Pendidikan adalah proses transformasi kehidupan ke arah yang lebih baik. Pendidikan sering dijadikan sebagai standar stratifikasi sosial seseorang. Mereka yang berpendidikan akan dipandang khusus oleh masyarakat walaupun berasal dari keturunan yang hidup di bawah garis kemiskinan. Dengan pendidikan yang lebih tinggi pula, seseorang akan lebih mudah dalam mendapatkan pekerjaan. Apalagi jika seseorang telah memperoleh gelar sarjana. Tentu saja lulus dengan predikat sarjana membuka peluang dan kesempatan yang lebih besar.
Namun fakta di lapangan tidak sejalan dengan kondisi di atas. Beberapa waktu yang lalu Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data terkait dengan ketenagakerjaan di Indonesia selama Februari 2017 hingga Februari 2018. Data tersebut menunjukan tingkat pengangguran terbuka (TPT) lulusan universitas naik sebesar 1,13 persen dibandingkan Februari 2017. Dari 5,18 persen menjadi 6,31 persen. Tak hanya itu, data juga menunjukan bahwa pengangguran dari lulusan diploma I/II/III naik sebesar 1,04 persen dari 6,88 persen menjadi 7,92 persen. Data tersebut menunjukan adanya kesalahan yang terjadi dalam penyelenggaraan pendidikan di negeri ini.
Persoalan mengenai banyaknya jumlah pengangguran yang berasal dari kalangan wisudawan sebenarnya sudah menjadi rahasia umum. Mereka yang tamat setelah menempuh pendidikan di bangku kuliah namun belum mendapatkan pekerjaan sering dijuluki dengan istilah “Pengangguran Intelektual”.
Banyaknya jumlah pengangguran sarjana di Indonesia memang selalu menjadi masalah yang menyelimuti negeri ini. Seperti halnya pepatah tidak ada asap kalau tidak ada api, maka itulah cerminan dari kondisi kian meningkatnya jumlah pengangguran intelektual di Indonesia. Banyak sekali penyebab para lulusan pendidikan tinggi sulit mendapatkan pekerjaan. Mulai dari mahasiswa, perguruan tinggi, hingga pemerintah tentunya memiliki andil besar terciptanya kondisi semrawut tersebut.
Hal utama yang menjadi sorotan tentu kualitas dari mutu pendidikan yang telah berjalan. Tuntutan mutu pendidikan di Indonesia merupakan kebutuhan yang penting karena kualitas/mutu pendidikan di Indonesia yang dinilai oleh banyak kalangan, masih rendah. Hal tersebut bisa terlihat dari lulusan perguruan tinggi yang belum siap memasuki dunia kerja karena minimnya kompetensi yang dikuasai. Jika kondisi ini tidak diatasi dengan baik maka sulit rasanya untuk merealisasikan tujuan pendidikan yang telah dicanangkan. Dengan kondisi tersebut sulit untuk masyarakat luas mengharapkan hadirnya sosok agen perubahan sosial. Untuk itu, harus ada perubahan signifikan terhadap peningkatan kualitas mutu pendidikan.
Penyebab selanjutnya adalah hingga saat ini pemerintah belum mampu membuat pemetaan kebutuhan tenaga kerja. Padahal telah berulang kali jumlah lulusan universitas tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan dunia usaha yang ada. Tidak heran ketika kelompok terpelajar masih saja kesulitan mencari lapangan pekerjaan yang sesuai dengan bekal keilmuan yang telah diperolehnya.
Melihat kondisi tersebut sudah selayaknya pemerintah menciptakan pemetaan kebutuhan tenaga kerja. Pemetaan ini sudah seharusnya dilakukan agar sesuai dengan tujuan dan arah pendidikan di kampus. Sehingga tercipta sinergitas antara universitas yang mencetak lulusan profesional dan kompeten sesuai dengan keterbutuhan masyarakat dan dunia usaha.
Dari sisi universitas, kurangnya pengembangan berbagai softskill yang diberikan kepada para mahasiswa membuat mereka kurang cakap di dunia kerja. Maka solusinya wajib bagi universitas untuk melakukan pengembangan softskill kepada mahasiswanya baik saat masih aktif kuliah ataupun setelah lulus. Softskill yang diberikan haruslah berdasarkan atas kebutuhan masyarakat. Untuk itu, semua stakeholder harus pro-aktif dalam mengupayakan hal tersebut.
Semakin banyak jumlah pengangguran intelektual di Indonesia memang sudah sepatutnya untuk diatasi. Lulusan perguruan tinggi harus mempunyai kompetensi-kompetensi yang sesuai dengan kebutuhan stakeholder yaitu harus memenuhi kebutuhan profesional (professional needs), kebutuhan masyarakat (social needs), kebutuhan dunia kerja (industrial needs) dan kebutuhan generasi masa depan (aspect scientific vision). Untuk mewujudkan kompetensi-kompetensi tersebut, Kementerian Pendidikan telah menetapkan lima misi yang biasa disebut lima (5) K, yaitu: (1) Ketersediaan layanan pendidikan; (2) Keterjangkauan layanan pendidikan; (3) Kualitas mutu dan relevansi layanan pendidikan; (4) Kesetaraan memperoleh layanan pendidikan; serta (4) Kepastian/keterjaminan memperoleh layanan pendidikan.
Pengangguran memang menjadi masalah serius yang dihadapi sejumlah negara di dunia. Kurangnya jumlah pengusaha tentu menjadi salah satu faktor utamanya. Untuk itu, kurikulum kewirausahaan menjadi sangat penting untuk dihadirkan di dunia pendidikan. Hal ini akan menjadikan orientasi pendidikan tidak sekedar melahirkan jumlah calon karyawan yang mencari kerja (what to do) tetapi menciptakan calon-calon pengusaha yang mandiri (what to be).
Sederet permasalahan di atas tentunya dapat diatasi dengan beberapa opsi solusi. Di sisi lain untuk mendukung para pengangguran intelektual yang ada saat ini, stigma negatif yang ditujukan kepada mereka perlu segera dihilangkan. Bukan tidak mungkin jika hal-hal negatif yang sering disematkan kepada mereka akan berdampak terhadap motivasi hidup mereka. Maka tidak patut jika para pengangguran intelektual secara individual disalahkan atau bahkan dicaci maki.
Sudah saatnya seluruh elemen masyarakat bahu-membahu menyelamatkan para pengangguran intelektual maupun mereka yang masih aktif berkuliah untuk menjamin masa depan cerah dan cemerlangnya. Karena sejatinya seorang sarjana lebih punya bekal ilmu dan luas pengetahuannya, lebih mantap profesionalitas dan pengalamannya, serta memiliki semangat wirausaha dengan jiwa kepemimpinan yang matang.
M. Iqbal Syatibi Evtar
Mahasiswa Universitas Negeri Semarang
Baca juga:
Pesmaba Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIEM) Tanjung Redeb Kalimantan Timur
Sekolah dengan Kompetensi Abad Ke-21
Student Loan, Jembatan atau Jebakan ?