Indonesia, sebagai negara dengan populasi mayoritas Muslim terbesar di dunia, memiliki warisan hukum Islam yang kuat. Sementara itu, sebagai negara demokratis, hukum positif menjadi landasan utama dalam pembentukan hukum di Indonesia. Bagaimana kedua sistem ini bersinergi dan saling melengkapi?
Akar Hukum Islam dan Hukum Positif di Indonesia
Dalam kerangka sistem hukum di Indonesia, terdapat dinamika unik antara hukum Islam dan hukum positif. Kedua sistem ini, meskipun memiliki akar dan prinsip yang berbeda, berhasil menjalin hubungan simbiosis harmonis yang memperkaya dan memperkuat keberagaman hukum di negara ini.
Hukum Islam di Indonesia memiliki dasar hukum yang kuat dalam Al-Qur’an dan haids. Prinsip-prinsip syariah mengenai keadilan, keseimbangan, dan keberlanjutan kehidupan menjadi pijakan dalam pembentukan hukum Islam di Indonesia. Referensi utama dalam hal ini adalah karya-karya ulama terkemuka seperti Ibnu Taimiyah dan Ibnu Khaldun.
Di sisi lain, hukum positif Indonesia berakar pada sistem hukum kontinental yang diwarisi dari masa penjajahan Belanda. Kode-kode hukum seperti KUH Perdata dan KUH Pidana membentuk dasar hukum positif Indonesia. Teori-teori hukum dari para pemikir seperti Hans Kelsen dan Montesquieu memengaruhi struktur hukum positif di Indonesia.
Simbiosis Harmonis dalam Praktik Hukum
Konstitusi Indonesia, yang mencakup dasar negara Pancasila, menjadi jembatan antara hukum Islam dan hukum positif. Pembukaan UUD 1945 mencerminkan nilai-nilai keadilan, persatuan, dan kesejahteraan, sejalan dengan prinsip-prinsip hukum Islam. Hal ini menciptakan dasar bagi sinergi antara kedua sistem hukum ini.
Dalam praktiknya, hukum Islam dan hukum positif seringkali saling melengkapi. Contoh konkret dapat ditemukan dalam sektor keuangan dengan adanya perbankan syariah yang beroperasi di bawah payung hukum positif, namun mengimplementasikan prinsip-prinsip keuangan Islam.
Meskipun hubungan antara hukum Islam dan hukum positif di Indonesia terbilang harmonis, tantangan juga muncul. Beberapa isu kontroversial seperti pelaksanaan hukuman cambuk dan hukum waris masih menjadi pokok perdebatan. Pemikiran teoritis dari Al-Jaziri (2003) mengenai harmonisasi hukum Islam dan positif dapat memberikan pandangan dalam mengatasi perbedaan-perbedaan tersebut.
Salah satu teori ilmiah yang relevan adalah Legal Pluralism. Permasalahan dengan adanya hal penanganan legal pluralism, (William Twining – 2000) mengatakan: “Pluralisme hukum umumnya terpinggirkan dan dipandang secara skeptis dalam wacana hukum. Mungkin alasan utama untuk ini adalah bahwa lebih dari 200 tahun teori hukum Barat telah didominasi oleh konsepsi hukum yang cenderung monist (satu sistem hukum internal koheren), statis (negara memiliki monopoli hukum di dalam wilayahnya), dan positivis (apa yang tidak dibuat atau diakui sebagai hukum oleh negara bukan hukum).”
Teori ini mengakui keberadaan berbagai sumber hukum, termasuk hukum agama dan hukum positif, dalam satu entitas negara. Dalam konteks Indonesia, legal pluralism menerangkan bagaimana Hukum Islam dan Hukum Positif dapat hidup berdampingan, saling melengkapi, dan membentuk kekayaan hukum yang unik.
Kesimpulan: Keberagaman Sebagai Kekuatan
Dalam mengakhiri artikel ini, perlu diakui bahwa keberagaman hukum di Indonesia, yang merangkum hukum Islam dan positif, merupakan kekayaan dan kekuatan bagi bangsa ini. Simbiosis harmonis antara kedua sistem ini mencerminkan semangat goton-royong dan toleransi yang menjadi ciri khas masyarakat Indonesia.
Penulis:
Aditya Putra Pratama
Mahasiswa Hukum Universitas Diponegoro
Editor: Ika Ayuni Lestari
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru di Google News
Referensi
Werner Menski, 2006, Comparative Law In A Global Context: The Legal Systems of Asia and Africa, Cambridge University Press, New York, hlm. 83.
Twining, W. (2000). “Globalisation and Legal Theory.” University College London.
Al-Jaziri, A. A. (2003). “Islamic Jurisprudence and the Harmonization of International Commercial Law: A Functional Approach.” Arab Law Quarterly, 18(4).