Semarang, 4 Juli 2025 – Enam mahasiswa dari Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Semarang menyelenggarakan kampanye budaya bertajuk “Bubur Tujuh Rupa: Cerita Tradisi dalam Semangkuk Warna” di arena Car Free Day (CFD) Simpang Lima Semarang, pada Minggu (22/6). Kegiatan ini bertujuan untuk memperkenalkan kembali sajian tradisional bubur tujuh rupa beserta makna filosofisnya kepada masyarakat luas, terutama generasi muda.
Kampanye ini dilatarbelakangi oleh kekhawatiran terhadap lunturnya minat masyarakat terhadap makanan tradisional akibat pengaruh budaya luar dan perubahan gaya hidup. Dengan pendekatan interaktif dan visual yang kreatif, para mahasiswa mencoba menyampaikan nilai-nilai tradisi dengan cara yang lebih komunikatif dan mudah diterima oleh masyarakat masa kini.
Bubur tujuh rupa, atau yang dikenal juga sebagai jenang pitu, merupakan hidangan adat Jawa yang biasa disajikan dalam upacara mitoni (tujuh bulanan kehamilan). Setiap jenis bubur memiliki warna dan filosofi tersendiri.
Misalnya, bubur sagu merah melambangkan keberanian, bubur kacang kuning melambangkan kemakmuran, dan bubur sum-sum putih melambangkan ketulusan. Warna dan rasa bubur lainnya juga menyimpan simbol-simbol mendalam yang berkaitan dengan harapan dan nilai-nilai kehidupan.
Dalam kampanye ini, para pengunjung tidak hanya dapat mencicipi ketujuh jenis bubur, tetapi juga mendapatkan penjelasan filosofis secara langsung dari tim pelaksana. Informasi ini diperkuat dengan media visual seperti poster dan ilustrasi yang memudahkan masyarakat memahami makna di balik setiap warna dan rasa bubur.
Baca Juga: Mengenal Makanan Khas Yogyakarta: Gudeg sebagai Salah Satu Kuliner yang Melegenda
Pemilihan lokasi di kawasan CFD Simpang Lima sangat strategis karena menjadi ruang publik terbuka yang dikunjungi banyak kalangan dari berbagai usia. Booth kampanye menyajikan aktivitas menarik, seperti kuis budaya, permainan edukatif, serta spot foto dengan dekorasi tradisional, yang membuat interaksi antara peserta dan pengunjung berlangsung secara aktif dan menyenangkan.
Kemeriahan stand juga dirasakan langsung oleh pengunjung. Hendi salah satu warga yang hadir, mengaku tertarik sejak awal melihat keramaian stand, “stand kampanye Bubur Tujuh Rupa ini menarik perhatian saya karena dari jauh sudah terlihat ramai dan banyak masyarakat yang antusias datang. Hanya dengan bermain puzzle dan mengisi teka-teki, saya jadi tahu bahwa ternyata setiap bubur dari tujuh rupa itu punya makna masing-masing,” tuturnya antusias.
Salah satu keunikan dalam kampanye ini adalah penggunaan busana kebaya dengan tujuh warna berbeda yang dikenakan oleh para pelaksana. Warna-warna tersebut diselaraskan dengan jenis bubur yang disajikan, menciptakan keselarasan visual yang kuat. Selain kebaya, mereka juga mengenakan apron berisi ilustrasi dan penjelasan mengenai nama serta filosofi bubur, menjadikan atribut tersebut sebagai media komunikasi non-verbal yang efektif.
Baca Juga: Bangga dengan Kuliner Nusantara: Mengenal Cita Rasa Khas Palembang
Tak hanya mengandalkan interaksi langsung, kampanye ini juga memperluas jangkauannya melalui media digital dengan mengelola akun Instagram @buburtujuhrupa_. Akun ini digunakan untuk membagikan dokumentasi kegiatan, informasi budaya, hingga konten visual edukatif yang menjangkau kalangan muda secara lebih luas.
Kampanye “Bubur Tujuh Rupa: Cerita Tradisi dalam Semangkuk Warna” merupakan bagian dari upaya kreatif mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Semarang untuk melestarikan tradisi lokal melalui pendekatan komunikasi budaya. Dengan memadukan interaksi langsung, visual edukatif, dan media digital, kampanye ini menegaskan bahwa pelestarian budaya dapat dikemas secara modern, partisipatif, dan relevan dengan zaman.
Penulis:
1. Arsya Ainurrahma
2. Dila Mariska
3. Sahara Zumarwah
4. Aisyah Wahyu
5. Cindy Faradilla
6. Herlinda Nuraisya
Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Semarang
Editor: Ika Ayuni Lestari
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru di Google News