DeanKT dan Norma Baru: Gaya Bicara Toxic yang dirayakan

Streamer DeanKT
Streamer DeanKT (Sumber: Media Sosial)

Jika kamu adalah penggemar E-Sport atau sering menonton streaming langsung di YouTube, pasti nama Aldean Tegar Gemilang, atau yang biasa disebut DeanKT, sudah sangat familiar. Ia dikenal dengan cara berbicara yang langsung dan kadang agresif, sering menyindir, namun tetap dianggap menghibur dan lucu.

Menariknya, gaya komunikasi yang dianggap “toxic” oleh sebagian orang justru membuatnya semakin populer dan dicintai oleh para penonton.

Pertanyaannya adalah: mengapa cara berbicara yang kasar bisa diterima bahkan dihargai?

 

Bacaan Lainnya

Ketika Kasar di Anggap Lucu

Deankt bukan satu-satunya streamer yang berbicara blak-blakan di dunia digital, tapi ia menjadi contoh paling jelas di mana gaya tersebut dapat menarik perhatian. Banyak penontonnya menyukai Deankt karena ia dianggap “jujur,” “tanpa berpura-pura,” dan “apa adanya.

Di balik semua itu, kita melihat munculnya pola penerimaan sosial terhadap cara berbicara yang kasar sebagai bentuk kejujuran. Seakan-akan, jika seseorang tidak berbicara secara langsung dan menyindir, mereka dianggap palsu atau kurang autentik.

Konsep hegemoni dari Antonio Gramsci bisa menjelaskan hal ini. Dalam konteks DeankT, gaya kasar yang dulunya dianggap tidak biasa kini menjadi hal yang umum. Kita tidak dipaksa untuk menerimanya, tetapi perlahan-lahan menganggapnya wajar bahkan ideal.

Streamer yang berbicara dengan cara yang lebih sopan, hati-hati, atau lembut sering kali dianggap kurang menarik atau terlalu kaku. Ini menunjukkan bahwa kita menghadapi bentuk kekuasaan yang beroperasi melalui kebiasaan: kita menyerap gaya kasar sebagai hal yang normal karena itu adalah yang kita lihat, kita tonton, dan kita hargai.

 

Budaya Receh dan Algoritma

Di sinilah diskursus media berperan, seperti yang diungkapkan oleh Foucault. Gaya berbicara yang kasar bukan lagi sesuatu yang menyimpang tetapi menjadi standar baru karena dianggap “apa adanya,” “gaul,” dan sesuai dengan cepatnya budaya digital.

Gaya berbicara yang menghibur, cepat, dan memicu reaksi emosional lebih cocok dengan algoritma media sosial. Gaya ini mudah dipecah menjadi klip pendek, lebih cepat viral, dan simpel untuk dikomentari. Di sisi lain, gaya berbicara yang reflektif atau empatik sering kali kalah dalam kecepatan dan keramaian.

Maka, tidak mengherankan jika gaya seperti DeankT menjadi dominan, bukan karena semua orang menyukai kekasaran, tapi karena sistem media lebih mendukung format semacam itu.

 

Siapa yang diolok? Siapa yang dipuji?

Dalam analisis Stuart Hall, jika kita perhatikan konten-konten DeanKT, ada pola menarik mengenai siapa yang sering terkena kritik atau ejekan. Biasanya yang menjadi sorotan adalah perempuan yang dianggap materialistis, terlalu cinta, atau berlebihan dalam percaya cinta.

Pria yang “tidak memiliki uang tapi banyak gaya. ” Remaja yang masih belajar tentang hubungan tetapi dianggap bodoh karena salah membuat pilihan. Ketika orang-orang ini terus menjadi sasaran dalam konten-konten yang sinis, tanpa kita sadari memunculkan gambaran bahwa mereka bodoh, lemah, atau pantas untuk diejek.

Sebenarnya, mereka hanyalah orang biasa dengan kisah hidup masing-masing. Namun, karena mereka berada dalam posisi yang dianggap “salah,” mereka pun menjadi bahan tawa.

Ini disebut representasi: bagaimana suatu kelompok ditampilkan dalam media. Jika gambaran tersebut muncul terus menerus, akhirnya kita menganggapnya sebagai kebenaran.

 

Kritik Bisa Tajam, Tapi Tetap Etis

Opini ini tidak bermaksud menyerang DeanKT. Gaya berbicara seperti DeanKT dapat meningkatkan kesadaran tentang hubungan yang manipulatif, standar ganda, atau perilaku yang merugikan. Namun, di sisi lain, jika tidak dikelola dengan baik, gaya tersebut berpotensi memperkuat kultur kekerasan verbal.

Baca juga: Kepribadian Manusia (Perilaku Asertif)

Apakah kritik selalu harus bernada sinis? Apakah pendidikan harus selalu disampaikan dengan cara yang kasar? Ini adalah tantangan yang dihadapi budaya populer saat ini: dapatkah kita mengungkapkan kebenaran tanpa merendahkan orang lain?

Dapatkah kita menciptakan lingkungan digital yang tidak hanya menghargai kemampuan berbicara, tetapi juga kemampuan mendengarkan secara empati? Semakin banyak kreator konten yang menghasilkan video edukasi dengan pendekatan yang santai, ramah, dan tidak agresif. Ini adalah tanda positif bahwa masih ada peluang untuk menciptakan budaya diskusi yang lebih sehat di media sosial.

 

Toxic itu Boleh Viral, Tapi Jangan Jadi Norma

Gaya bicara yang terbuka dan tajam yang sering ditunjukkan oleh DeanKT dapat menghibur dan kadang menggambarkan perasaan banyak orang. Namun, jika cara berbicara seperti ini terus dianggap normal dan menjadi patokan, kita malah menciptakan ruang digital yang tidak nyaman dan seringkali menyakitkan.

Kita harus ingat bahwa media sosial adalah area publik. Apa yang kita lihat dan sukai dapat secara perlahan membentuk norma yang baru. Jika kita terus membenarkan perilaku Toxic dengan alasan “edukasi”, berarti kita berkontribusi pada terbentuknya budaya yang penuh tekanan dan kurang empati.

Kritik sosial sangatlah penting. Namun, kritik tersebut perlu disertai dengan kesadaran tentang siapa yang kita kritik, bagaimana cara kita melakukannya, dan untuk apa tujuannya. Sebab, komunikasi seharusnya bersifat membangun, bukan menjatuhkan.

Perilaku Toxic mungkin bisa mendapatkan perhatian banyak orang. Tetapi, kita tidak boleh membiarkannya menjadi norma. Kita bisa melakukan yang lebih baik dari itu.

 

Penulis: Sevia Kikan Azzahra
Mahasiswa Ilmu Komunikasi, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Dosen Pengampu: Dr. Merry Fridha Tri Palupi, M.Si.

Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses