Pendahuluan
Dalam beberapa tahun terakhir, kasus kekerasan yang melibatkan anak sebagai pelaku semakin sering terjadi. Salah satu contoh nyata adalah kasus penikaman oleh seorang siswa SMAN 7 Banjarmasin pada tahun 2023. Kejadian ini memperlihatkan bahwa anak-anak pun bisa terlibat dalam tindak pidana serius.
Tidak hanya itu, data dari Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menunjukkan bahwa kasus bullying di lingkungan pendidikan juga mengalami lonjakan signifikan. Pada tahun 2024, tercatat 573 kasus kekerasan, meningkat tajam dari tahun-tahun sebelumnya.
Dari jumlah itu, 31% berkaitan langsung dengan perundungan atau bullying, sementara sisanya mencakup kekerasan seksual, fisik, dan psikis. Fakta ini menunjukkan bahwa kekerasan dan perundungan di kalangan anak bukan lagi kasus yang bisa dianggap sepele.
Situasi semacam ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah anak yang melakukan kekerasan harus dihukum seperti orang dewasa, atau justru dilindungi karena masih berada dalam masa tumbuh kembang?
Tanggung Jawab Hukum Harus Tetap Ada
Menurut saya, status sebagai anak tidak seharusnya membuat pelaku kekerasan terbebas dari tanggung jawab. Jika seorang anak tahu bahwa tindakannya bisa melukai orang lain, berniat melakukannya, dan tetap melanjutkannya, maka ia harus siap mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Banyak anak merasa aman karena berpikir, “Aku masih di bawah umur, pasti nggak dihukum.” Pola pikir seperti ini sangat berbahaya, karena bisa mendorong mereka untuk bertindak semena-mena.
Fenomena kekerasan di kalangan anak juga dipengaruhi oleh media sosial. Tidak sedikit kasus bullying yang sengaja direkam dan disebarkan, bahkan ditampilkan seolah-olah itu sesuatu yang membanggakan. Pelaku terlihat senang, sementara korban menderita.
Ini menciptakan efek domino yang buruk: anak-anak lain bisa merasa terdorong untuk meniru demi perhatian atau pengakuan dari lingkungan sekitarnya.
Anak Masih Butuh Perlindungan dan Pendekatan yang Mendidik
Meskipun begitu, kita juga tidak bisa menutup mata bahwa banyak anak melakukan kekerasan karena pengaruh lingkungan. Kurangnya perhatian dari orang tua, tekanan dari teman sebaya, bahkan kondisi rumah tangga yang tidak harmonis bisa menjadi pemicu utama.
Dalam kondisi seperti itu, penting untuk menyadari bahwa anak masih berada dalam masa pertumbuhan. Mereka belum sepenuhnya mampu membedakan mana yang benar dan salah secara utuh.
Oleh sebab itu, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) mengatur bahwa proses hukum terhadap anak harus berbeda dari orang dewasa.
Ada upaya diversi, yaitu pengalihan penyelesaian perkara ke luar pengadilan, yang bertujuan agar anak bisa memperbaiki diri tanpa harus menjalani hukuman penjara. Pendekatan ini bukan untuk membebaskan anak dari konsekuensi, tetapi agar proses hukum menjadi ruang pembinaan, bukan sekadar hukuman.
Menyeimbangkan Hukuman dan Perlindungan
Perlindungan terhadap anak tetap penting, tetapi tidak boleh menjadi alasan untuk melepaskan tanggung jawab. Ada korban yang harus dipikirkan juga, dan keadilan harus berlaku bagi kedua belah pihak.
Jika seorang anak melakukan kekerasan dengan sadar dan sengaja, maka perlakuan yang adil adalah membimbing mereka dengan pendekatan hukum yang membangun—bukan membebaskan, apalagi membiarkan.
Artinya, perlu keseimbangan yang jelas: hukum ditegakkan dengan pendekatan yang ramah anak, namun tetap tidak mengabaikan dampak dari tindak kekerasan yang dilakukan.
Dengan cara ini, anak bisa belajar dari kesalahan, bertanggung jawab, dan tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik tanpa mengabaikan hak korban untuk mendapatkan keadilan.
Penulis: Salsya Livya Dezzvyta
Mahasiswa Ilmu Hukum Universitas Halu Oleo
Dosen Pengampu: Ramadan Tabiu, S.H., LL.M.
Editor: Ika Ayuni Lestari
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru di Google News