Bahasa Gaul: Merusak atau Mengembangkan Bahasa Indonesia?

Bahasa Gaul
Ilustrasi Pembicara (Sumber: Media Sosial dari freepik.com))

Bahasa Indonesia, sebagai identitas bangsa, terus berkembang seiring zaman. Namun, di tengah arus modernisasi, muncul fenomena bahasa gaul yang kerap menjadi perdebatan.

Apakah bahasa gaul ini justru merusak tatanan bahasa Indonesia yang baik dan benar, atau justru memberikan warna baru dan menyegarkan dalam berkomunikasi? Pertanyaan ini seolah tak pernah menemukan jawaban tunggal.

Di satu sisi, banyak yang berpendapat bahwa bahasa gaul merusak kemurnian bahasa Indonesia. Penggunaan kata-kata slang, singkatan yang berlebihan, dan perubahan struktur kalimat dianggap menggerus nilai-nilai luhur bahasa yang telah diwariskan dari generasi ke generasi.

Baca juga: Interferensi Bahasa dalam Bahasa Gaul di Kalangan Remaja

Bacaan Lainnya

Bayangkan saja, bagaimana jadinya jika generasi muda lebih fasih menggunakan “mager,” “gabut,” atau “santuy” daripada kata-kata baku yang memiliki makna serupa? Kekhawatiran ini wajar adanya, mengingat bahasa mencerminkan budaya dan identitas suatu bangsa. Jika bahasa tercemar, maka identitas bangsa pun terancam.

Selain itu, penggunaan bahasa gaul yang terlalu sering juga dikhawatirkan dapat menghambat kemampuan seseorang dalam berbahasa Indonesia yang formal dan baku.

Dalam situasi resmi, seperti presentasi di depan umum, menulis surat lamaran kerja, atau berinteraksi dengan pejabat pemerintahan, penggunaan bahasa gaul tentu tidaklah pantas. Jika terbiasa menggunakan bahasa gaul dalam percakapan sehari-hari, seseorang mungkin akan kesulitan untuk beralih ke bahasa Indonesia yang formal dan baku saat dibutuhkan.

Namun, di sisi lain, ada pula yang berpendapat bahwa bahasa gaul justru memperkaya khazanah bahasa Indonesia. Bahasa gaul dianggap sebagai bentuk kreativitas dan inovasi dalam berbahasa, yang mencerminkan dinamika kehidupan sosial dan budaya anak muda.

Baca juga: Bahasa Gaul: Antara Kreativitas dan Ancaman bagi Bahasa Indonesia

Kata-kata slang yang muncul biasanya memiliki makna dan konotasi yang unik, yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata baku. Misalnya, kata “baper” (bawa perasaan) memiliki makna yang lebih kuat dan ekspresif daripada sekadar “sensitif” atau “mudah tersinggung.

Tentu saja, penggunaan bahasa gaul haruslah proporsional dan kontekstual. Kita tidak bisa serta merta menolak bahasa gaul, tetapi juga tidak bisa sepenuhnya menggantungkan diri padanya.

Bahasa Indonesia yang baik dan benar tetap harus dijunjung tinggi dan dipelajari dengan sungguh-sungguh. Bahasa gaul dapat digunakan sebagai pelengkap, sebagai bumbu dalam berkomunikasi, tetapi tidak boleh menggantikan bahasa Indonesia yang baku.

 

Penulis: Ma’alul Ghoni
Mahasiswa Sastra Inggris, Universitas Pamulang

Dosen Pengampu: Ulfah Julianti

Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses