Dalam dunia forensik, bukti biologis tidak hanya terbatas pada DNA manusia atau sidik jari. Botani forensik, cabang ilmu yang memanfaatkan tumbuhan untuk membantu penyelidikan hukum, semakin menjadi sorotan.
Ahli forensik menggunakan serbuk sari, daun, ranting, atau bahkan mikroorganisme seperti alga untuk melacak lokasi kejadian, mengidentifikasi korban, dan mengungkap pergerakan pelaku. Contohnya, analisis serbuk sari (palynologi) pernah membantu mengungkap kasus pembunuhan di Eropa dengan membandingkan sampel dari korban dan lokasi tersangka.
Salah satu keunggulan botani forensik adalah ketahanan bukti tumbuhan yang bisa bertahun-tahun, bahkan dalam kondisi ekstrem. Metode ini juga berguna ketika bukti konvensional seperti darah atau sidik jari sulit ditemukan. Namun, tantangannya adalah butuh keahlian khusus untuk mengidentifikasi spesies tumbuhan dan memahami ekosistem lokal.
Di Indonesia, potensi botani forensik masih terus dikembangkan, mengingat keanekaragaman hayati yang tinggi bisa menjadi sumber data penting.
Pakar botani forensik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Dr. Siti Nurmala Tarigan, menjelaskan bahwa kerja sama antara ahli botani dan kepolisian sangat penting. “Partikel tumbuhan yang menempel di sepatu atau pakaian pelaku bisa menjadi petunjuk lokasi kejadian,” ujarnya dalam sebuah wawancara dengan Kompas (2023).
Selain itu, penelitian dari Universitas Gadjah Mada (2022) menunjukkan bahwa analisis lumut dapat membantu memperkirakan waktu kematian korban.
Salah satu kasus terkenal terjadi di Polandia, di mana polisi menyelidiki kasus pembunuhan dan kanibalisme yang terjadi 15 tahun sebelumnya. Tidak ada mayat, para pelaku tidak mengaku, dan bukti fisik sangat minim. Namun, ada satu pohon birch (sejenis pohon bir) yang tumbuh di tepi danau, persis di lokasi yang disebutkan dalam pengakuan salah satu tersangka.
Baca juga: Leunca (Solanum nigrum L.) Mengungkap Penyebab Kematian: Botani Forensik
Para ahli melakukan analisis dendrokronologi pada pohon tersebut. Mereka mengukur dan mengambil sampel lingkaran tahun pohon untuk menentukan umur dan ukurannya pada tahun kejadian (1998–2002). Hasilnya, pohon birch itu memang sudah cukup besar dan menonjol di lokasi tersebut saat kejahatan terjadi, sehingga memperkuat kesaksian tersangka dan membantu polisi memastikan lokasi kejadian.
Selain itu, tidak adanya pohon birch lain di area tersebut membuat pohon ini menjadi bukti unik dan sangat kuat. Analisis mendalam dari para ahli forensik botani akhirnya memberikan kredibilitas tinggi pada kesaksian terdakwa dan memperkuat hasil penyelidikan polisi. Bahkan, jaksa dan hakim dalam kasus ini mengakui bahwa bukti dari pohon birch sangat membantu dalam mengungkap kebenaran, meski tanpa ditemukannya jasad korban.
Kasus ini menjadi contoh nyata bagaimana ilmu pengetahuan, khususnya forensik botani, bisa membantu membongkar kasus kriminal yang rumit dan minim bukti fisik. Pohon birch di tepi Danau Żabie kini bukan hanya sekadar tumbuhan, tapi telah menjadi saksi bisu sekaligus bukti ilmiah yang berperan penting dalam proses hukum.
Ke depan, penguatan riset dan kolaborasi multidisiplin akan membuat botani forensik semakin vital dalam sistem peradilan. Masyarakat juga diajak untuk lebih memahami peran ilmu ini, karena siapa sangka, tumbuhan kecil bisa menjadi saksi bisu yang menentukan keadilan.
Penulis:
- Astry Wasuhaya (2217061035)
- Rio Duta Alansyah (2217061060)
- Nabila Azzahra (2217061046)
- Khayla Alzanisa Subarji (2217061018)
- I Deola Azani Kanisa (2217061019)
Mahasiswa Biologi Terapan, Universitas Lampung
Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News