Hak Cipta dan Konser: Apakah Wajar Agnez Mo Harus Bayar Rp1,5 Miliar?

Hak Cipta dan Konser: Apakah Wajar Agnez Mo Harus Bayar Rp1,5 Miliar?
Sumber: @agnezmo di Instagram

Kasus yang menimpa Agnez Mo baru-baru ini kembali memantik diskusi tentang perlindungan hak cipta di Indonesia.

Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat yang menghukum penyanyi internasional itu membayar ganti rugi sebesar Rp1,5 miliar karena dinilai melanggar hak cipta dalam acara “The Virtual Concert of Agnez Mo” tahun 2021 menimbulkan berbagai pertanyaan.

Bagaimana mungkin seorang musisi yang membawakan karya-karyanya sendiri justru bisa dianggap melanggar hukum? Apakah ini bentuk perlindungan hak cipta, atau justru pelintiran aturan yang merugikan pencipta?

Lagu Milik Sendiri, tapi Kena Gugatan

Dalam konser virtual tersebut, Agnez Mo membawakan 39 lagu, termasuk lagu-lagu yang ia tulis atau populerkan sendiri.

Bacaan Lainnya

Namun, Yayasan Wahana Musik Indonesia (WAMI) mengajukan gugatan karena konser itu dinilai tidak mengantongi lisensi dari mereka sebagai Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) yang mengatur royalti publik.

Padahal, secara logika, pemilik lagu yang juga tampil sebagai penyanyi seharusnya punya kendali penuh atas penggunaan karyanya, terlebih jika lagu tersebut merupakan ciptaannya sendiri.

Kasus ini memperlihatkan kompleksitas dan ketidakjelasan sistem pengelolaan hak cipta dan lisensi di Indonesia, khususnya soal otoritas pengelolaan dan pemungutan royalti.

Putusan Hakim yang Dinilai Kontradiktif

Majelis hakim memutuskan bahwa Agnez Mo melanggar hak cipta karena tidak membayar royalti atas lagu-lagu yang digunakan dalam konser digital tersebut.

Ia dijatuhi hukuman membayar ganti rugi sebesar Rp1 miliar dan biaya perkara Rp500 juta, tanpa mempertimbangkan bahwa sebagian besar lagu yang ditampilkan adalah karya miliknya sendiri.

Putusan ini dianggap menyalahi logika perlindungan hak moral dan hak ekonomi pencipta lagu.

Di banyak negara, justru pencipta karya mendapatkan perlindungan hukum ketika menggunakan ciptaannya sendiri, bukan malah dikenai sanksi. Namun di Indonesia, justru muncul preseden sebaliknya.

Persoalan LMK dan Regulasi yang Belum Sinkron

Masalah utama dari kasus ini terletak pada carut-marut sistem manajemen kolektif hak cipta di Indonesia.

Banyak LMK yang memiliki daftar karya berbeda-beda, namun sistemnya tidak terintegrasi, menimbulkan kebingungan bagi pengguna karya.

Bahkan, Agnez Mo sempat menyatakan bahwa lagu-lagunya tidak berada di bawah pengelolaan WAMI.

Maka timbul pertanyaan: bagaimana WAMI bisa menuntut royalti atas lagu yang tidak mereka kelola?

Tanpa pembenahan menyeluruh terhadap regulasi dan sistem LMK, kasus-kasus serupa akan terus berulang dan justru merugikan musisi yang seharusnya menjadi subjek perlindungan hukum.

Dampak Jangka Panjang bagi Musisi

Putusan ini tak hanya berdampak bagi Agnez Mo, tapi juga mengancam kepastian hukum seluruh pelaku industri musik.

Jika musisi bisa digugat karena membawakan lagu sendiri, maka akan muncul rasa takut dan ketidakpastian hukum.

Banyak pencipta lagu kini bertanya-tanya: apakah harus membayar royalti untuk konser pribadi? Haruskah mereka mendaftar di semua LMK untuk menghindari tuntutan hukum?

Tanpa reformasi sistemik dan regulasi yang adil dan transparan, industri kreatif Indonesia bisa jalan di tempat karena dihantui bayang-bayang hukum yang tidak masuk akal.

Hak Cipta dan Konser, di Mana Letak Keadilannya?

Putusan hakim yang menghukum Agnez Mo membayar Rp1,5 miliar karena dianggap melanggar hak cipta saat konser menunjukkan bahwa sistem hukum hak cipta kita masih bermasalah, baik secara konsep maupun penerapannya.

Ketika seorang musisi yang membawakan lagu-lagunya sendiri justru dinilai melanggar hukum, maka wajar jika muncul pertanyaan: siapa sebenarnya yang dilindungi oleh sistem ini?

Apakah ini benar-benar bentuk perlindungan hak cipta, atau sekadar ruang untuk bisnis hukum yang menyimpang dari keadilan?

Keputusan hakim yang menjatuhkan denda kepada Agnez Mo karena membawakan karyanya sendiri juga memunculkan satu pertanyaan krusial: apakah sistem hukum kita masih berpihak kepada pencipta?

Kini saatnya regulasi hak cipta ditinjau ulang, agar industri musik nasional tetap sehat, adil, dan berpihak pada pencipta.

 

Penulis: Dewi Nurmalia Putri
Mahasiswa Prodi Hukum Tata Negara, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Editor: Siti Sajidah El-Zahra
Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses