Fenomena Brain Rot sebagai Mediasi Post-Ironi, Representasi Absurd, dan Resistensi Kultural dalam Hegemoni Digital Visual

Hegemoni Digital Visual
Contoh Brain Rot Tralalelo Tralala.

Fenomena brain rot seperti Tralalero Tralala, Ballerina Cappucina, Bombardiro Crocodilo, dan sejenisnya adalah bentuk konten absurd yang berkembang di media sosial tahun 2025 terutama di media sosial TikTok.

Karakter-karakter ini merupakan hasil kombinasi visual aneh berbasis AI seringkali berupa makhluk hybrid antara hewan, benda, dan makanan yang dipadukan dengan nama-nama pseudo-Italia yang lucu dan suara aneh yang berulang, seperti tralalero tralala.

Fenomena ini sebagai ekspresi post-ironi yakni gaya komunikasi yang tidak lagi membedakan secara tegas antara keseriusan dan lelucon antara kritik dan hiburan.

Karakter-karakter seperti Ballerina Cappucina tidak sekadar bahan tertawaan, tetapi representasi absurd dari identitas yang cair dan bebas dari kategori sosial normatif seperti gender, ras, atau kelas.

Bacaan Lainnya

Karakter dalam brain rot menjadi bentuk pelarian sekaligus resistensi terhadap hegemoni visual yang biasanya dikontrol oleh estetika komersial dan algoritma kapitalisme digital.

Dikemas dengan penampilan yang tidak masuk akal, brain rot berfungsi sebagai semacam mediasi simbolik yang secara tidak langsung mengganggu logika dominan dan menawarkan ruang ekspresi alternatif bagi generasi muda dalam menghadapi realitas sosial yang penuh tekanan dan ketidakpastian (Yazgan, 2025).

Merujuk pada relasi kekuasaan di mana fenomena brain rot mengganggu budaya media dengan meruntuhkan logika ideologis yang normatif. Relasi kekuasaan merupakan hubungan sosial yang mencerminkan distribusi, praktik, dan pertarungan atas kekuasaan di antara individu, kelompok, atau institusi dalam suatu masyarakat (Taryudi & Setiawan, 2021).

Pada lanskap media arus utama yang biasanya menyajikan konten “serius” dengan estetika rapi dan nilai-nilai moral yang dapat diprediksi, brain rot hadir sebagai bentuk gangguan yang subversif.

Karakter seperti Tralalero Tralala atau Bombardiro Crocodilo melawan estetika dominan dengan menampilkan absurditas yang disengaja, makhluk-makhluk hibrida yang tak punya fungsi naratif atau moral yang jelas.

Fenomena dari brain rot dapat dibaca sebagai praktik resistensi kultural yang tidak menyerang kekuasaan secara langsung, tetapi menggerogoti dari dalam melalui humor, ironi, dan disorientasi, sehingga memunculkan kegelisahan terhadap struktur representasi yang hegemonik.

Pada ranah diskursus media, brain rot menunjukkan teknologi AI dan media sosial berperan aktif dalam produksi makna yang tidak lagi berpijak pada logika realisme atau rasionalitas. Platform seperti TikTok dan Instagram menjadi tempat di mana konten absurd tidak hanya diterima, tetapi dirayakan secara masif.

Melalui algoritma yang mendorong keterlibatan emosional dan visual yang mencolok, karakter seperti Ballerina Cappucina menjadi viral bukan karena pesan moralnya, melainkan karena daya tarik visual yang aneh dan suara berulang yang “merusak otak”.

Proses produksi makna ini tidak hanya menunjukkan perubahan cara kita memahami representasi, tapi juga bagaimana absurditas menjadi diskursus utama dalam masyarakat digital yang jenuh akan informasi serius dan ideologi formal. Sementara identitas dan representasi, brain rot menawarkan bentuk yang radikal dan dekonstruktif.

Karakter-karakter hybrid seperti Ballerina Cappuccina tidak dapat diklasifikasikan dalam kategori identitas konvensional seperti gender, ras, atau kelas.

Karakter tersebut sebagai entitas visual yang melampaui batasan representasional dan justru menciptakan ruang bermain baru bagi pengguna media sosial untuk menertawakan, mengimitasi, atau memodifikasi bentuk-bentuk identitas tanpa beban sosial.

Baca Juga: Cegah Brain Rot: Mahasiswi UMB Ajak Siswa Melek Kesadaran Digital dan Self-Regulation

Fenomena ini membuka kemungkinan untuk melihat identitas bukan sebagai sesuatu yang tetap, tetapi cair, absurd, bahkan disengaja untuk tidak bermakna.

Fenomena brain rot juga memiliki dimensi emansipatoris karena ekspresi kolektif yang melepaskan diri dari tekanan eksistensial kapitalisme digital.

Dimensi emansipatoris merujuk pada aspek atau potensi suatu fenomena sosial, budaya, atau politik yang mampu membebaskan individu atau kelompok dari bentuk-bentuk penindasan, dominasi, atau keterbatasan struktural (Fajarni, 2022).

Dalam dunia yang penuh dengan krisis dari lingkungan hingga politik identitas, brain rot menawarkan jalan pelarian lewat humor yang tidak masuk akal dan visual yang memecah struktur logis.

Ironi yang melekat pada meme ini menjadi alat untuk melepaskan frustrasi sosial, dan dalam prosesnya, menciptakan solidaritas afektif antar pengguna media yang mengalami kelelahan informasi dan ketegangan sosial yang kronis.

Teori hegemoni menurut Antonio Gramsci (1971) yang memandang budaya sebagai arena perebutan kekuasaan ideologis. Hegemoni adalah bentuk kekuasaan yang bekerja secara halus dan persuasif, dengan membuat nilai-nilai, norma, dan pandangan dunia dari kelompok dominan terasa wajar, alamiah, dan tak terbantahkan.

Gramsci menjelaskan bahwa dominasi kelas penguasa tidak hanya dilakukan melalui kekerasan atau paksaan, tetapi melalui hegemoni, yakni pengaruh ideologis yang membuat nilai-nilai dominan terasa “normal” atau “alami.”

Adapun budaya media arus utama sering menyebarkan citra, pesan, dan estetika yang memperkuat nilai kapitalisme, produktivitas, dan representasi identitas yang tertib serta rasional (Kusumayanti dkk., 2022).

Fenomena brain rot justru hadir sebagai bentuk kontraproduktif yang menggoyahkan dominasi makna-makna hegemonik tersebut. Meme-meme absurd ini memanfaatkan algoritma media sosial untuk menyebarkan konten yang tampak tidak bermakna, aneh, bahkan mengganggu logika visual yang lazim tetapi justru viral dan digemari.

Di sinilah brain rot bisa dibaca sebagai bentuk resistensi budaya di mana ekspresi yang tampak lucu atau konyol sebenarnya memuat penolakan diam-diam terhadap sistem nilai dominan.

Konten seperti ini memungkinkan anak muda mengekspresikan kejenuhan terhadap realitas sosial-politik yang serba membebani tidak menyampaikan protes lewat slogan, tapi melalui estetika ironi dan absurditas yang sulit ditangkap oleh logika pasar.

Praktik budaya ini secara simbolik menantang struktur kekuasaan dan ideologi dominan dengan membalik logika representasi dari yang bermakna menjadi absurd, dari yang rasional menjadi kekacauan (Yousef dkk., 2025).

Baca Juga: The Application of Augmented Reality in Surgical Simulation: Benefits, Challenges, and Future Prospects

Keabsurdan ini tidak hanya merefleksikan kejenuhan kolektif terhadap tatanan yang kaku dan penuh tekanan, tetapi juga menjadi bentuk perlawanan pasif terhadap dominasi ideologis yang tersembunyi di balik konten-konten “layak tonton” arus utama.

Tanpa harus menyampaikan kritik secara langsung, brain rot melemahkan otoritas makna dan mendorong penonton untuk mengalami dunia digital secara berbeda lebih bebas, acak, dan tidak terikat oleh narasi besar.

Fenomena ini menciptakan ruang alternatif untuk berpikir dan merasakan di luar sistem hegemonik yang mengatur apa yang dianggap masuk akal, bernilai, dan pantas dikonsumsi dalam budaya visual kontemporer.

Sebagai refleksi kritis, kita perlu menyadari bahwa meskipun brain rot berpotensi membebaskan dari hegemoni representasi dominan, ia tetap berada dalam kerangka platform kapitalistik yang bisa menyerap dan mensterilkan bentuk-bentuk resistensi.

Oleh karena itu, tindakan praksis yang bisa dilakukan adalah memperkuat kesadaran kritis terhadap bagaimana algoritma bekerja, mendukung ruang kreatif kolektif yang otonom dari korporasi digital, dan menggunakan absurditas bukan hanya sebagai hiburan, tetapi juga sebagai strategi kultural untuk mengintervensi realitas secara lebih mendalam.

Selain itu, absurditas dan post-ironi dalam brain rot dapat diarahkan bukan hanya sebagai alat pelarian atau hiburan, melainkan sebagai strategi kultural untuk mengintervensi realitas sosial: menantang batas-batas identitas, menggugah kesadaran kolektif akan absurditas sistem, dan menciptakan bentuk komunikasi yang lebih cair, inklusif, dan reflektif.

Emansipasi tidak hanya terjadi melalui perlawanan langsung terhadap sistem, tetapi juga melalui rekayasa simbolik yang terus-menerus mengganggu dan menegosiasi ulang cara kita memahami dunia.

Penulis: Wahyu Puja Sekar Atthursina
Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Dosen Pengampu: Dr. Merry Fridha Tri Palupi, M.Si.

 

Editor: Ika Ayuni Lestari
Bahasa: Rahmat Al Kafi

Daftar Pustaka

Fajarni, S. (2022). Teori Kritis Mazhab Frankfurt: Varian Pemikiran 3 (Tiga) Generasi Serta Kritik Terhadap Positivisme, Sosiologi, dan Masyarakat Modern. Substantia: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin, 24(1), 72. https://doi.org/10.22373/substantia.v24i1.13045

Kusumayanti, D. D., Mukharomah, K. N., Wijayanti, E. C., & … (2022). Analisis Aspek-Aspek Hegemoni Dan Dominasi Sosial Ekonomi Dalam Serial ’Squid Game’The Analysis Of Hegemony And Economic Social Domination In ’ …. Scholar.Archive.Org, 11(2), 135.

Taryudi, T., & Setiawan, T. (2021). Tafsir dan Politik Kekuasaan di Indonesia. Jurnal Iman Dan Spiritualitas, 1(1), 63–70.

Yazgan, A. M. (2025). The Problem of the Century: Brain Rot. OPUS Toplum Araştırmaları Dergisi, 22(2), 211–221. https://doi.org/10.26466/opusjsr.1651477

Yousef, A. M. F., Alshamy, A., Tlili, A., & Metwally, A. H. S. (2025). Demystifying the New Dilemma of Brain Rot in the Digital Era: A Review. Brain Sciences, 15(3). https://doi.org/10.3390/brainsci15030283

 

 

Ikuti berita terbaru di Google News

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses