Oleh: Chetrine Alya Rinaima
Mahasiswa Prodi Ekonomi Syariah UIN Sunan Ampel Surabaya
Virus Covid-19 mulai memasuki Indonesia sejak kasus pertamanya di tanggal 2 Maret 2020. Mitos “Indonesia Kebal Corona” yang sering dijadikan lelucon oleh orang-orang pun terpatahkan. Semenjak itu pula kebijakan pemerintah mengenai penanggulangan atas upaya penekanan angka positif Covid-19 terus digalakkan. Presiden Joko Widodo yang mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) No. 7 Tahun 2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019, disusul dengan Keppres No. 9 Tahun 2020. Social distancing menjadi pilihan bagi Indonesia, hingga gerakan #dirumahaja terus digaungkan para petinggi bahkan masyarakat biasa.
Pasar dan mal ditutup, tempat ibadah diperketat, sekolah dijalankan melalui daring, begitu pula dengan universitas-universitas di Indonesia. Tentu semua orang terkena dampaknya, dari mulai para pekerja yang harus bekerja dari rumah bahkan sampai di-PHK, tenaga medis yang harus bekerja keras sebagai garda terdepan, anak sekolah yang tidak bisa belajar dengan aktif di sekolah, dan mahasiswa yang notabene adalah seorang aktivis pun harus #dirumahaja. Bagi seorang aktivis, bukan hanya belajarnya saja yang terhambat, namun kegiatan berorganisasipun juga ikut terhambat. Belum lagi setiap hari mereka disuguhi materi-materi kuliah daring yang pelaksanaannya tidak maksimal karena terhambat oleh komunikasi. Mahasiswa yang tinggal di daerah susah sinyal pun banyak berkeluh-kesah mengenai jaringan yang tidak stabil.
Covid-19 terjadi di rentan bulan Maret-April, biasanya pada bulan-bulan itu baru saja terjadi peralihan masa jabatan di organisasi kampus. Beberapa program kerja tahunan yang mereka buat seharusnya terlaksana di bulan-bulan tersebut, namun keadaan memaksa mereka untuk stop berkegiatan. Banyak yang sudah persiapan pelaksanaan dies natalis jurusan, fakultas, bahkan kampus dengan segala rangkaian kegiatan lainnya, namun mereka terpaksa mencari alternatif lain untuk tetap berorganisasi. Lalu bagaimanakah cara mereka untuk meneruskan kegiatan yang mestinya harus tetap terlaksana? Banyak yang memilih untuk mengundur waktu pelaksanaan kegiatan, namun sepertinya tidak sedikit pula yang mengganti program kerja mereka dengan program kerja lain yang lebih memungkinkan dilaksanakan di tengah pandemi. Kajian online dan seminar online adalah hal yang sedang gencar-gencarnya dilakukan di akhir-akhir ini, sepertinya memang itu yang bisa dilakukan ditengah kondisi Covid-19. Atas dasar pelaksanaan tanggung jawab terhadap organisasi menjadi alasan bagi setiap aktivis untuk tetap melaksanakan kegiatan yang bermanfaat. Disamping itu, proses menuju pelaksanaannya harus ada komunikasi yang baik antar anggota, mereka mau tidak mau harus melakukan rapat online. Rapat lewat google meet, zoom, webex teleconference dan berbagai aplikasi lain memanglah sebuah jalan alternatif. Pelaksanaan rapat online sendiri dipenuhi dengan warna-warni, beberapa sampai ketiduran dan banyak yang tidak bisa menyimak dengan maksimal karena kendala sinyal, namun dengan mengesampingakan ketidakefektifitasannya, mereka harus tetap melaksanakannya.
Di sisi lain, pelaksanaan program kerja tertentu seperti seminar dan lomba-lomba yang di undur waktu pelaksanaannya tidak akan efektif, mengapa?
Mari kita pikirkan dampak negatifnya. Bayangkan di sebuah kampus ada beberapa fakultas, di setiap fakultas ada beberapa jurusan, di masing-masing tingkatan tersebut ada banyak sekali organisasi kemahasiswaan yang terbentuk. Katakanlah BEM, Senat Mahasiswa, Himpunan Mahasiswa, Organisasi Mahasiwa Daerah, dan juga banyak UKM. Apabila semua organisasi tersebut memilih untuk mengundur waktu pelaksanaan kegiatannya, maka hal tersebut bukanlah hal yang efektif. Katakanlah pelaksanaan seminar nasional, tidak dipungkiri memang kebanyakan di organisasi kampus di setiap program kerjanya pasti ada kegiatan seminar nasional. Misalkan dalam sebuah universitas, beberapa organisasinya akan mengadakan seminar, karena Covid-19 akhirnya semua seminar diundur di semester depan. Dampak yang paling utama karena hal ini adalah pada jumlah pesertanya. Karena ada begitu banyak seminar yang pelaksanaannya berdekatan, mau tidak mau akhirnya mereka hanya memilih satu atau dua seminar saja. Mengapa demikian? Jangan lupa, Covid-19 berdampak besar pada sektor ekonomi, sedangkan pelaksanaan seminar tentunya membutuhkan biaya untuk mendaftar, jadi tidak hanya karena faktor waktu saja yang peserta pertimbangkan, tapi hal ini dipengaruhi juga oleh faktor ekonomi. Tidak hanya itu, pengurusan administrasi sepertinya juga menjadi masalah. Seperti cepet-cepetan dalam hal booking tempat pelaksanaan, rebutan sponsor, dan yang pasti barlomba-lomba untuk mencari peserta sebanyak-banyaknya. Apalah arti seminar dengan narasumber hebat jika tanpa peserta.
Dengan ini, penulis menyarankan agar para aktivis dalam pelaksanaan program kerjanya tidak perlu terlalu ngoyo untuk mengundur semua acara ke semester depan, yang terpenting dari sebuah organisasi adalah bagaimana tujuan organisasi tersebut tercapai dan komunikasi yang baik antar anggota. Sisi lain dari adanya Covid-19 ini membuat kita sadar akan indahnya waktu berproses bersama teman-teman. Penulis yakin para aktivis bisa berperan lebih dalam memerangi Covid-19, dengan #dirumahaja, kegiatan seminar bisa diganti dengan seminar online, kajian-kajian yang biasanya dilaksanakan di kampus bisa di ganti dengan kajian online, selain itu untuk membantu masyarakat yang terdampak Covid-19 para aktivis juga bisa melakukan galang dana yang selanjutnya diberikan kepada masyarakat terdampak. Bagi yang program kerjanya melaksanakan lomba, bisa diakali dengan lomba secara online. Hal ini tidak terlepas dari kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan terjadi di masa mendatang. Apalagi kebijakan pemerintah mengenai tanggal masuk semester depan yang masih berubah-ubah, lebih baik mempersiapkan plan B agar organisasi tercinta kita tidak ikut “mati” karena Covid-19.