Student Loan, Jembatan atau Jebakan ?

“Ide presiden RI Joko Widodo yang menantang dunia perbankan untuk meluncurkan kredit pendidikan dalam upaya peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) menuai respon yang beragam”.

Dilansir dari tirto.id, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengusulkan agar perbankan mengucurkan dana kredit pendidikan. Jokowi melontarkan ide ini dalam rapat terbatas yang membahas soal “Peningkatan Sumber Daya Manusia Indonesia” di Kantor Presiden, Kamis (15/3/2018).

Ide Jokowi tersebut menuai respon yang beragam baik dari pelaku perbankan, pelaku pendidikan, maupun masyarakat sekalipun.

Bacaan Lainnya
DONASI

Dalam siaran persnya (10/4) Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir juga menyambut baik upaya perbankan dalam merespon arahan Presiden RI Joko Widodo untuk ikut mendukung peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) melalui kredit pendidikan (student loan).

Kredit pendidikan atau di Amerika Serikat biasa disebut dengan student loan merupakan suatu bentuk pinjaman yang dikhususkan bagi mahasiswa maupun calon mahasiswa yang mengalami kesulitan dalam hal pembiayaan studinya. Jika mahasiswa kurang mampu secara ekonomi sudah mendapatkan Bidikmisi (Beasiswa Pendidikan Mahasiswa Miskin).

Maka kredit pendidikan ini diperuntukkan bagi mereka, mahasiswa yang secara ekonomi mampu, namun memiliki banyak saudara yang membutuhkan biaya pendidikan, ataupun mahasiswa yang sampai pertengahan studinya mengalami kesulitan dalam hal biaya. Dana itu wajib dikembalikan ketika mahasiswa sudah lulus dan bekerja.

Mahasiswa yang dapat menggunakan kredit ini ialah mahasiswa jenjang S1 sampai S3. Kredit pendidikan ini nantinya bisa digunakan untuk membiayai kebutuhan selama perkuliahan, termasuk uang masuk kuliah, biaya penunjang pendidikan, dan biaya hidup selama perkuliahan.

BTN yang sudah meluncurkan kredit ini merencanakan plafon kredit yang akan dikeluarkan mencapai Rp 200 Juta per orang, dengan suku bunga flat 6.5 persen selama 5 tahun. BRI juga sudah meluncurkan kredit pendidikan dengan nama Briguna Flexi dengan plafon kredit Rp 75 – Rp 150 Juta dengan jangka maksimal 10 tahun, bunga 0,65 – 0.72 persen. Bedanya dengan BTN, BRI hanya mengkhususkan kredit pendidikan kepada mahasiswa pascasarjana (S2/S3) saja.

Tujuan pemerintah mengusulkan ide ini, ialah untuk meningkatkan sumber daya manusia melalaui pendidikan. Dengan adanya kredit pendidikan maka pendidikan dapat diakses oleh semua orang, bahkan orang yang mengalami kesulitan dalam hal biaya sekalipun. Sesuai rencana Presiden Joko Widodo bahwasannya pada tahun 2019 nanti fokus pengembangan sudah tidak lagi pada infrastruktur, melainkan pada peningkatan sumber daya manusia. Maka dari itu, adanya kredit pendidikan digadang-gadang dapat menjadi solusinya. Sehingga tak heran jika mulai dipersiapkan dari sekarang. Agar di tahun 2019 dapat berjalan sesuai harapan. Namun, yang terjadi justru sebaliknya.

Sebenarnya kredit pendidikan ini juga tidak mudah bagi perbankan. Pasalnya untuk memberikan pinjaman kepada mahasiswa, asas kehati-hatian dalam memberikan suatu pinjaman kepada nasabahnya perlu diperhatikan karena perbankan itu tidak untuk sosial.

Kalau sesuai konsep student loan  yang sudah ada di Amarika Serikat, mahasiswa harus mengembalikan pinjamannya setelah mereka bekerja. Sedangkan jika kita lihat di Indonesia sendiri tidak semua lulusan perguruan tinggi dapat langsung bekerja.

Menurut data yang dihimpun dari BPS 2017 pengangguran dari lulusan perguruan tinggi mancapai angka 11.19 persen. Hal ini mengindikasikan bahwasannya dari segi penyerapan tenaga kerja, Indonesia belum siap menjamin seluruh lulusan perguruan tingginya untuk langsung bekerja setelah lulus.

Belum lagi di Amerika Serikat, yang sudah lama menerapkan student loan justru sekarang menjadi masalah negara. Sebab perbankan sebagai poros pertumbuhan ekonomi suatu negara harus ditekan dengan adanya student loan tersebut. Hal ini sesuai yang dinyatakan oleh Ketua Federal Reserve Jerome Powell dalam CNBC bahwasannya tingkat hutang mahasiswa yang terus meningkat dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi dari waktu ke waktu.

Dari pengalaman Amerika Serikat tersebut dapat dilihat, kalau perbankan itu untuk menghasilkan pertumbuhan ekonomi. Jika kredit pendidikan ini tetap diterapkan, hal yang ditakutkan ke depannya ialah pertumbuhan ekonomi di Indonesia ikut tersendat.

Kalaupun pemerintah menginginkan agar seluruh rakyatnya bisa menempuh pendidikan tanpa terkecuali, harusnya anggaran pendidikan sebesar 20 persen yang sudah dianggarkan dari APBN itu digunakan untuk membantu mahasiwa miskin.

Menurut UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi disebutkan pemerintah pusat dan daerah, serta perguruan tinggi berkewajiban memenuhi hak mahasiswa yang kurang mampu secara ekonomi. Hal ini diatur dalam Pasal 76 ayat (1).

Dari peraturan di atas dapat dilihat bahwa pemerintah itu wajib memberikan hak pendidikan bagi mereka yang kurang mampu secara ekonomi. Jadi mahasiswa miskin itu wajib dibantu, bukan dengan cara melalui pihak lain seperti perbankan.

Kalau perbankan menjadi salah satu solusi untuk melaksanakan pemerataan pendidikan, berarti pendidikan sudah masuk dunia bisnis. Artinya bahwa pendidikan menjadi ajang bisnis, untuk mencari keuntungan.

Kredit pendidikan yang katanya bisa menjadi solusi untuk menjembatani mahasiswa miskin,  justru malah menjebak mahasiswa. Pasalnya mereka harus menanggung beban untuk mengembalikan dana yang telah dipinjam secepatnya. Belum lagi secara sosiologis, mereka harus menanggung beban hutang di depan masyarakat. Sedangkan dirinya belum memperoleh penghasilan.

Berdasarkan uraian-uraian di atas, dapat disimpulkan bahwasannya kredit pendidikan yang akan diterapkan ini perlu dikaji ulang. Pasalnya keinginan Jokowi untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia di Indonesia ini tidak sebanding dengan kondisi Indonesia saat ini. Secara ideologis, seluruh rakyat Indonesia berhak untuk memperoleh pendidikan dan hal itu menjadi tanggung jawab negara. Sedangkan faktanya Indonesia belum siap dalam hal penyerapan tenaga kerja secara merata bagi lulusan perguruan tinggi. Ditambah lagi perbankan yang belum siap untuk menanggung kerugian jika mahasiswa tidak mengembalikan dana pinjamannya. Sehingga alangkah lebih baik jika untuk mencapai pemerataan pendidikan tidak ditempuh dengan cara kredit pendidikan, melainkan dengan melakukan pengkajian ulang terhadap alokasi anggaran pendidikan dari APBN untuk apa saja.

DEWI OKTAVIANI
Mahasiswi Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan,
Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Semarang

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI

Komentar ditutup.