Di negeri yang kaya akan ragam budaya seperti Indonesia, perpindahan antar daerah bukan semata-mata soal mencari ilmu, pekerjaan, atau sekadar petualangan. Perantauan, bagi sebagian anak muda, adalah perjalanan membawa serta identitas, nilai-nilai, dan semangat kampung halaman. Itulah yang dilakukan oleh para mahasiswa asal Banyumas yang kini menimba ilmu di Universitas Tidar (UNTIDAR) Magelang.
Melalui sebuah organisasi daerah bernama Ikatan Mahasiswa Banyumas (IMABAS), mereka menjadikan perantauan sebagai ruang baru untuk mengenalkan, melestarikan, dan mempromosikan budaya Banyumas di tengah masyarakat akademik yang majemuk.
Baca juga: Expo Kewirausahaan Himpunan Mahasiswa Ekonomi Pembangunan UNTIDAR Membuka Peluang bagi UMKM Magelang
IMABAS UNTIDAR bukan sekadar wadah silaturahmi antar mahasiswa satu daerah. Lebih dari itu, mereka adalah agen pelestari budaya yang aktif dan kreatif.
Organisasi ini lahir dari kesadaran bahwa menjadi perantau tak berarti harus meninggalkan jati diri. Justru di tanah rantau, identitas kultural semakin penting untuk dijaga sebagai pembeda yang memperkaya interaksi sosial. Di tengah arus modernisasi yang sering kali menyeragamkan, IMABAS hadir membawa warna lokal yang khas.
Dengan penuh semangat, IMABAS UNTIDAR menghadirkan berbagai program untuk memperkenalkan budaya Banyumas kepada masyarakat luas. Salah satu kegiatan unggulan mereka adalah FANTASIA (Fakta Unik Banyumas Satria), yang menyajikan konten informatif tentang sejarah, tradisi, kuliner, hingga tokoh-tokoh inspiratif dari Banyumas.
Lewat kanal media sosial, informasi ini menjangkau ribuan mata, membentuk kesadaran kolektif bahwa Banyumas bukan hanya soal logat “ngapak”, tapi juga tentang kekayaan nilai dan kearifan lokal.
Namun semangat itu tak hanya berhenti di ruang digital. IMABAS aktif menggelar kegiatan luring seperti bakti sosial, festival budaya, pelatihan kepemimpinan, hingga diskusi lintas budaya.
Dalam bakti sosial yang mereka selenggarakan, tidak hanya nilai kemanusiaan yang disampaikan, tetapi juga pesan kultural yang mengakar. Masyarakat Magelang pun menyambut kegiatan ini dengan hangat, karena dirasakan manfaatnya secara langsung, baik secara sosial maupun edukatif.
Solidaritas yang tumbuh di dalam IMABAS juga menjadi daya tahan tersendiri bagi para anggotanya dalam menjalani kehidupan perantauan. Mahasiswa baru dari Banyumas yang datang ke Magelang akan langsung disambut, dibimbing, dan dibantu untuk beradaptasi dengan lingkungan kampus dan kota.
IMABAS menjadi tempat berlindung, tempat bercerita, dan tempat tumbuh bersama. Dalam suasana kekeluargaan yang erat, rasa rindu akan kampung halaman sedikit terobati. Kota Magelang, perlahan, berubah menjadi rumah kedua.
Organisasi ini tidak segan memperjuangkan eksistensi identitas budaya daerah di tengah kampus. Melalui slogan “Ngapak itu Keren”, IMABAS berani menantang stigma bahwa logat khas Banyumas adalah sesuatu yang harus disembunyikan.
Sebaliknya, mereka menjadikannya kebanggaan, sebagai simbol keunikan dan keaslian. Dalam forum-forum resmi, mereka menyisipkan idiom Banyumasan; dalam kegiatan informal, logat ngapak mengalir tanpa beban. Semua ini membangun rasa percaya diri yang kuat akan siapa diri mereka sebenarnya.
Lebih jauh, IMABAS juga menjalin hubungan kolaboratif dengan organisasi mahasiswa daerah lain di UNTIDAR. Interaksi ini menjadi ruang bertemunya beragam budaya dari seluruh Indonesia, menciptakan dinamika positif dalam membangun toleransi dan persatuan. Dalam forum seperti ini, Banyumas tidak hanya hadir sebagai identitas tunggal, melainkan sebagai bagian dari keindahan mozaik nusantara.
Kreativitas IMABAS juga terlihat dalam keberanian mereka mengeksplorasi seni pertunjukan tradisional. Mereka menggelar panggung seni yang menampilkan ebeg, lengger, dan musik khas Banyumas dalam berbagai acara kampus dan festival budaya.
Di tangan mereka, kesenian rakyat bukan sekadar tontonan, melainkan sarana edukasi dan diplomasi budaya. Penonton tidak hanya disuguhkan hiburan, tetapi juga diajak memahami makna dan filosofi di balik setiap gerakan dan irama.
Keberhasilan IMABAS UNTIDAR dalam membangun jembatan budaya tak lepas dari kepemimpinan yang partisipatif dan semangat kolektif yang terjaga. Para pengurus dan anggotanya sadar bahwa eksistensi budaya tidak bisa dibiarkan berjalan sendiri—ia harus diperjuangkan. Oleh sebab itu, kegiatan IMABAS selalu dirancang dengan nilai strategis: membumikan kearifan lokal sambil membuka ruang partisipasi luas dari berbagai kalangan.
Perjalanan IMABAS adalah bukti bahwa organisasi mahasiswa daerah bisa menjadi kekuatan sosial yang besar jika dikelola dengan visi yang jelas. Mereka bukan sekadar komunitas nostalgia, tapi juga pelaku aktif dalam pembangunan identitas, baik personal maupun kolektif.
Di dalam IMABAS, para mahasiswa belajar tentang kepemimpinan, advokasi budaya, manajemen organisasi, dan tentu saja, tentang nilai solidaritas.
IMABAS UNTIDAR pun menjadi inspirasi bagi mahasiswa dari daerah lain. Mereka membuktikan bahwa cinta pada kampung halaman bukan berarti menutup diri dari lingkungan baru.
Justru dengan mencintai akar budaya, seseorang bisa tumbuh lebih kuat, lebih utuh, dan lebih siap menghadapi tantangan global. Di tengah tuntutan dunia akademik yang semakin kompetitif, identitas kultural menjadi modal yang tak ternilai.
Magelang, meski bukan tanah kelahiran, telah menjadi tempat berkembangnya semangat Banyumas berkat keberadaan IMABAS. Kota ini menjadi saksi tumbuhnya jembatan budaya yang kokoh, yang tidak hanya menghubungkan dua tempat geografis, tetapi juga dua identitas: menjadi mahasiswa dan menjadi anak daerah. Kombinasi keduanya melahirkan generasi yang tangguh, adaptif, dan tetap membumi.
Pada akhirnya, keberadaan IMABAS UNTIDAR adalah pengingat penting bahwa di manapun kita berpijak, akar budaya tetap harus dijaga dan dicintai. Budaya bukan hanya soal masa lalu, tapi juga tentang siapa kita hari ini dan ke mana kita melangkah di masa depan.
Selama ada yang menjaga, budaya tidak akan pernah kehilangan makna. Dan selama IMABAS berdiri, Banyumas akan selalu hadir, tak hanya di kampung halaman, tetapi juga di hati dan karya anak-anak rantau.
Penulis: Ferawati Leoni Putri
Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Tidar
Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News