Lenong merupakan seni pertunjukkan yang merepresentasikan keseharian masyarakat Betawi yang kemudian diangkat menjadi tontonan publik (Agyta Abdullah dan Haris Fateghipon 2018). Seni ini telah menjadi bagian dari kehidupan budaya masyarakat Betawi, mencerminkan kekayaan tradisi dan nilai-nilai lokal.
Pertunjukan Lenong tidak hanya menyajikan hiburan, tetapi juga berfungsi sebagai cerminan kehidupan sosial dengan pesan-pesan moral yang kuat. Humor yang disampaikan melalui lakon dapat menjadi media kritik sosial terhadap tuturan keseharian masyarakat (Sagiyano 2016).
Pertunjukan Lenong biasanya diiringi musik gambang kromong, menciptakan suasana yang khas dan menggugah. Dialog dalam Lenong menggunakan bahasa Betawi, menambah unsur lokalitas yang kuat.
Seni ini menampilkan cerita yang seringkali relevan dengan kehidupan masyarakat, menjadikannya alat yang efektif dalam menjaga tradisi dan memperkenalkan nilai-nilai budaya kepada generasi muda.
Lenong merupakan warisan budaya yang unik, mencerminkan kekayaan dan keanekaragaman budaya Indonesia. Lenong merupakan salah satu ciri khas budaya Betawi yang tidak dimiliki oleh suku lain di luar Betawi (Agyta Abdullah dan Haris Fateghipon 2018), seni ini membutuhkan perhatian dan pelestarian agar terus menjadi bagian penting dalam dinamika budaya Nusantara.
Ciri Khas Lenong sebagai Seni Pertunjukan Tradisional Betawi
Narasumber penulis pada artikel ini adalah Babeh Suyudi (64 tahun) yang merupakan salah satu pegiat kesenian Betawi yang juga merupakan salah satu pendiri Sang SenJa Rontje Melati, sebuah sanggar seni yang mengangkat kesenian Betawi termasuk lenong.
Beliau mengatakan bahwa lenong terbagi menjadi dua jenis, yaitu Lenong Denes dan Lenong Jago. Lenong Denes bercerita tentang kerajaan-kerajaan tempo dulu, sedangkan lenong Jago bercerita tentang perjuangan rakyat betawi yang mana pengawalan cerita selalu dibuka dengan kemunculan jagoan dan penjahatnya.
Adapun perbedaan lainnya antara lenong denes dan lenong jago itu dari bahasannya. Lenong Jago menggunakan bahasa betawi, sedangkan Lenong Denes menggunakan bahasa melayu.
Ciri khas lain dari lenong dapat dilihat dari segi kostumnya. Kostum lenong identik dengan kaos dalaman putih atau kaos belang merah putih, dan untuk kostum jagoannya terlihat paling berbeda dari yang lain.
Untuk kedudukan karakter biasanya dibedakan dengan warna kostum yang dipakai, contohnya seperti warna merah digunakan oleh sang jagoan, warna putih digunakan untuk karakter kyai, dan warna hitam digunakan untuk penduduk biasa, “Kalo lu udah berani make topi merah berarti lu udah berani dicoba ama orang,” ucap Babeh Suyudi menekankan bahwa pemilihan warna pakaian sangat mempengaruhi pandangan orang Betawi, tidak hanya di kesenian lenong namun juga di kehidupan sehari-hari warga Betawi.
Baca Juga: Menghidupkan Kembali Seni Tradisional, Teater Embrio Gelar Pentas Seni di Yogyakarta secara Offline
Perbedaan antara Lenong Tradisional dengan Lenong Modern
Lenong tradisional menggunakan layar panggung untuk menandai pergantian adegan, namun Lenong modern telah beralih menggunakan teknologi seperti lampu dan properti artistik.
Namun, ada sebuah pakem yang tidak pernah berubah, seperti yang dikatakan oleh Babeh Suyudi “Cuman, ada pakem yang gak berubah dari dulu sampe sekarang. kalo lenong, keluar dari kanan masuk dari kiri panggung, itu selalu seperti itu” hal itu menunjukkan bahwa lenong tetap dapat beradaptasi tanpa meninggalkan akar budaya.
Budaya Betawi dalam Lenong
Lenong mencerminkan nilai budaya Betawi melalui tema cerita yang diangkat. Lenong Jago kerap mengisahkan perjuangan rakyat yang tertindas, sementara Lenong Denes lebih berfokus pada kisah kerajaan.
Babeh Suyudi menyatakan, “Nilai moral yang selalu diangkat adalah bahwa kejahatan sebesar apa pun pasti akan kalah oleh kebenaran“. Pesan ini membuat Lenong tidak hanya menjadi hiburan, tetapi juga sarana edukasi dan refleksi moral bagi penontonnya
Tantangan Pelestarian Kesenian Lenong
Menurut Babeh Suyudi, tantangan terbesar dalam mempertahankan lenong sebagai seni budaya di era modern ini adalah kurangnya sumber daya manusia yang mau ikut berpartisipasi melihat anak-anak zaman sekarang lebih senang duduk di rumah sambil bermain smartphone.
Jadi cukup sulit untuk mengajak anak-anak zaman sekarang untuk ikut melestarikan kesenian lenong ini tanpa memiliki jiwa pemimpin yang kuat.
“Tantangan terbesar adalah, wah ini dari sumber dayanya, sumber daya manusianya. Karena, anak-anak sekarang itu kan lebih hobi duduk di rumah sambil main handphone. Jadi untuk melakukan kegiatan-kegiatan kesenian-kesenian tradisi itu agak sulit mengajaknya kalo kita gak punya daya tantangan, daya Tarik diri sendiri sebagai seorang leader. Bagaimana saya sebagai orang yang mengayomi mereka, merangkul mereka untuk ‘ayok, tinggalin sebentar kegiatan lo di rumah ayok kumpul, ngobrol, Latihan, apa’ jadi tantangan terbesarnya ialah dengan , iya ini, tentang jet-jet ini (gadget). Bukan Cuma di lenong, semua, di teater pun kita terkendala ama ini, ” ucap Babeh Suyudi.
Baca Juga: Melestarikan Kesenian Jaranan di Era Modern sebagai Bentuk Tradisi Kearifan Lokal Bangsa Indonesia
Menjaga Relevansi Lenong di Era Modern
Lenong memiliki potensi besar untuk terus berkembang di proses modernisasi masa kini. Hal tersebut dapat terjadi jika dilakukan langkah-langkah yang tepat untuk mempertahankannya. Salah satunya adalah mengintegrasikan unsur tradisional Lenong dengan pendekatan yang lebih modern.
Sebagai contoh, pertunjukan Lenong dapat dibungkus dalam bentuk digital seperti video atau siaran langsung di platform media sosial. Hal ini tak hanya memperluas jangkauan penonton, melainkan juga membuat seni ini lebih memiliki daya tarik bagi generasi muda yang tumbuh di era digital seperti generasi milenial, Gen Z, dan Gen Alpha.
Menurut Babeh Suyudi, agar Lenong tetap relevan dan diminati oleh generasi muda, para pegiat kesenian Betawi harus pandai mencari isu-isu yang sedang berlangsung di masyarakat dan mengolahnya menjadi sebuah cerita dalam pertunjukan Lenong.
Dengan mengangkat tema atau isu yang sedang tenar dan relevan, Lenong dapat mempertemukan tradisi dengan konteks kekinian, sehingga membuat generasi muda yang dekat dengan isu atau permasalahan tersebut semakin tertarik untuk menonton Lenong.
Selain itu, input dari pendidikan juga bisa menjadi alat penting untuk memperkenalkan Lenong kepada generasi muda. Dengan memasukkan mata pelajaran seni dan budaya di sekolah, anak-anak dapat mengenal dan mengapresiasi seni tradisional semenjak dini.
Kolaborasi dengan sektor swasta untuk mendorong berjalannya festival budaya yang menampilkan Lenong juga dapat menjadi cara yang efektif untuk memperluas apresiasi masyarakat terhadap seni ini.
Namun, semua upaya ini tidak akan berjalan lancar tanpa adanya sokongan dari komunitas lokal. Sanggar-sanggar seni Betawi perlu menjadi pusat pelatihan dan kreativitas, di mana anak-anak muda bisa belajar dan tampil.
Dukungan dari pihak pemerintah dalam bentuk pendanaan dan kebijakan pelestarian juga sangat dibutuhkan demi memastikan keberlangsungan kesenian Lenong ini.
Dengan menggabungkan inovasi, edukasi, dan dukungan komunitas, Lenong dapat terus menjadi simbol budaya yang relevan, tidak hanya bagi orang-orang asli Betawi tetapi juga bagi Indonesia secara menyeluruh.
Seni ini adalah penanda akan pentingnya melestarikan tradisi di tengah arus modernisasi, dan sebuah contoh bahwa modernisasi tidak harus berarti meninggalkan akar budaya.
Baca juga: Peran Kepemimpinan Transformasional dalam Dunia Seni: Mendorong Kreativitas dan Kolaborasi Tim
Kesimpulan
Lenong adalah seni teater tradisional Betawi yang berperan penting dalam melestarikan budaya dan nilai-nilai lokal. Sebagai cerminan identitas masyarakat Betawi, Lenong tidak hanya menghadirkan hiburan, tetapi juga menyampaikan pesan moral yang relevan dengan kehidupan sehari-hari.
Namun, modernisasi dan perubahan gaya hidup menjadi tantangan besar dalam melestarikan seni ini, terutama di kalangan generasi muda yang lebih terfokus pada teknologi digital.
Babeh Suyudi berharap Lenong dapat merangkul generasi muda untuk ikut melestarikan budaya Betawi. Ia juga berharap pemerintah memberikan perhatian lebih pada seni tradisional.
“Harapan saya, anak muda lebih banyak terlibat dalam Lenong, dan pemerintah lebih peduli dalam menyuplai kebutuhan teman-teman seni tradisi ini,” tuturnya.
Dengan inovasi dan dukungan yang tepat, Lenong dapat terus berkembang sebagai simbol identitas budaya Betawi dan bagian dari kekayaan seni Indonesia.
Agar Lenong tetap relevan, diperlukan upaya inovasi dalam penyajian, seperti memanfaatkan media digital dan menyesuaikan tema cerita dengan isu-isu terkini. Pendidikan dan dukungan komunitas juga menjadi faktor penting dalam menarik perhatian generasi muda.
Dengan kolaborasi berbagai pihak, Lenong dapat terus berkembang tanpa kehilangan esensinya sebagai warisan budaya yang kaya dan unik. Seni ini adalah simbol kebanggaan masyarakat Betawi dan bagian dari kekayaan budaya Indonesia yang layak dijaga dan dikembangkan.
Penulis: Faraz Rahman Putra
Mahasiswa Film dan Televisi Institut Seni Indonesia Surakarta
Editor: Ika Ayuni Lestari
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Referensi
Agyta Abdullah, Della, and Abdul Haris Fateghipon. 2018. “TEATER LENONG SEBAGAI IDENTITAS BUDAYA BETAWI (Studi Kasus Di Sanggar Cahaya Timur, Ciracas, Jakarta Timur).” Edukasi IPS 02 (2): 41–48.
Sagiyano, Asriyani. 2016. “Lenong Sebagai Salah Satu Media Komunikasi Dalam Dakwah Dan Pembinaan Pemuda Kemang Jakarta Selatan (Studi Kasus Manggar Kelape, Kemang Jakarta Selatan).” Cakrawala – Jurnal Humaniora 16 (2): 6.
Ikuti berita terbaru di Google News