Transformasi digital dalam dunia pendidikan dewasa ini tidak lagi hanya tentang adopsi teknologi canggih, melainkan soal bagaimana pengetahuan dikelola, diwariskan, dan dihidupkan kembali dalam lanskap yang serba cepat. Di tengah dinamika tersebut, Cyber Library Universitas Nasional tampil sebagai pionir dengan mengembangkan pendekatan yang menyatukan teknologi, budaya, dan humanisme melalui konsep Gallery, Library, Archive, and Museum (GLAM).
Didirikan pada tahun 2023, Galeri Sutan Takdir Alisjahbana (STA) bukan hanya menjadi ruang fisik untuk mengenang sosok sastrawan dan pemikir besar Indonesia. Galeri ini adalah simpul pengetahuan yang menghidupkan kembali gagasan-gagasan STA dalam format digital, menjadikannya relevan bagi generasi kini dan mendatang. Cyber Library mengubah galeri menjadi pusat belajar yang interaktif, di mana narasi kebudayaan dan pemikiran intelektual dirajut dalam ekosistem digital yang terbuka dan inklusif.
Strategi GLAM yang diusung tidak semata-mata berfungsi sebagai upaya pelestarian, tetapi juga sebagai sarana kolaboratif untuk menyampaikan pengetahuan secara menyeluruh. Perpustakaan, arsip, dan galeri yang biasanya terpisah kini dipadukan dalam satu kesatuan yang dinamis, memudahkan publik untuk mengakses informasi dan berpartisipasi dalam penciptaan makna. Pengunjung bukan lagi sekadar konsumen informasi, melainkan turut membentuk narasi bersama melalui interaksi digital yang dirancang secara humanistik.
Di balik kemajuan ini, tersimpan filosofi penting tentang manajemen pengetahuan, bahwa pengetahuan tidak hanya dikumpulkan dan disimpan, tetapi juga harus dibagikan, diperkaya, dan dihidupkan. Teknologi menjadi mitra, bukan pengganti manusia. Sistem yang dibangun berakar pada kebutuhan komunitas, memperhatikan nilai-nilai budaya, dan memberi ruang bagi partisipasi luas.
Tentu, tantangan etika tak terelakkan dalam era kecerdasan buatan dan digitalisasi besar-besaran. Namun, Cyber Library menjawabnya dengan pendekatan yang berfokus pada manusia, mengedepankan integritas informasi dan konteks budaya. Dengan menggabungkan koleksi pustaka, galeri, arsip, dan pemikiran STA dalam satu platform yang terintegrasi, lahirlah ruang belajar baru yang lentur dan adaptif terhadap perubahan zaman.
Penting untuk disadari bahwa keberadaan Galeri Sutan Takdir Alisjahbana bukan hanya proyek monumental, melainkan juga bentuk pergeseran paradigma dalam pengelolaan memori kolektif bangsa. Di tengah derasnya arus informasi dan perubahan teknologi, upaya untuk mendokumentasikan warisan intelektual menjadi krusial, bukan sekadar pelestarian, tetapi pembentukan identitas kultural digital. Galeri ini menghadirkan karya dan pemikiran STA dalam format yang bisa dinikmati generasi digital, tanpa harus memutuskan konteks sejarah dan nilai yang dikandungnya.
Lebih dari itu, keberhasilan Cyber Library juga tidak bisa dilepaskan dari peran pustakawan sebagai kurator pengetahuan dan fasilitator transformasi. Pustakawan masa kini tidak lagi hanya bertugas menjaga koleksi fisik, tetapi menjadi penghubung antara pengguna, informasi, dan teknologi. Dalam konteks GLAM, peran pustakawan semakin strategis—mengintegrasikan literasi digital, metadata budaya, dan pengelolaan arsip digital dalam satu ekosistem pengetahuan terbuka. Peningkatan kapasitas pustakawan dalam bidang digital curation dan knowledge architecture menjadi kunci keberlanjutan transformasi ini.
Literasi digital juga menjadi bagian tak terpisahkan dalam pengembangan galeri digital semacam ini. Pengguna tidak cukup hanya bisa mengakses informasi, tetapi juga perlu memahami konteks, keaslian, dan nilai budaya dari informasi tersebut. Oleh karena itu, platform seperti Cyber Library harus dilengkapi dengan fitur edukatif, interpretatif, dan interaktif yang tidak hanya menyajikan informasi, tetapi juga membangun pemahaman kritis. Ini bisa diwujudkan melalui pameran virtual, penelusuran tematik, serta narasi multimedia yang mendalam dan kontekstual.
Selain sebagai ruang arsip dan edukasi, Galeri STA juga berpotensi menjadi ruang kolaborasi antar-institusi. Universitas dapat menjalin kerja sama dengan museum, lembaga kebudayaan, bahkan komunitas literasi untuk memperkaya konten dan memperluas jangkauan. Sinergi ini akan memperkuat ekosistem GLAM di Indonesia, menjadikannya lebih inklusif dan berkelanjutan. Integrasi data antar-lembaga memungkinkan interoperabilitas dan pertukaran sumber daya digital yang membuka akses lebih luas kepada publik.
Apa yang dilakukan oleh Cyber Library juga mencerminkan arah masa depan institusi informasi: bergerak dari penyedia informasi pasif menjadi pengelola makna aktif. Melalui pendekatan berbasis nilai, budaya, dan partisipasi publik, lembaga ini memberi contoh bahwa digitalisasi bukan hanya perkara teknis, melainkan transformasi menyeluruh dalam cara kita berpikir, mengingat, dan berbagi pengetahuan. Cyber Library Universitas Nasional adalah bukti nyata bahwa perpustakaan masa depan bukan sekadar tempat menyimpan buku, tetapi ekosistem pengetahuan yang hidup dan terus berkembang. Di dalamnya, sinergi antara teknologi, budaya, dan manusia menjadi fondasi untuk menenun ulang makna pengetahuan dalam konteks abad ke-21. Galeri STA menjadi wajah dari semangat itu—sebuah ruang yang tidak hanya mengenang masa lalu, tetapi juga menyalakan imajinasi untuk masa depan.
Dengan demikian, Galeri Sutan Takdir Alisjahbana di Cyber Library Universitas Nasional bukan sekadar upaya mengenang seorang tokoh besar, tetapi juga menjadi laboratorium sosial tempat ide, teknologi, dan warisan budaya saling berkelindan. Dalam dunia yang kian terdigitalisasi, inisiatif seperti ini menjadi mercusuar yang menunjukkan bahwa teknologi dapat digunakan untuk menumbuhkan kesadaran budaya dan memperkuat identitas bangsa.
Penulis: Hesti Ari Wardani
Mahasiswa Magister Sains Informasi dan Perpustakaan, Universitas Airlangga
Editor: Siti Sajidah El-Zahra
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News