Robert Eggers hadir membawakan angin segar yaitu Nosferatu (2024), remake modern dari film horor klasik tahun 1922 yang sutradarai oleh F. W. Murnau.
Dikenal dengan pembawaan horor atmosferiknya dalam The Lighthouse dan The Witch, Egger menghadirkan kembali kisah vampir legendaris abad ke-19 dengan pendalaman unsur yang lebih gelap, gotik, dan penuh ketegangan.
Egger kembali menunjukan kepiawaiannya dalam membawakan film horor dengan atmosfer yang mencekam.
Saya menyukai bagaimana Egger tidak hanya mengandalkan unsur jumpscare seperti kebanyakan film horor, tapi membangun ketegangan yang perlahan menjadi ketakutan.
Elemen horor psikologis yang dibawakan dalam film ini terasa begitu kuat hingga membuat penonton merasa tidak nyaman, namun dengan cara yang elegan.
Visual Kelam dan Nuansa Otentik
Saya terkesan dengan bagaimana film ini dieksekusi. Latar tempat Eropa Timur yang digunakan sangat mendukung suasana gotik yang kelam.
Kastil abad ke-19 yang tampak megah, namun juga mengerikan menambah kesan suram, serta wilayah perkotaan yang dipenuhi dengan detail memberikan kesan autentik dalam pelataran film ini.
Baca Juga: Faktor-Faktor yang Menjadikan Film 2nd Miracle Cell No 7 Layak untuk Ditonton
Jarin Blaschke, seorang sinematografer yang sering bekerja sama dengan Eggers, membawa keahliannya dalam permainan cahaya dan bayangan, menciptakan visual yang indah sekaligus menyeramkan.
Pencahayaan redup dan bayangan tajam menjadi kunci yang efektif dalam membangun dunia film yang kelam dan mengerikan.
Salah satu hal yang saya sukai dari film ini adalah bagaimana Eggers lebih memilih practical effects dibandingkan CGI. Hal ini membuat tampilan film terasa lebih nyata.
Efek prostetik dan riasan yang digunakan Count Orlok juga patut diacungi jempol, menambah kesan menyeramkan tanpa terlihat berlebihan.
Akting Para Bintang Jadi Tulang Punggung Teror
Terlepas dari latar yang dieksekusi secara imersif, kepiawaian aktor dalam memerankan dan mendalami karakter menjadi salah satu kunci kesuksesan film ini dan patut diberi jempol dua.
Bill Skarsgård benar-benar berhasil menghadirkan Count Orlok dengan ekspresi dan gestur yang menyeramkan.
Baca Juga: Representasi Kehidupan di Palestina dalam Tiga Film Hayya
Sosok ini tidak hanya menakutkan secara fisik, tetapi juga memberikan kesan mengancam dengan keheningan dan tatapannya yang dingin.
Entah mungkin dari pengalamannya memerankan Pennywise dari IT atau memang bakatnya dalam memerankan karakter monster, aktor swedia ini tampil memukau saat menjadi Count Orlok.
Pemain berikutnya yang tampil memukau dalam film ini adalah Lily-Rose Depp. Depp sebagai Ellen menampilkan daya tarik dan kelembutan tragis yang sangat pas dalam atmosfer film ini.
Dalam memerankan sosok Ellen, Depp tak sungkan melakukan akting yang di luar ekspektasi penonton, seperti kerasukan yang intens hingga setengah telanjang.
Hal itu membuktikan dirinya mewarisi bakat akting dari kedua orang tuanya, Johnny Depp dan Vanessa Paradis.
Baca Juga: Adanya Feminisme dan Ketimpangan Gender pada film “How To Make Million Before Grandma Dies”
Deretan aktor ternama, seperti Willem Daffoe, Nicholas Hoult, dan Aaron Taylor-Johnson juga tak kalah brilian dalam membantu menyukseskan film ini ini.
Hoult dengan ekspresi ketakutannya yang nyata, Dafoe dengan karismanya yang selalu mencuri perhatian, dan Taylor-Johnson yang menambah kedalaman cerita dengan perannya.
Pemahaman karakter serta emosi yang mendalam memperkuat lapisan ketenangan dalam film ini.
Bukan Horor untuk Semua Orang
Namun, terlepas dari kelebihan yang ada dalam film ini, saya menyadari mungkin film ini tidak cocok untuk untuk semua orang.
Tempo yang terasa lambat membuat film terasa membosankan bagi orang yang terbiasa dengan tempo cepat.
Kurangnya adegan jumpscare bisa membuat penonton kurang terasa terhibur karena memang yang ditekankan dalam Nosferatu (2024) ini adalah horor atmosferik.
Ada juga beberapa adegan dewasa yang cukup ekstrem hingga mungkin film ini tidak cocok untuk family friendly.
Baca Juga: Edgar Allan Poe Sang dan Gaya Karya Gotiknya yang Abadi
Nosferatu: Teror Gotik Tak Terlupakan
Menurut saya, Nosferatu tetap bisa dinikmati, terlepas dari aspek teknisnya, baik dengan maupun tanpa adegan seksual yang cukup banyak disertakan oleh Eggers.
Eggers tampaknya ingin menghadirkan unsur seksualitas sebagai elemen tambahan dalam film ini yang sebenarnya mirip, tetapi tidak sepenuhnya sama dengan horor Indonesia di beberapa dekade lalu.
Nosferatu (2024) ini seperti “mimpi buruk yang berjalan pelan, tapi terus menghantui bahkan setelah terbangun.”
Film ini bukan hanya sekadar tontonan horor, tetapi juga salah satu film yang membangun teror sedikit demi sedikit hingga mencengkeram kuat tanpa kita sadari.
Eggers berhasil menciptakan horor yang tidak hanya menyeramkan secara visual, tetapi juga meresap ke dalam psikologi penontonnya.
Penulis: Achmad Fadhil Ma’rufa
Mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi, Universitas Negeri Malang
Editor: Siti Sajidah El-Zahra
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News