Apakah Sains dan Agama Selalu Bertentangan?
Pertanyaan ini terus bergema dari zaman ke zaman, seolah-olah ilmu pengetahuan dan iman adalah dua kutub yang tak bisa bersatu.
Namun, sejarah mencatat seorang tokoh Muslim yang membuktikan bahwa keduanya bisa berjalan beriringan secara harmonis. Dialah Ibnu Rusyd, filsuf besar dari Andalusia yang menjadi jembatan antara akal dan wahyu.
Siapa Ibnu Rusyd?
Ibnu Rusyd yang memiliki nama lengkap Abul Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad Bin Rusyd Al-Hafid, yang lahir di Cordova Andalusia pada tahun 526-595 H.
Beliau merupakan ilmuwan muslim pada masa keemasan islam yang menguasai banyak bidang, dari ilmu fiqh, kedokteran, teologi, matematika, fisika, dan lainnya, beliau memiliki background keluarga intelektual.
Ayahnya seorang ahli fikih dan ahli hukum, kakek Ibnu Rusyd pun seorang yang terkenal pernah menjadi hakim agung dan imam besar masjid Cordova.
Dari latar belakang itulah yang bisa dibilang mempengaruhi tingkat intelektual Ibnu Rusyd, beliau disebut juga dengan “Averroes” di dunia barat.
Baca juga: Memanfaatkan Kekuatan Big Data dan Peran Sains Data untuk Mewujudkan Indonesia Emas
Ibnu Rusyd pernah bekerja di istana dan suatu saat dimintai tolong untuk menerjemahkan karya-karya Aristoteles yang menjadi awal mula komentar-komentarnya dan orang Barat menggemarinya sebagai “The Commentator”.
Beliau mengembalikan dan meluruskan ajaran asli Aristoteles, selain itu Ibnu Rusyd menjawab kritikan pemikir muslim terdahulunya seperti Al-Ghazali dalam karyanya Tahafut al-Falasifah.
Ibnu Rusyd menulis Tahafut at-Tahafut sebagai respons terhadap karya Al-Ghazali tersebut, beliau membela penggunaan akal dalam memahami realitas dan menolak klaim bahwa filsafat bertentangan dengan Islam.
Jika filsafat dapat mewakili pemikiran yang dicapai menggunakan akal, maka tidak dapat dipertentangkan dengan wahyu dalam Islam karena tujuan keduannya sama yaitu mencapai kebenaran.
Berbeda dengan pandangan ekstrem yang memisahkan ilmu dari agama, Ibnu Rusyd justru melihat keduanya sebagai dua jalan menuju kebenaran.
Baginya, wahyu dari Tuhan dan kemampuan berpikir manusia adalah anugerah yang saling melengkapi. Jika keduanya tampak bertentangan, maka manusia harus merenungi kembali makna dari wahyu itu, bukan menolak akal bulat-bulat.
Baca juga: Resume Buku Filsafat Moral: Empat Mode Hidup Bermoral dari Tokoh dan Tradisi yang Berbeda
Ibnu rusyd berpendapat bahwa filsafat diperlukan untuk mendapatkan pengetahuan yang benar, dan wahyu tidak menolak pemikiran rasional.
Sebelum mengetahui pencipta, seseorang seharusnya memahami penciptaan lewat filsafat yang menjelaskan keberadaan semua makhluk dan merefleksikannya sebagai bukti adanya pencipta.
Dengan begitu mempelajari filsafat bukan sesuatu yang haram, malah bisa dianjurkan bagi orang-orang yang memiliki kemampuan di bidangnya karena suatu kebutuhan yang tidak terhindarkan.
Dalam karya terkenalnya Fashl al-Maqal, Ibnu Rusyd menegaskan bahwa wahyu tidak pernah melarang manusia untuk menggunakan akal.
Bahkan, ia meyakini bahwa memahami alam semesta lewat sains adalah salah satu bentuk ibadah. Ia menulis bahwa ketika wahyu tampak bertentangan dengan kebenaran ilmiah yang pasti, maka tafsir terhadap wahyu itulah yang perlu disesuaikan, bukan sebaliknya.
Ibnu Rusyd mengajarkan bahwa tidak ada pemisahan mutlak antara ilmu dan agama. Ia tidak memilih menjadi hanya seorang filsuf atau hanya seorang ulama, tetapi menjadi keduanya. Dalam dirinya, akal dan wahyu saling menguatkan, bukan menggugurkan.
Kini, ketika dunia kembali terbelah antara kepercayaan dan logika, antara iman dan teknologi, sosok Ibnu Rusyd terasa semakin relevan.
Baca juga: Melestarikan Kesenian Jaranan di Era Modern sebagai Bentuk Tradisi Kearifan Lokal Bangsa Indonesia
Kita diajak untuk kembali merenung: Mungkinkah kita, sebagai manusia modern, hidup seimbang antara kecerdasan intelektual dan kedalaman spiritual?
Penulis: Dian Pratiwi
Mahasiswa Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah, UIN K. H. Abdurrahman Wahid Pekalongan
Editor: Anita Said
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru di Google News