Aceh kembali dihadapkan pada situasi yang pelik. Revisi Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA), yang seharusnya menjadi tonggak penting untuk memperkuat otonomi khusus sekaligus memperpanjang masa berlaku dana otonomi khusus (otsus), belum juga masuk dalam daftar prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025.
Padahal, UUPA bukan sekadar undang-undang biasa. Ia adalah buah dari perjanjian damai MoU Helsinki yang mengakhiri konflik bersenjata antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Indonesia. Melalui UU Nomor 11 Tahun 2006, Aceh diberi kewenangan luas dari urusan pemerintahan, hukum adat, hingga penerapan syariat Islam.
Namun hampir dua dekade berlalu, implementasinya masih jauh dari kata tuntas. Beberapa pasal dalam UUPA bahkan multitafsir dan sempat diuji di Mahkamah Konstitusi. Ketidakpastian ini membuat banyak pihak di Aceh resah, terutama karena waktu terus berdetak menuju berakhirnya masa pemberian dana otsus pada 2027.
Dana Otsus: Kompensasi yang Terancam Hilang?
MoU Helsinki dan UUPA awalnya diharapkan bisa menjadi jembatan bagi pembangunan Aceh pasca konflik. Namun kenyataannya, pelaksanaannya masih tersendat. Banyak sektor, mulai dari pendidikan hingga infrastruktur, masih sangat bergantung pada kucuran dana otsus.
Menurut Sanusi Madli dari Lembaga Kajian Strategis dan Kebijakan Publik (Lemkaspa) Aceh, revisi UUPA menjadi krusial bukan hanya untuk memperjelas kewenangan antara pusat dan daerah, tapi juga untuk memastikan kelanjutan pendanaan otsus.
Pandangan serupa juga disampaikan Nabila Putri, mahasiswi Ilmu Politik di Universitas Syiah Kuala, yang menyebut dana otsus sebagai bentuk kompensasi atas keterbelakangan Aceh selama masa konflik.
Pasal 183 UUPA memang mengatur pemberian dana otsus selama dua dekade: 2% dari Dana Alokasi Umum (DAU) nasional selama 15 tahun (2008–2022) dan 1% selama lima tahun berikutnya (2023–2027). Artinya, waktu tersisa hanya dua tahun lagi sebelum alokasi itu resmi berakhir.
Harapan dari Tanah Rencong
Pemerintah Aceh bukannya tinggal diam. Usulan revisi UUPA sudah diajukan, hanya saja belum masuk prioritas dalam Prolegnas 2025. Tati Meutia Asmara, anggota DPR Aceh dari Fraksi Gerindra-PKS, mengatakan bahwa revisi tersebut memang tercantum dalam Prolegnas jangka menengah 2024–2029, tapi belum dianggap mendesak oleh pemerintah pusat.
Ia menekankan pentingnya keterlibatan publik mulai dari akademisi hingga masyarakat sipil untuk memastikan aspirasi rakyat Aceh terakomodasi. Sayangnya, suara dari daerah kerap tak cukup nyaring di telinga pusat.
Penundaan revisi ini jelas menyisakan kekhawatiran. Tak hanya soal regulasi, tapi juga soal masa depan politik otonomi khusus dan konsistensi pemerintah pusat dalam menjaga perdamaian yang sudah dibangun sejak 2005.
Baca Juga:Â Beginilah Kondisi Pendidikan di Aceh Pasca Tsunami Dahsyat 2004
Otonomi Khusus: Komitmen atau Janji Kosong?
Ketidakmasukan revisi UUPA dalam prioritas Prolegnas 2025 menimbulkan tanda tanya besar: sejauh mana pemerintah pusat benar-benar serius dalam menjaga komitmen terhadap Aceh? Apakah otonomi khusus hanya menjadi jargon politik pasca konflik? Ataukah masih ada harapan bahwa janji itu akan ditepati, meski dengan jalan terjal?
Aceh kini berada di persimpangan. Jalan mana yang akan ditempuh, sangat bergantung pada kemauan politik baik dari pusat maupun daerah untuk menjaga kepercayaan, memelihara perdamaian, dan memastikan pembangunan tak kembali tertinggal.
Penulis: Anastasya Salsabila
Mahasiswa Hukum Tata Negara Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Editor: Ika Ayuni Lestari
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru di Google News