuti oleh oleh kalimat “Setiap kebijakan (Perdagangan, Perpajakan, Imigrasi, dan Kebijakan Luar Negeri) yang diambil oleh pemerintahannya harus berlandaskan pada America First, harus memiliki manfaat untuk rakyat Amerika.
Faktanya, kebijakan “America First” di satu sisi sukses membuat ekonomi berjalan dengan baik pada periode kepemimpinan Trump, namun tidak cukup hanya dengan berjalan dengan baik tanpa adanya peningkatan dan penguatan ekonomi.
Contohnya ketika 2019 pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat yaitu pertumbuhan rata-rata tahunan 2,3% dan berakhir dengan 2,1% untuk kuartal keempat. Sedangkan jika kita bandingkan dengan periode Obama, 2014 kuartal kedua berhasil menembus angka 5,5% .
Baca juga: Pentingnya Pendidikan Inklusif Bagi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)
Selain itu, Trump juga mengeluarkan kebijakan Trump Tax Reform atau pemangkasan pajak, dimana pada 2018 Amerika Serikat melakukan pemangkasan pajak penghasilan dari 35% menjadi 21%.
Tidak hanya di dalam negeri, kebijakan Trump ini justru menghebohkan dunia dan merugikan beberapa pihak. Dimulai ketika perang dagang antara Washington dan Tiongkok yang mengejutkan dunia.
Tanpa pikir panjang Trump beralih bahwa perang dagang mudah untuk dimenangkan dan Amerika Serikat memiliki perekonomian yang kuat, sehingga tidak perlu khawatir akan perlambatan yang terjadi. Tentu saja pernyataan Trump lagi-lagi menghebohkan dunia.
Hal ini memberikan dampak yang besar bagi negara-negara lain, bahkan Presiden Dewan Eropa Donald Tusk berpendapat bahwa perselisihan ini tidak masuk akal dan ditakutkan perang dagang duo raksasa ekonomi dunia ini akan menyebabkan resesi.
Bahkan perang dagang keduanya memberikan ketegangan di Timur Tengah, alhasil Bank Sentral Amerika, Federal Reserve menurunkan suku bunganya.
Trump juga mengambil kebijakan pembatasan ekspor teknologi canggih keluar negeri, yang bertujuan agar Amerika menjadi unggul serta tidak terjadi duplikasi di negara lain. Trump juga nekat memberlakukan kebijakan tarif untuk menekan dan membatasi impor sehingga produk-produk Amerika dapat diprioritaskan.
Serangkaian ulah Trump di ranah ekonomi global membuat IMF harus turun tangan dengan memberikan peringatan kepada kebijakan tarif yang diterapkan Amerika Serikat, dimana kebijakan tersebut berisiko menurunkan pertumbuhan global sebesar 0,5% atau sekitar 430 miliar dollar Amerika Serikat akan sirna dari PDB dunia pada tahun 2020.
Baca juga: Peran Pancasila dalam Pengembangan Iptek
Belum berakhir dengan kebijakan-kebijakan Trump yang mengejutkan perekonomian global, kini slogan “America First” harus diuji dengan Pandemi COVID-19 yang memporak-porandakan ekonomi global, salah satunya Amerika Serikat.
Hanya dalam waktu 3 minggu jumlah tunjangan pengangguran di Amerika Serikat naik drastis hingga 15 juta jiwa dan ditakutkan Amerika akan kehilangan 20 juta pekerjaan karena resesi COVID-19. Fenomena ini membuat Federal Reserve meluncurkan dana sebesar 2,3 triliun dollar Amerika Serikat untuk membantu pemerintahan daerah serta usaha kecil.
Kantor anggaran kongres Amerika Serikat bulan lalu meramalkan defisit anggaran akan mencapai 3,7 triliun dollar Amerika Serikat disamping utang nasional yang melonjak diatas 100% dari PDB.
Pandemi belum berakhir kini Amerika harus dihadapkan dengan kasus rasisme yang telah mengakar pada negeri paman sam ini. Bukan hanya sekedar krisis demokrasi namun juga krisis ekonomi.
Melihat fenomena tersebut, tampaknya Amerika harus menerima dengan lapang dada bahwa ekonomi negara mereka sedang merosot jauh. Alih-alih menjadi raksasa ekonomi dunia, kini Tiongkok perlahan menyalip Amerika sebagai lawan ekonominya.
Kebijakan America First hanyalah slogan Trump untuk merealisasikan “Make America Great Again” yang belum dapat memberikan justifikasi atau bayaran cukup atas dampak kebijakan tersebut. Kebijakan Trump dapat diasumsikan sebagai karakter utama dari realisme ekonomi politik yang mengutamakan keamanan dalam aspek politik serta ekonomi.
Hal ini dapat kita lihat bahwa kebijakan Trump dengan tegas mempertunjukkan kepentingan dirinya dan Amerika lah yang utama dengan menempuh serangkaian kebijakan kontroversi lainnya untuk memuluskan jalan nya dalam mengimplementasikan kebijakan “America First”.
Kini Amerika Serikat mengalami degradasi ekonomi dimana perdagangan global yang basisnya multilateralisme dianggap merugikan bagi Amerika. Sebagai contoh ketika Trump keluar dari Paris Agreement.
Dan baru-baru ini ditengah pandemi, Trump menghebohkan dunia dengan menarik diri dari WHO serta berhenti memberikan dana bantuan dengan alasan yang sama, yaitu bahwa mereka tidak memberikan manfaat bagi Amerika serta uang yang nominalnya besar tersebut lebih baik digunakan untuk mensejahterakan rakyat Amerika.
Perang dagang antara Amerika dan Tiongkok akan semakin memanas dan memberikan kejutan bagi seluruh negara dalam pusaran ekonomi dan politik, setelah berpaling dari ekonomi dunia menjadi “America First”, akhirnya Amerika menarik semua projek ekonomi mereka di luar negeri yang tidak memberikan keuntungan yang nyata bagi Amerika.
Hal ini memperkuat posisi Tiongkok dalam mengambil kendali perekonomian dunia. Tentu saja hal ini berdampak pada eksistensi Amerika di dunia internasional. Satu hal yang patut dicatat adalah korelasi eksistensi ekonomi dan dominansi global. Tiongkok, dalam konteks ini, sudah mampu bermain dengan quid pro quo dan ‘mencuri’ pangsa Amerika di dunia internasional.
COVID-19 dan isu rasisme juga membuat perekonomian Amerika Serikat porak-poranda, dimana banyak sekali orang yang menjadi pengangguran dan pemerintah mengeluarkan dana yang sangat besar untuk mengatasi keterpurukan ekonomi.
Adapun kerusuhan di beberapa negara bagian justru menambah anggaran pemerintah untuk memperbaiki fasilitas-fasilitas yang telah dirusak oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Entah bagaimana nasib Amerika setelah ini, Trump akan menggunakan dalih-dalih “melindungi rakyat Amerika Serikat”.
Akmal Maulana AR
Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional, UII