Perkembangan kecerdasan buatan (AI) tidak hanya mengubah cara manusia bekerja, tapi juga mulai merampas ruang kreativitas yang dulu eksklusif milik seniman.
Di Indonesia, munculnya ilustrasi berbasis kecerdasan buatan (AI) menimbulkan kekhawatiran di kalangan ilustrator.
Banyak teman saya yang merasa tersingkir, karena mesin bisa membuat gambar instan tanpa proses kreatif manusia.
Inilah alasan saya berdiri bersama gerakan #TolakGambarAI, bukan untuk menolak teknologi, tetapi untuk memperjuangkan keadilan bagi para seniman.
Kekhawatiran ini menjadi semakin nyata ketika pemerintah, melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika Digital (Komdigi), menggunakan ilustrasi berbasis kecerdasan buatan (AI) untuk mempromosikan program Makan Bergizi Gratis (MBG).
Padahal, Indonesia memiliki banyak talenta seni yang mampu menciptakan karya orisinal dan berkualitas tinggi.
Oleh karena itu, langkah pemerintah ini dianggap mengecewakan dan bertentangan dengan semangat pemberdayaan lokal.
Baca Juga: Mengatasi Writer’s Block: Antara Keberanian, Strategi, dan Bantuan AI
Akibatnya, gerakan #TolakGambarAI pun ramai digaungkan sebagai bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan tersebut.
Selain itu, kebijakan seperti ini juga menimbulkan pertanyaan besar mengenai komitmen pemerintah dalam mendukung para pelaku seni di tanah air.
Bahkan, banyak ilustrator justru kehilangan kesempatan kerja karena klien lebih memilih gambar yang dihasilkan oleh kecerdasan buatan (AI) yang lebih murah dan cepat.
Dengan begitu, terlihat jelas adanya kesenjangan yang semakin melebar antara pekerjaan manusia dan teknologi.
Karena itulah, gerakan #TolakGambarAI bukan hanya sekadar penolakan terhadap kecerdasan buatan (AI), melainkan juga tuntutan keadilan bagi pekerja kreatif yang menghasilkan karya orisinal dan penuh makna.
Masalahnya pun tidak berhenti di sana. Dari sisi etika, penggunaan gambar kecerdasan buatan (AI) menimbulkan persoalan serius.
Baca Juga: Saat AI Meniru Ghibli – Seni yang Kehilangan Jiwa?
Banyak ilustrasi kecerdasan buatan (AI) terbentuk dari dataset yang mengandung karya seniman lain tanpa izin.
Sebagian besar dari mereka bahkan tidak mengetahui bahwa karya mereka digunakan sebagai bahan pelatihan model kecerdasan buatan (AI) tanpa izin.
Akibatnya, hak cipta mereka terancam dan ruang kreasi mereka semakin sempit.
Oleh sebab itu, hal ini menimbulkan risiko plagiarisme yang dapat merusak integritas seni itu sendiri (Fadilla et al., 2023).
Selain itu, ilustrasi hasil dari kecerdasan buatan (AI) bukanlah produk penciptaan autentik, melainkan sekadar pengolahan data yang tidak memiliki karakter personal.
Maka dari itu, dukungan terhadap gerakan #TolakGambarAI menjadi sangat penting untuk menolak normalisasi karya tanpa jiwa.
Baca Juga:Â Robot (AI) vs Manusia: Manakah yang Efisien di Masa Mendatang?
Lebih jauh lagi, para seniman menghadapi tantangan yang tidak kalah berat dalam mempertahankan relevansi mereka.
Bahkan, beberapa teman saya menyebutkan bahwa klien kini beralih ke gambar hasil kecerdasan buatan (AI) untuk proyek politik atau promosi yang dulunya dikerjakan oleh manusia.
Kekhawatiran pun muncul bahwa maraknya penggunaan gambar kecerdasan buatan (AI) dalam konten politik dan promosi akan membuat keterampilan mereka kurang dihargai (Budi et al., 2024).
Padahal, ilustrasi buatan tangan manusia menyimpan nilai emosional dan konteks sosial yang tidak bisa digantikan oleh algoritma.
Oleh karena itu, nilai-nilai tersebut merupakan esensi seni visual yang membangun identitas budaya kita.
Sebagai respon terhadap berbagai permasalahan ini, gerakan #TolakGambarAI sesungguhnya merupakan panggilan untuk perubahan kebijakan yang lebih berpihak kepada pekerja seni.
Baca Juga:Â Artificial Intelligence (AI): Untung atau Buntung
Gerakan ini bukanlah penolakan yang membabi buta terhadap kemajuan teknologi, melainkan upaya untuk memastikan manusia tetap menjadi fokus utama dalam proses kreatif.
Saya pribadi sangat mendukung gerakan ini karena sangat menyuarakan kepedulian terhadap keberlanjutan profesi ilustrator di Indonesia.
Oleh sebab itu, pemerintah perlu hadir bukan hanya sebagai pengguna kecerdasan buatan (AI), melainkan juga sebagai pelindung tenaga kreatif lokal yang kontribusinya nyata dan penting.
Jika tidak ada langkah konkret yang diambil, bukan tidak mungkin profesi ilustrator akan terus tersingkir oleh kemajuan teknologi.
Dengan kata lain, kita tidak boleh membiarkan teknologi mengambil alih seluruh ruang kerja manusia.
Sebaliknya, sinergi antara manusia dan mesin harus terus dikembangkan agar inovasi tidak mengorbankan nilai-nilai kreatif dan kesejahteraan para pelaku seni.
Oleh karena itu, saya memilih untuk terus menyuarakan gerakan #TolakGambarAI sebagai bentuk perjuangan agar keadilan dan keberlanjutan seni tetap terjaga pesatnya perkembangan teknologi kecerdasan buatan (AI).
Penulis: Siti Fatimah
Mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa Inggris, Universitas Maritim Raja Ali Haji
Editor: Siti Sajidah El-Zahra
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News