Setelah Terpilih, Kembali atau Menetap

Hajatan pesta demokrasi lima tahunan (pemilu) telah usai. Proses rekapitulasi suara telah selesai sekaligus penetapan hasil pemilu sudah di umumkan. Konstelasi politik sedang mengalami fase peralihan dari tensi politik yang memanas, perlahan mulai dingin di ruang publik. Kini masyarakat (pemilih) sudah meninggalkan kebisingan politik yang mewarnai pesta demokrasi Indonesia. Sekat-sekat antar kubu diharapkan perlu dihancurkan sekaligus disterilkan dengan corak rekonsiliasi politik. Isu primordial yang nyaris laku di pemilu kemarin perlu kita perangi, saatnya kita harus membuang semua keburukan. Mari sama-sama lupa pada politik semacam itu, lebih penting kita optimis untuk mendukung yang sudah  terpilih sembari menunggu kebijakan yang siap direalisasikan. Janji politisi dan aspirasi pemilih menjadi topik hangat yang sedang mengudara untuk di perbincangkan. Kita berharap yang sudah terpilih menyadari dirinya sekaligus memahami tugas dan tanggung jawabnya.

Pemilu serentak antara Pilpres dan Pileg ternyata menyisakan trauma politik yang begitu dalam bagi arah perkembangan demokrasi. Hal itu dapat kita temukan dari pengalaman sebelum dan pasca pemilu. Demokrasi mengalami turbulensi yang sangat keras akibat ulah sekelompok orang yang terlalu ambisius dalam berpolitik. Pemilu seharusnya menjadi pesta suka cita bagi kita semua, tanpa harus mencederai rival politik. Namun semua persoalan itu sudah selesai dan kita lewatkan, tidak ada yang perlu di dendamkan. Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah sangat ekstra bekerja dalam mensukseskan pemilu kali ini. KPU menargetkan partisipasi pemilih berkisar di angka 77,5%, ternyata partisipasi pemilih melebihi itu, yaitu 81%. Sebuah pencapaian yang sangat bagus bagi perkembangan demokrasi Indonesia. Jarang partisipasi pemilih di negara demokrasi modern mampu mencapai angka tersebut. Kita harus bangga bahwa demokrasi Indonesia sudah berjalan baik serta kesadaran berpolitik masyarakat akan dinamika dalam negara sudah begitu aktif dan harus kita dorong. Menjadi pertanyaan bersama, apakah angka 81%, mampu di imbangi dengan pencapaian dari para politisi yang sudah terpilih?

Pertanyaan di atas sebenarnya ingin  menyadarkan para politisi bahwa pemilu yang sudah dilaksanakan dengan partisipasi  yang begitu besar, harus pula di dukung dengan pencapaian kinerja. Tolak ukur demokrasi tidak hanya terletak pada sejauh mana partisipasi warga negara dalam memilih, namun sejauh mana realisasi atas kinerja politisi mampu mengimbangi dan bahkan melebihi partisipasi pemilih. Partisipasi pemilih mencapai 81% tersebut menunjukan suatu sikap warga negara yang paham sekaligus menunjukan kesiapan mereka dalam mendukung politisi melaksanakan kegiatan politiknya. Di sinilah politisi harus sadar bahwa kepercayaan publik (public truth) sudah mulai terawat dengan baik, tidak boleh dilukai dengan segala macam alasan.

Bacaan Lainnya
DONASI

Kembali Atau Menetap

Hiruk pikuk politik Indonesia banyak diwarnai dengan berbagai macam jargon. Salah satu jargon yang paling familiar di kalangan politisi dan publik secara umum, ialah, “Berjuang Untuk Rakyat”. Kehadiran jargon di pesta pemilu selalu di bumbui dengan berbagai intrik politik. Mulai dari yang rasional sampai pada hal-hal yang bahkan melampaui sisi kemanusiaan. Semuanya mewarnai pesta pemilu sekaligus menambah kekhasan cita rasa politik yang tengah mengarus. Apakah jargon semacam itu salah? Tidak ada yang salah,  hanya perlu dipertimbangkan kembali. Apakah etis dan sesuai dengan nilai-nilai demokrasi sehingga perlu di umbarkan ke publik. Terlepas dari keburukan  dan ketidakjelasan jargon semacam itu, kita hanya bisa mengajukan sebuah pertanyan reflektif. Apakah nantinya mereka yang sudah terpilih akan kembali ke tengah-tengah pemilih atau malah duduk diam dan menetap di sana sampai masa politiknya berakhir?

Pengalaman sebelumnya, kehadiran politisi di gelanggang politik, setelah terpilih kerapkali lebih banyak waktu untuk berdiam di atas kursi. Blusukan ke tengah masyarakat hampir terpinggirkan dan bahkan jarang dilakukan. Masa reses seringkali tidak dipergunakan sepenuhnya, melainkan lebih banyak menetap. Pemilu seolah hanya wadah untuk memilih, setelah terpilih menghilang dan tanpa kembali. Kepercayaan publik dan partisipasi pemilih hanya dibayar dengan sikap yang terlampau basa-basi. Politisi kurang memahami kepercayaan publik sebagai suatu yang dipenuhi dan di pertanggung jawabkan. Pasca pemilu wajah politisi tidak pernah nongol kembali. Tidak heran jika di kalangan masyarakat akar rumput (grass root), ada ungkapan ‘5 D’, Datang, Duduk, Diam, Dengar, Duit.

Sudah saatnya politisi harus memaknai sembari merefleksikan dua kata, ‘Kembali atau Menetap’. Tingkat partisipasi pemilih pada pemilu kemarin membuka kran politik baru bagi para politisi untuk mengamati sekaligus mempertanggung  jawabkan kepercayaan publik. Publik sadar bahwa negara harus di atur dengan kebijakan, untuk menjawabi kesadaran itu, pemilu menjadi sangat rasional untuk mengemban kepercayaan dipundak politisi. Di sinilah politisi harus mampu bersikap lugas memahami kepercayaan sembari melaksanakannya. Kinerja politisi menjadi garis depan dalam menjawab kepercayaan publik, apakah mampu mempertanggung jawabkan atas nama publik atau malah menjadi bagian dari ketidaksiapan melaksanakan kepercayaan itu. Inilah yang semestinya harus dibangun dalam diri politisi, kesadaran memahami tanggung jawab sekaligus tupoksi.

Patrisius. E. K. Jenila
Mahasiswa Prodi Ilmu Politik Universitas Merdeka Malang

Baca juga:
Debat Perdana Pilpres: Antara Optimisme dan Pesimisme Penyelenggaraan Pemilu 2019
Wajah Buram Disfungsi Kampanye Pemilu 2019
Pemilu dan Terujinya Nalar Kritis Pemilih

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI