Di banyak negara, sistem politik telah berkembang menjadi ajang perebutan kekuasaan, namun dalam banyak kasus, kita menyaksikan sebuah pola yang lebih mengkhawatirkan: sifat korupsi justru datang terlebih dahulu sebelum kekuasaan itu sendiri.
Fenomena ini adalah ciri khas dari sistem politik yang rusak, di mana aspirasi pribadi, keuntungan material, dan ambisi pribadi lebih penting daripada prinsip-prinsip dasar demokrasi dan kesejahteraan rakyat.
Korupsi sebagai Pemicu Ambisi Politik
Tradisionalnya, kekuasaan dipandang sebagai alat untuk meraih tujuan tertentu, seperti memperbaiki kehidupan rakyat, memperjuangkan keadilan sosial, dan mewujudkan kemakmuran. Namun, dalam sistem yang telah rusak, ambisi untuk meraih kekuasaan sering kali datang dari keinginan untuk mengakses sumber daya negara demi keuntungan pribadi.
Korupsi bukan lagi menjadi akibat dari berkuasa, tetapi justru menjadi alasan untuk merebut kekuasaan. Ketika politik lebih dilihat sebagai lahan untuk memperkaya diri, para individu yang berambisi untuk menduduki posisi-posisi strategis tidak lagi mempertimbangkan proses demokrasi yang sehat.
Mereka akan melakukan apapun untuk memanipulasi sistem, merusak institusi, dan menciptakan iklim yang menguntungkan mereka. Kekuasaan, dalam konteks ini, hanyalah sarana untuk menyalurkan sifat korup mereka yang sudah ada sejak awal.
Baca Juga:Â Potensi Dinasti Politik dalam Kasus Gibran Rakabuming
Mekanisme Korupsi yang Berakar pada Kekuasaan
Fenomena ini sering kali dimulai dengan menciptakan sistem yang lemah dan penuh celah—baik itu dalam hukum, lembaga negara, atau bahkan dalam norma sosial. Ketika sistem sudah rapuh, maka mereka yang berambisi akan memanfaatkan kekosongan ini untuk menanamkan pengaruh dan keuntungan mereka. Dengan membangun jaringan-jaringan kepentingan, mereka menciptakan ikatan yang saling menguntungkan di luar jalur hukum yang sah.
Korupsi ini akan terus berkembang dengan sendirinya, karena mereka yang terlibat dalam sistem ini akan merasa bahwa posisi mereka lebih aman selama mereka menjaga keseimbangan antara kekuasaan yang dimiliki dan pembagian keuntungan yang didapat. Dalam banyak kasus, untuk menjaga kekuasaan ini, para politisi akan menjual nilai-nilai yang seharusnya mereka perjuangkan.
Keamanan Kekuasaan dan Pembusukan Sistem
Bagi mereka yang berkuasa dalam sistem seperti ini, kekuasaan menjadi sebuah tujuan akhir yang harus dijaga dengan segala cara, termasuk dengan cara-cara yang tidak etis. Dengan melibatkan para pejabat atau lembaga-lembaga yang korup, sistem politik tidak hanya kehilangan fungsinya, tetapi juga memperburuk ketidakadilan sosial, meningkatkan kesenjangan ekonomi, dan mengikis rasa kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Salah satu dampak paling jelas dari sistem yang rusak ini adalah meningkatnya ketidakpuasan rakyat. Mereka melihat bahwa politik telah menjadi ladang bagi mereka yang berambisi, bukan tempat untuk memperjuangkan hak-hak mereka. Ketidakpuasan ini, pada gilirannya, semakin memperburuk ketegangan sosial dan merusak stabilitas politik.
Baca Juga:Â Gejolak Politik di Asia Pasifik: Kemanakah Indonesia Harus Melangkah?
Mengatasi Sistem Politik yang Rusak
Untuk memperbaiki sistem politik yang rusak ini, perlu ada upaya besar untuk memberantas korupsi dari akar-akarnya. Ini tidak hanya membutuhkan kebijakan yang lebih ketat dan lembaga pengawasan yang lebih kuat, tetapi juga transformasi budaya politik di mana integritas dan pelayanan kepada rakyat harus menjadi prioritas utama, bukan sekedar ambisi untuk memperkaya diri.
Kekuatan rakyat melalui partisipasi aktif dan peningkatan kesadaran politik juga menjadi kunci untuk melawan sistem ini. Ketika masyarakat sadar akan hak-haknya dan tidak lagi membiarkan pemimpin yang korup berkuasa, maka perubahan yang lebih baik akan bisa terwujud.
Penulis: Greicely Kasih Mirah
Mahasiswa Jurusan Hubungan Internasional, Universitas Kristen Satya Wacana
Editor: I. Khairunnisa
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News