Dalam setiap perjalanan hidup, keputusan besar sering kali harus diambil. Bagi pemuda desa, salah satu dilema terbesar adalah memilih untuk bertahan di kampung halaman demi membangun komunitas atau pergi ke kota untuk mengejar mimpi. Kedua pilihan ini memiliki konsekuensi yang mendalam, baik bagi individu itu sendiri maupun bagi masyarakat di sekitarnya.
Pilihan ini bukanlah sekadar persoalan geografis; ia melibatkan emosi, impian, serta tanggung jawab. Ketika pemuda desa dihadapkan pada kenyataan akan keterbatasan yang ada di sekeliling mereka, mereka juga harus berhadapan dengan godaan peluang yang ditawarkan oleh kehidupan perkotaan.
Hidup di desa adalah hidup dalam keheningan yang damai, jauh dari hiruk-pikuk lalu lintas dan tekanan sosial kota. Desa menawarkan keharmonisan dengan alam dan hubungan antarindividu yang erat.
Sebuah desa sering kali menjadi tempat di mana tradisi dan budaya hidup dengan kuat, mengakar dalam kehidupan masyarakatnya. Banyak pemuda desa yang memiliki semangat untuk tetap tinggal dan membangun daerah mereka.
Mereka ingin menjadi bagian dari perubahan yang membawa desa ke arah yang lebih baik. Namun, semangat ini sering kali terhambat oleh realitas yang tidak mudah.
Keterbatasan infrastruktur adalah salah satu tantangan utama. Jalan yang rusak, akses transportasi yang sulit, hingga layanan kesehatan dan pendidikan yang minim membuat pemuda desa merasa terisolasi.
Selain itu, peluang kerja yang terbatas menyebabkan banyak dari mereka merasa bahwa mereka hanya dapat berkembang jika mereka meninggalkan desa.
Rasa frustrasi ini sering kali diperparah oleh minimnya perhatian dari pemerintah daerah. Program pembangunan yang tidak merata membuat desa-desa tertinggal, seolah-olah dilupakan dalam arus modernisasi.
Ketimpangan ini menciptakan lingkaran setan: desa kehilangan pemudanya yang potensial, sementara mereka yang bertahan sering kali merasa tidak mendapat dukungan yang cukup untuk berkembang.
Di sisi lain, kota sering kali dipandang sebagai “tanah harapan” oleh pemuda desa. Kota menawarkan berbagai fasilitas: akses terhadap pendidikan tinggi, peluang karier yang menjanjikan, serta teknologi yang memungkinkan individu untuk mengeksplorasi bakat mereka hingga ke tingkat tertinggi.
Namun, kehidupan di kota tidaklah selalu seindah yang terlihat. Di balik gedung pencakar langit dan lampu yang gemerlap, terdapat tantangan besar yang sering kali tidak disadari oleh pemuda desa sebelum mereka tiba.
Tingginya biaya hidup menjadi salah satu ujian pertama. Dari kebutuhan dasar seperti makanan hingga tempat tinggal, semuanya membutuhkan biaya yang jauh lebih besar dibandingkan di desa. Persaingan untuk mendapatkan pekerjaan juga sangat ketat, memaksa banyak pemuda untuk bekerja keras tanpa jaminan keberhasilan.
Lebih dari itu, kehidupan kota dapat membawa dampak emosional yang mendalam. Banyak pemuda desa yang merasakan kehilangan identitas di tengah arus urbanisasi. Rindu akan kampung halaman sering kali menghantui mereka, sementara tekanan untuk bertahan hidup di kota terus meningkat. Dalam kondisi ini, tidak sedikit yang merasa terasing, baik dari keluarga maupun dari diri mereka sendiri.
Dilema ini sebenarnya tidak perlu menjadi sebuah pilihan yang mutlak. Solusi terbaik adalah menciptakan keseimbangan antara pembangunan desa dan kota. Pemerintah, masyarakat, dan pemuda itu sendiri memiliki peran besar dalam mewujudkan hal ini.
Pemerintah harus memprioritaskan pembangunan desa. Infrastruktur dasar seperti jalan, listrik, internet, dan fasilitas kesehatan harus ditingkatkan. Pendidikan juga harus menjadi fokus utama, dengan menyediakan sekolah berkualitas di desa serta beasiswa untuk pemuda yang ingin melanjutkan pendidikan tinggi.
Selain itu, program pelatihan keterampilan dan pengembangan usaha mikro dapat menjadi solusi untuk membuka lapangan kerja di desa. Dengan adanya dukungan ini, pemuda tidak perlu pergi ke kota hanya untuk mendapatkan penghasilan.
Teknologi juga memegang peranan penting. Di era digital ini, pemuda desa dapat memanfaatkan internet untuk memasarkan produk lokal, belajar keterampilan baru, atau bahkan bekerja sebagai freelancer tanpa harus meninggalkan kampung halaman.
Dengan pemanfaatan teknologi yang tepat, desa dapat menjadi pusat inovasi yang tidak kalah menarik dibandingkan kota. Dilema pemuda desa bukan hanya persoalan individu, melainkan cerminan dari ketimpangan yang ada dalam pembangunan negara. Namun, dengan dukungan yang tepat, dilema ini dapat dibalik menjadi peluang.
Pemuda desa yang memilih untuk bertahan dapat menjadi agen perubahan di komunitas mereka, membangun desa menjadi tempat yang lebih baik untuk generasi berikutnya. Sementara itu, pemuda yang memilih pergi ke kota dapat membawa pengetahuan dan pengalaman baru yang suatu saat bisa diterapkan untuk membangun kembali desa mereka.
Pada akhirnya, desa dan kota bukanlah dua kutub yang harus saling bertentangan. Dengan sinergi yang tepat, keduanya dapat menjadi bagian dari perjalanan pemuda dalam mengejar mimpi mereka.
Desa bukanlah penghalang, dan kota bukanlah satu-satunya tujuan. Yang terpenting adalah bagaimana kita menciptakan peluang yang setara, di mana pun pemuda memilih untuk tinggal.
Penulis: Eko NurrohmanÂ
Mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam, Universitas Islam Negeri K.H Abdurrahman Wahid Pekalongan
Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News