Ikhtilat dalam Acara Keluarga Bagaimana Hukumnya?

ikhtilat

Dalam kunjungan keluarga atau silaturahmi pada hari raya dan lainnya, suami saudara perempuan bertemu dengan istri saudara laki-laki, atau putra paman dengan putri paman, atau istri saudara laki-laki dengan saudara laki-laki, dan begitu seterusnya, disertai dengan adanya mahram di rumah dan di satu majelis. Bagaimana hukum syariah dalam masalah ini?

Sabda Rasulullah: “Tidak akan masuk surga orang yang memutus (hubungan) kekerabatan (rahim).” (HR Muslim). Anas bin Malik ra juga menuturkan bahwa Rasulullah pernah bersabda: “Siapa saja yang suka dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, hendaklah dia menyambung hubungan kekerabatannya.” (Muttafaq ‘alayh).

Silaturahmi ini menunjukkan sejauh mana hubungan silaturahim dan kasih sayang di antara komunitas Islam yang ditetapkan Allah dalam hal menjalin silaturahim dan tolong menolong di antara kerabat. Silaturahim juga menunjukkan sejauh mana perhatian syariah Islam terhadap pengaturan pergaulan pria dan wanita, serta pengaturan segala hubungan yang muncul dan menjadi implikasi dari adanya pergaulan tersebut. (Syekh Atha bin Khalil Abu ar-Rasytah)

Hukum Islam telah memelihara kehidupan khusus di rumah. Di antara hukum-hukum kehidupan khusus di dalam rumah adalah seorang wanita hidup bersama para wanita atau bersama mahram-nya.

Bacaan Lainnya

Alasannya, karena terhadap merekalah seorang wanita boleh menampakkan bagian anggota tubuh, yang memang tidak dapat dihindari perlu ditampakkan dalam kehidupan khusus di dalam rumah. Selain sesama kaum wanita atau orang-orang yang bukan mahram-nya tidak boleh hidup bersama mereka.

Sebabnya, seorang wanita tidak boleh menampakkan kepada mereka bagian anggota tubuh, yaitu bagian-bagian tubuh yang biasa tampak dari seorang wanita pada saat melakukan aktivitas di dalam rumah, selain wajah dan kedua telapak tangannya.

Demikian pula orang-orang yang tidak memiliki hasrat seksual terhadap wanita, seperti orang yang telah tua-renta, orang yang dikebiri, atau orang yang terpotong alat kelaminnya, ataupun orang-orang semacam itu yang tidak lagi memiliki hasrat seksual terhadap wanita.

Orang-orang inilah yang boleh berada dalam kehidupan khusus. Para pria asing (non-mahram), yakni selain disebutkan di atas, tidak boleh berada dalam kehidupan khusus. Alasannya, wanita tidak boleh menampakkan bagian anggota badan, yakni yang biasa tampak di dalam rumahnya.

Dengan demikian, interaksi antara pria asing (non-mahram) dengan wanita di dalam kehidupan khusus hukumnya haram, kecuali pada keadaan tertentu yang telah dikecualikan oleh syariah Islam. Seperti pada acara jamuan makan dan silaturahmi, dengan syarat wanita disertai mahram-nya.

Adapun kehidupan umum, jika di situ ada keperluan yang dibenarkan oleh syariah untuk bertemunya pria dan wanita, maka pertemuan ini boleh menurut syariah. Misalnya, adanya pria dan wanita untuk shalat, atau menghadiri pengajaran ilmu, atau seminar dalam dakwah, atau untuk aktivitas umum dakwah. Dalam keadaan ini boleh keberadaan pria dan wanita itu disertai pemisahan barisan.

Tidak ada kewajiban pemisah di kehidupan umum jika ada keperluan yang di dalamnya disetujui oleh syariah. Misalnya, adanya pria dan wanita di pasar atau di jalan atau di taman umum atau ketika naik di bus. Ini ada dua macam:

Pertama, tujuan yang berbeda di situ tidak dapat ditunaikan kecuali dengan adanya ikhtilath (campur-baur), berdekatan dan berbincang-bincang, semisal jual-beli di pasar. Dalam hal semacam ini boleh terjadi ikhtilath.

Kedua, tujuan yang berbeda disitu dapat ditunaikan tanpa ikhtilath, yakni tanpa campur-baur berdekatan dan berbincang, seperti naik bus umum, di taman umum dan berjalan di jalan.

Dalam hal semacam ini boleh keberadaan pria dan wanita disitu tanpa ikhtilath, yakni tanpa campur-baur, berdekatan dan berbincang. Tetapi mungkin keberadaan pria dan wanita secara berdekatan, masing-masing untuk tujuannya sendiri, tanpa berbincang bersama, seperti berjalan di jalan, berada di taman umum dan naik bus umum.

Ada dalil-dalil syariah yang memperbolehkan shilaturahmi, makan dan menjenguk orang yang sakit, dan di kehidupan umum untuk mengobati orang yang terluka di peperangan, mendatangi pasar, shalat di masjid, menghadiri majelis-majelis ilmu, berhaji. Semua itu sesuai dengan hukum-hukum syariah dari sisi pemisahan barisan seperti masjid dan seminar umum, atau tanpa pemisahan barisan seperti pasar dan haji.

Penulis:
1. Muhamad Busro
Mahasiswa Ilmu Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan, Universitas Islam Indonesia.
2. Nur Zaytun Hasanah
Alumni Mahasiswa Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu Agama Islam, Universitas Islam Indonesia.

Sumber:

https://www.tintasiyasi.com/2022/08/ikhtilat-dalam-acara-keluarga.html?m=1

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses