Mengungkap Fakta di Balik Penjara: Penyimpangan Seksual Narapidana

Lapas
Petugas melaksanakan kontrol (Sumber: Foto Pribadi).

Dalam sistem pemasyarakatan telah ditentukan bahwa negara dalam rangka pembinaan terhadap narapidana diperbolehkan merampas hak kemerdekaan narapidana, namun tetap harus memberikan kesempatan kepada narapidana untuk pemenuhan hak-hak umum lainnya seperti hak kebutuhan seksual, sebab hak tersebut merupakan aspek kehidupan yang menjadi kebutuhan biologis manusia.

Pemenuhan kebutuhan seksual adalah hal yang penting dalam kehidupan manusia, baik dari segi kebutuhan fisiologis maupun biologis. Terdapat banyak hal yang perlu dipertimbangkan dalam mengatur mekanisme pemenuhan hak atas kebutuhan seksual warga binaan pemasyarakatan.

Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui bagaimana negara menerapkan prinsip proporsionalitas dalam rangka pemenuhan hak kebutuhan seksual terhadap warga binaan pemasyarakatan.

Bacaan Lainnya
DONASI

Baca Juga: Penganiayaan Napi di Lapas Yogyakarta: Korban Sampai Mengalami Trauma?

Pidana penjara tidak hanya mengakibatkan perampasan kemerdekaan, tetapi dapat menimbulkan akibat negatif terhadap hal-hal yang berkaitan dengan dirampasnya kemerdekaan itu sendiri. Pola perilaku penyimpangan seksualitas narapidana di Lapas dikarenakan pada dasarnya manusia memiliki kebutuhan dasar dalam dirinya yang terdiri atas 5 tingkatan, yaitu:

  • Kebutuhan fisiologis;
  • Kebutuhan keselamatan dan keamanan;
  • Kebutuhan cinta dan rasa memiliki;
  • Kebutuhan rasa berharga dan harga diri;
  • Kebutuhan aktualisasi diri.

Salah satu kebutuhan dasar yang perlukan narapidana adalah pergaulan dengan lawan jenisnya, khususnya bagi narapidana dewasa bahkan sudah berkeluarga. Kebutuhan akan kasih sayang dan seksual merupakan kebutuhan yang sangat diperlukan dalam mencapai keseimbangan mental.

Dalam UU Nomor 22 Tahun 2022 tentang Sistem Pemasyarakatan disebutkan beberapa hak narapidana, salah satunya adalah menerima atau menolak kunjungan dari keluarga, advokat, pendamping, dan masyarakat.

Pada poin tersebut merupakan salah satu bagian dari pelaksanaan pemenuhan kebutuhan seksual narapidana di Lapas, tepatnya dalam mendapatkan kunjungan keluarga, narapidana dapat memenuhi sedikit kebutuhan seksualnya.

Pada kenyataannya, hak narapidana dalam memenuhi kebutuhan seksual masih sulit terealisasi, salah satunya seperti rekomendasi bagi narapidana sesuai Pasal 10 UU Nomor 22 Tahun 2022 yakni hak cuti mengunjungi atau dikunjungi keluarga.

Temuan terkait penyimpangan aktivitas pemenuhan kebutuhan seksual narapidana di Lembaga Pemasyarakatan merupakan fenomena yang tidak dapat diabaikan, hal ini dikarenakan seks tergolong dalam kebutuhan primer yang dilakukan setiap manusia sepanjang hidup.

Kondisi nyata di dalam Lapas terdapat berbagai aktivitas seksual dilakukan, mulai dari masturbasi, homoseksual, kekerasan seksual, hingga bisnis seks di dalam Lapas. Kebutuhan seks yang tidak tersalurkan tentu dapat berdampak kepada perlakuan penyimpangan yang dilakukan oleh narapidana.

Keadaan tersebut sudah tidak dapat lagi dipandang sebelah mata, petugas atau pimpinan Lapas bahkan pemerintah yang berwenang harus memperhatikan fenomena ini.

Baca Juga: Apa Itu Glorifikasi? Mengapa Dikaitkan dengan Bebasnya Saipul Jamil? Simak Selengkapnya di Sini!

Dalam kehidupan di dunia Lembaga Pemasyarakatan, Rumah Tahanan, pemerintah harus bisa memenuhi tuntutan perlindungan HAM khususnya pemenuhan kebutuhan seksual terhadap warga binaan pemasyarakatan.

Pemerintah harus mulai mengatur strategi untuk memenuhi kebutuhan seksual narapidana di Lapas, misalnya seperti diadakannya kegiatan sosialisasi atau penyuluhan atau edukasi perihal seksual secara rutin, hal tersebut sebagai upaya mengubah mindset narapidana agar dapat lebih menahan diri dan tidak selalu mengikuti hawa nafsunya, kemudian penyediaan sarana dan prasarana seperti ruang berhubungan intim antara narapidana dengan pasangan sahnya sebab hal itu merupakan hak yang sepatutnya dipenuhi. 

Sebab, di beberapa Lapas sering ditemukan aktivitas seks ketika jam besuk, seperti berciuman ataupun aktivitas lainnya dengan memanfaatkan keadaan di tempat yang sekiranya tidak terlihat oleh orang lain, seperti di pojokan, ataupun kamar mandi, kemudian aktivitas ini juga dilakukan dengan menggunakan alat seperti sarung ataupun kain untuk menutupi aktivitas tersebut, hal ini tidak sepatutnya terjadi di ruang besuk, dan akan mengganggu pembesuk lainnya.

Kemudian tersedianya bilik atau ruangan khusus untuk menyalurkan hasrat seksualnya, karena sejauh ini ketidaktersediannya akses untuk memenuhi kebutuhan seksual narapidana akan berpotensi memiliki dampak negatif terhadap kondisi psikis narapidana.

Hal ini berkaitan dengan Conjugal Visit, yakni upaya yang dilakukan Lapas maupun Rutan dalam memenuhi kebutuhan seksual narapidana melalui kunjungan yang dilakukan secara pribadi di dalam ruangan tertentu.

Conjugal visit ini merupakan aspek penting dalam mencegah dan mengurangi penyimpangan seksual yang terjadi pada narapidana, serta dapat meningkatkan juga moral para narapidana.

Narapidana melaksanakan pengecekan kesehatan (Sumber: Foto Pribadi).

Baca Juga: “Wagner” Narapidana yang dijadikan Tentara Bantuan

Berdasarkan fenomena di atas, selain daripada tersedianya fasilitas di Lapas, terdapat dua hal yang melatarbelakangi pelecehan seksual di dalam Lapas, yaitu ketiadaan kesempatan untuk berhubungan seksual secara konsensus, dan kekerasan seksual yang demikian merupakan cara yang mudah dan murah untuk mencapai kepuasan seksual.

Dengan demikian, maka diperlukannya suatu analisis guna mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman dari fenomena penyimpangan seksual yang terjadi. Dengan diketahuinya hal-hal tersebut, maka akan dapat menentukan strategi yang tepat untuk menangani fenomena kurang baik yang terjadi.

Untuk mengetahui strategi tersebut maka dilakukan analisis dengan menggunakan Teknik analisis SWOT. Berikut analisis SWOT yang dilakukan:

  1. Strength (Kekuatan)
    • Treatment khusus melalui pembinaan kepribadian;
    • Disediakannya conjugal room oleh pemerintah;
    • Regulasi mengenai kunjungan keluarga tidak dipersulit.
  2. Weakness (Kelemahan)
    • Belum tersedianya bilik atau ruangan khusus untuk menyalurkan hasrat seksual;
    • Sulitnya akses bagi narapidana memperoleh haknya, tepatnya dalam menerima atau menolak kunjungan dari keluarga, advokat, pendamping, dan masyarakat;
    • Narapidana sulit mendapatkan cuti mengunjungi keluarga.
  3. Opportunity (Peluang)
    • Terdapat pihak ketiga yang bersedia bekerjasama untuk memberikan penyuluhan atau program pembinaan kepada narapidana;
    • Bisa menjadikan inovasi terkait untuk bisa membuat regulasi terkait upaya prevetif, represif, dan kuratif.
  4. Threat (Ancaman)
    • Narapidana berpotensi dapat melakukan penyimpangan seksual karena tidak dapat menyalurkan hasrat seksualnya;
    • Dapat mengganggu keamanan dan ketertiban atas kericuhan yang disebabkan dari tidak bisa memuaskan hasrat seksual dan perilaku penyimpangan seksual yang terjadi;
    • Narapidana dapat terganggu fisik dan psikisnya.

Disimpulkan bahwa dalam kehidupan narapidana di dalam Lapas maupun Rutan fenomena penyimpangan seksual sudah tidak lagi dipandang sebelah mata, pimpinan lapas bahkan pemerintah sudah harus menentukan strategi untuk meminimalisir kegiatan seperti ini terjadi.

Baca Juga: Penahanan 7 Tahanan Politik Papua: Antara menjaga keutuhan NKRI dan Pelanggaran HAM

Perilaku penyimpangan seksual yang terjadi ini disebabkan atas dasar tidak dapat tersalurkannya hasrat kepuasan seksual narapidana karena terbatasnya fasilitas dan juga sulitnya regulasi mengenai hak yang seharusnya didapatkan para narapidana.

Dengan demikian, untuk mencegah bahkan meminimalisir berbagai perilaku penyimpangan seksual narapidana diperlukan suatu regulasi yang dapat mengoptimalkan pelaksanaan program cuti mengunjungi atau dikunjungi keluarga, kemudian penerapan conjugal visit dengan diadakannya conjugal room, serta melakukan penyuluhan kepribadian dalam rangka mengubah mindset para narapidana agar lebih mengontrol diri dari hawa nafsunya.

Penulis: 

Aditya Rafif Widyardi
Mahasiswa Manajemen Pemasyarakatan Politeknik Ilmu Pemasyarakatan

Editor: Ika Ayuni Lestari     

Bahasa: Rahmat Al Kafi

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI