Kalau Toleransi Hanya Slogan, Kita Mau Sampai Kapan?

Kalau Toleransi Hanya Slogan, Kita Mau Sampai Kapan?
Sumber: freepik.com

“Bhinneka Tunggal Ika”. Slogan yang sering kita dengar.

Arti dari kalimat ini pun sangatlah menarik dan memang bertujuan untuk menyatukan perbedaan yang ada.

Kalimat ini bukanlah sekedar kalimat biasa melainkan memiliki kekuatan perbedaan dari berbagai segala sisi.

Sejarahnya karena dari Sabang hingga Merauke, Indonesia memiliki perbedaan dari warna kulit, tradisi, suku bangsa, bahasa, bahkan agama.

Bacaan Lainnya

Tapi, apakah slogan ini benar-benar sudah terealisasi atau bahkan terikat pada setiap masyarakat Indonesia?

Kasus intoleransi di Indonesia sudah cukup dan sering terjadi, dilansir dari Setara Institute, jumlah intoleransi yang terjadi di negara kita tercinta, Indonesia, pada tahun 2022 mencapai 170+, tahun 2023 mencapai 210+, dan 2024 mencapai 250+ peristiwa mengenai pelanggaran kebebasan beragama atau berkeyakinan.

Dan terjadi lagi pada tahun ini, baru saja terjadi di kampung Tangkil, kecamatan Cidahu, kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.

Ini bukan lagi soal agama akan tetapi tentang adab setiap diri manusia. Sangat miris sekali melihat warga yang membubarkan ibadah yang dilakukan oleh anak-anak Kristiani, bahkan melakukan aksi intimidasi dan melakukan perusakan, yang membuat trauma anak-anak di sana hingga merugikan pihak setempat atau vila tempat anak-anak Kristiani sedang beribadah.

Adapun menurut pemahaman Gramsci mengenai ‘hegemoni’, kasus ini sangat menonjolkan sisi kekuasaan dari warga setempat dan mereka menyalahgunakan arti “mayoritas” yang mereka miliki, karena seharusnya sebagai mayoritas dapat melindungi dan menjadi teladan yang baik bagi kaum minoritas yang ada.

Warga setempat merasa bahwa mayoritas sangatlah memiliki kuasa daripada minoritas, yang secara tidak langsung sudah mereka injak-injak.

Di sisi lain, menurut hall mengenai ‘representasi dan identitas’, saya merasa bahwa warga setempat merasa tidak nyaman dengan kehadiran minoritas Kristen, sehingga mereka membuat kegaduhan yang tidak sepatutnya dilakukan.

Padahal pada saat retreat pun mereka tidak membuat kebisingan yang mengakibatkan warga setempat terganggu, dan bisa jadi warga setempat juga merasa terancam dengan adanya kegiatan yang tak resmi dan mereka haus izin legalitas yang membuat minoritas Kristen terpojokkan, tidak bisa beribadah dengan tenang, dan lain sebagainya.

Pada akhirnya pun kebiasaan atau budaya yang terus menerus dilakukan itu menjadi kekuasaan yang disalahartikan.

Entah mau sampai kapan kebiasaan yang tidak baik ini dipertahankan. Mau sampai kapan toleransi hanya menjadi slogan yang tidak ada artinya?

Warga yang memiliki sifat tersebut harus dipastikan mereka mengikuti bimbingan ilmu budaya agar dapat membedakan antara legal administrative dengan kultur spiritual, dan adanya penegakan hukum yang adil.

Mari tumbuhkan kesadaran bersama bahwa minoritas bukanlah musuh, akan tetapi kawan kita.

Mau sampai kapanpun kita menginjaknya, tetap suatu saat kita akan tetap membutuhkannya, karena kita hidup tidak sendiri.

Kita hidup bersama dan membutuhkan satu sama lain. Jangan biarkan kalimat “Bhineka Tunggal Ika” menjadi slogan yang tiada artinya.

 

Penulis: Grace Mecilia Wattimena
Mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Editor: Siti Sajidah El-Zahra
Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses