Kelangkaan Minyak Goreng Disebabkan oleh Permainan Pasar

kelangkaan minyak goreng
Kelangkaan minyak goreng. (Foto: koran-jakarta.com)

Sejak 20 April 1999, UU Perlindungan Konsumen yang diatur dalam UU no 8 Tahun 1999 atau Undang Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) mulai sah diberlakukan. 

Undang-undang ini mengatur secara rinci tentang pemberian perlindungan kepada konsumen dalam rangka pemenuhan kebutuhannya sebagai konsumen.

Mengingat kelangkaan minyak goreng dan kenaikan harga kebutuhan pokok tidak terlepas dari kebijakan pemerintah dengan melakukan peraturan satu harga.

Dan dikarenakan kebijakan tersebut, produsen minyak goreng tidak dapat bersaing untuk kebutuhan bahan baku yaitu CPO pabrik tidak bisa menerima kebijakan tersebut mereka menilai kebijakan satu harga akan berdampak merugikan bagi produsen dan saing di setiap lini produksi akan mengalami kerugian.

Bacaan Lainnya

Baca juga: Ricuh Pembelian Minyak Goreng Murah di Depok

Produsen melakukan sebuah strategi mengeluarkan produk mereka dalam jumlah tertentu. Tentu ini sangat berdampak bagi pasar di mana pasar akan mengalami kelangkaan dan sulitnya mencari minyak goreng.

Banyak UMKM yang bergantung pada minyak goreng seperti penjual jajan dan rumah makan. Dan penghapus kebijakan satu harga ini tidak menyelesaikan masalah melainkan menimbulkan masalah baru yaitu melambung nya harga minyak yang dikeluarkan oleh produsen.

Mereka menetapkan harga minyak kemasan mereka tanpa melakukan survey pasar dan ini juga permasalahan yang tidak bisa dipisahkan.

Pemerintah tentu sudah mewanti-wanti hal ini tapi permainan pasar yang keras oleh oknum mafia juga terlibat tentu akan sulit untuk pemetaan harga kembali seperti semula.

Baca juga: Inovasi Terbaru Pengganti Minyak Goreng

Pemerintah harus tegas dengan oknum mafia pasar dan harus melindungi konsumen seperti pada uud no 8 tahun 1999 agar pasar bisa terkontrol kembali dan tidak amburadul seperti sekarang.

Di berbagai daerah dalam beberapa bulan terakhir mengalami kelangkaan minyak goreng di pasaran sehingga menyebabkan harga minyak goreng naik hingga dua atau tiga kali lipat.

Meski pemerintah melakukan berbagai kebijakan dari pengaturan batas kuota ekspor sawit hingga mengatur distribusi minyak goreng serta menindak penimbun produk minyak goreng.

Kelangkaan minyak goreng di pasaran tetap saja terjadi sehingga terdapat antrian panjang ibu rumah tangga untuk dapat membeli minyak goreng dengan harga diatas normal.

Menurut peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan (Pustek) UGM, Dr. Hempri Suyatna, persoalan kelangkaan minyak goreng ini disebabkan oleh banyak faktor mulai dari meningkatnya harga CPO, gangguan distribusi hingga aksi penimbunan minyak goreng.

“Ada banyak faktor. Saya kira faktor pemicunya sudah muncul sejak tahun lalu, November 2021 dikarenakan kenaikan harga CPO (Crude Palm Oil) di pasar internasional.

Naiknya harga CPO inilah yang kemudian memicu banyak pedagang minyak goreng menjual produknya ke luar negeri daripada ke dalam negeri, Selain banyaknya produk yang dijual ke luar negeri, kelangkaan diperparah dengan banyaknya pedagang yang bermain dan mencari keuntungan di balik kelangkaan minyak goreng ini sehingga proses distribusinya pun menjadi tidak berjalan dengan lancar.“

Dalam banyak kasus sering kita temukan, terjadi banyak penimbunan minyak goreng sehingga mengakibatkan proses distribusi menjadi tidak lancar.

Baca juga: Ihtikar Minyak Sawit

Mengatasi melonjaknya harga minyak goreng dan kelangkaan produk tersebut di pasaran pemerintah lebih gencar melakukan operasi pasar serta melakukan berbagai langkah inovatif misalnya dengan memotong jalur distributor sehingga bisa menekan harga minyak.

”Melakukan pengawasan terhadap para pelaku usaha termasuk konsumen. Jangan sampai penimbunan juga terjadi di level kosumen,” ungkapnya.

Proses pengawasan distribusi itu ini perlu diperkuat kembali termasuk soal ekspor CPO hingga distribusi minyak goreng di dalam negeri. “Perlu perbarui proses pengawasan distribusi ini apalagi Indonesia dikenal penghasil minyak kelapa sawit terbesar di dunia,” katanya.

Penulis: Muhammad Reza Akbar
Mahasiswa Jurusan Ilmu Politik Universitas Syiah Kuala

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses