Ironi Demagogi Politik dalam Pesta Demokrasi

Mendekati puncak penghitungan suara hasil Pemilu tingkat nasional oleh KPU, dinamika dan turbulensi politik masih belum menunjukan titik ahir. Perseteruan antar pendukung kedua paslon capres dan cawapres masih panas. Saling serang pernyataan masih terjadi. Sementara, saling klaim kemenangan pun tak pernah berhenti.

Apabila sebelum pemungutan suara, pertemuan koalisi partai politik serta tim sukses lebih terfokus pada isu logistik dan kemungkinan penundaan penyelenggaraan pemilihan umum. Kini, setelah pemungutan suara dilakukan, fokus pertemuan beralih pada isu lain yang lebih sensitif, manifestasi kepanikan kalau tak terpilih, bahkan menolak hasil pemilu presiden. Tentu ini sebuah ironi yang bisa membahayakan demokrasi.

Narasi dan persepsi kecurangan ini, seperti sengaja didesain untuk menciptakan kegaduhan dan merusak kepercayaan masyarakat (trustworthy) pasca perhitungan suara atau penetapan hasil pemenang pemilu. Apabila kepercayaan publik terhadap penyelenggara pemilu ini sudah pudar, maka dikhawatirkan akan membuat kegaduhan politik semakin runyam, baik secara horizontal maupun vertikal.

Bacaan Lainnya
DONASI

Sebagai negara yang menganut azas Demokrasi, Pemilu di Indonesia seyogyanya merupakan salah satu prosedur terpenting untuk melegitimasi kekuasaan serta mewujudkan kedaulatan rakyat. Namun, konstalasi politik belakangan ini tidak lagi menjadikan pesta demokrasi (pemilu) menjadi hal yang membahagiakan. Pemilu seakan menjadi sebuah penyakit, yaitu demam politik demagog namanya.

Demam Demagogi Politik

Secara kebahasaan demagog berasal dari bahasa Yunani, yaitu demos berarti rakyat, dan agógos berarti penghasut (pemimpin). Maka demagog dapat diartikan sebagai pemimpin penggerak politik yang pandai mempengaruhi rakyat untuk mencapai tujuan-tujuan kekuasaan. Para demagog saat ini bisa berasal dari kalangan politisi, agamawan, akademisi, dan lain sebagainya.

Pengidap virus demagogi enggan melakukan pendidikan politik kepada masyarakat. Apalagi membangun budaya kritisisme dan obyektif untuk mencari akar permasalahan secara holistik. Virus demagogi akan bermutasi menjadi lebih kuat dan membahayakan jika ada media massa yang ikut terinfeksi.

Ironisnya, demagog modern memanfaatkan prosedur elektoral dan kebebasan untuk mencangkokkan kepentingan kekuasaannya. Terutama di tengah lemahnya literasi politik, kekuasaan demagog mendapatkan legitimasi semu dari dukungan populer atas kampanye politiknya yang membakar. Pada saat bersamaan, lembaga-lembaga politik mengalami delegitimasi akibat ketidakmampuan mereka menyelesaikan problem sosial.

Di sisi lain, media sosial dimanfaatkan secara masif untuk menyebarkan informasi yang menyesatkan, atau hoaks, demi tujuan politik. Informasi dan analisis parsial tersebut disebarluaskan berulang-ulang hingga terasa selaras dengan skeptisisme massa. Rasionalitas dan kebenaran memudar oleh sensasi emosi yang lebih mendahulukan perasaan dan keyakinan yang bersifat subyektif dibandingkan fakta objektif yang sesungguhnya.

Problem terbesar sesungguhnya, bukan pada absennya struktur politik modern, melainkan pada lemahnya kultur politik demokratis. Lambannya konsolidasi demokrasi Indonesia berutang pada pengembangan habitus demokrasi di antara subjek-subjek politik, terutama menyangkut bagaimana mereka mengelola perbedaan dan mengupayakan kesepahaman.

Politik mengalami pergeseran makna dan etika, dari apa yang dikatakan oleh Seymour Martin Lipset, dalam karya klasiknya berjudul Political Man yang mengatakan bahwa demokrasi bukan hanya sekadar cara untuk membuat setiap kelompok dapat mencapai tujuan mereka. Demokrasi juga cara untuk membangun masyarakat yang baik.

Sebagai negara demokrasi, seluruh pihak harus memberi ruang atas perbedaan opini, kritik, dan kontrol. Namun, demokrasi juga menuntut para pelaku menghormati aturan main yang telah disepakati. “Not only rule of law, but also rule of ethics” suatu pernyataan yang menegaskan bahwa betapa pentingnya etika dalam proses penyelenggaraan negara yang berada di bawah payung hukum.

Fenomena demam demagogi ini ialah suatu ujian bagi kemapanan bangunan demokrasi dan lembaga-lembaga politik kita. Apabila perilaku para demagog ini terus dibiarkan, maka negara ini akan berubah menjadi mobokrasi/oklokrasi seperti apa yang dijelaskan oleh Aristoteles. Negara akan dibajak oleh kekuatan kelompok-kelompok masyarakat yang menjurus pada perbuatan kekerasan dan kekejaman, atau perbuatan tidak legal dan melawan hukum.

Perlu Kedewasaan Berpolitik

Luntur hingga hilangnya etika dan kearifan dalam ruang publik politik kita saat ini memerlukan penegakan hukum yang berkeadilan dan imparsial untuk menghindarkan kebencian berkembang menjadi konflik politik yang tidak berkesudahan. Selain itu, dibutuhkan juga sikap kenegarawanan (dewasa) dalam berpolitik dari setiap elit.

Dahulu kita memiliki tokoh-tokoh politik bangsa yang memang memiliki kualitas perilaku dan etika yang tinggi. Sebut saja di antaranya Bung Karno, Bung Hatta, Agus Salim, Sutan Sjahrir dan Gusdur. Mereka memiliki integritas dan etika dalam berpolitik berdasarkan Pancasila, sangat mengedepankan nilai-nilai moralitas yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia.

Etika politik berdasarkan nilai-nilai Pancasila ini dapat menjadi detox dalam menyembuhkan penyakit demokrasi di Indonesia. Sederhananya, politik di Indonesia harus dijalankan dengan semangat keadaban dalam kerangka masyarakat madani yang dilandaskan pada dua sendi: kebebasan dan supremasi hukum. Artinya, kebebasan berekspresi, berserikat dan mengeluarkan pendapat tidak boleh dibelenggu asalkan berada dalam koridor hukum yang berlaku.

Dalam hal pemilu, Konstitusi kita menghormati hak siapa pun yang merasa dirugikan dalam penyelenggaraan pemilu, dan menyediakan saluran hukum untuk memperjuangkan keadilan dan kebenaran. Dalam konteks pileg dan pilpres, hukum yang berlaku sudah menyediakan pola penyelesaian sengketa secara berjenjang. Mulai dari pengadilan tingkat pertama, banding sampai dengan kasasi ke Mahkamah Agung.

Dengan demikian, jangan sampai ketidakpuasan atas hasil pemilu dilampiaskan dengan cara-cara yang di luar koridor hukum. Hal tersebut perlu diingatkan, mengingat sudah banyak kasus kerusuhan baik di dunia maya ataupun nyata, terutama atas hasil pemilu yang melampiaskan ketidakpuasannya dengan cara-cara anarkistis. Kita mendorong semua pihak untuk menempatkan hukum sebagai panglima.

Dadan Rizwan Fauzi, S.Pd.
Mahasiswa Megister (S2) PKn UPI

Baca juga:
Kerusuhan Kampanye Menjelang Pemilu Menyimpang Sila Pancasila
Bijaksana Menyikapi Hasil Pemilu
Setelah Pemilu, Saatnya Kita Kembali Merangkul

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI