Kutukan Rasionalitas: Jalan Sunyi Menuju Kehancuran

Rasionalitas

Pada masa kini, kita seringkali mendengar pernyataan, “Jika bangsa ini ingin maju, maka mau tidak mau masyarakatnya harus berpikir secara rasional.” Namun, rasionalitas seperti apa yang dimaksud? Rasionalitas yang semata-mata bertumpu pada benar-salah? Rasionalitas hitungan untung-rugi? Atau justru rasionalitas yang hanya menilai dan meletakkan segala sesuatu dari sisi material dan kepentingan pribadi?

Jika demikian, itu bukanlah rasionalitas yang membawa kita pada kebahagiaan esensial. Sebaliknya, ia justru menuntun kita pada pengkerdilan makna hidup itu sendiri.

Di tengah dunia yang serba cepat ini, pernahkah kita terbesit bertanya, apakah rasionalitas masih menjadi jawaban atas segala permasalahan bangsa kita? Pertanyaan ini menjadi lebih menggelisahkan jika kita melihat dan merenungkan sejenak perjalanan sejarah peradaban umat manusia.

Rasionalitas yang oleh sebagian orang dianggap sebagai cahaya pencerahan—sebagai alat untuk menjawab berbagai enigma kehidupan—ternyata memiliki sisi gelap yang menyembunyikan bahaya besar. Sebuah ironi yang suram, yang mungkin kita abaikan: rasionalitas yang sama yang mengklaim sebagai penuntun menuju kemajuan, ternyata telah membawa umat manusia ke dalam malapetaka terbesar yang pernah ada—Perang Dunia I dan II.

Bacaan Lainnya

Banyak dari kita lupa akan sejarah, bahwa rasionalitas merupakan elemen terpenting yang menyebabkan Perang Dunia terjadi. Untuk memahami lebih dalam, kita bisa merujuk pada analisis Max Horkheimer dan Theodor Adorno, dua intelektual dari Mazhab Frankfurt yang mengkritisi pola pikir manusia modern. Keduanya memperkenalkan konsep genealogi pemikiran yang sangat relevan untuk mengurai sebab-musabab di balik dekadensi kehidupan manusia.

Horkheimer dan Adorno menilai bahwa akar dari kemerosotan ini bisa ditelusuri jejaknya pada era Pencerahan (Aufklärung) yang muncul pada abad ke-18 di Eropa. Di era ini, akal-budi (rasio) manusia dianggap sebagai kunci untuk memahami segala sesuatu di dunia ini.

Masyarakat percaya bahwa melalui kekuatan akal, manusia bisa meraih kemajuan dan kebahagiaan tanpa perlu bergantung pada agama atau kepercayaan lainnya. “Sapere aude!”–beranikan diri untuk berpikir secara mandiri–merupakan semboyan yang menggema di daratan Eropa; menandakan keyakinan bahwa akal mampu menuntun manusia pada dunia yang lebih baik.

Baca Juga: Pengaruh Filsafat pada Ilmu Pengetahuan

Naas, ratusan tahun berikutnya, kehidupan cerah nan membahagiakan yang dijanjikan di era Aufklärung yang didasarkan pada rasionalitas tidak terbukti. Sebagaimana kita ketahui, cahaya senantiasa memiliki bayang-bayang hitam.

Bayang-bayang hitam era Pencerahan secara perlahan mulai menggerogoti kehidupan manusia hingga akhirnya mengakibatkan kerusakan besar bagi peradaban manusia di abad ke-20. Dalam buku “Dialektik der Aufklärung”, Horkheimer dan Adorno menegaskan bahwasanya kebahagiaan yang dijanjikan era Pencerahan (Jerman: Aufklärung) hanyalah omong kosong.

Menurut Horkheimer dan Adorno, era Pencerahan yang menghasilkan banyak kemajuan terutama dalam bidang ekonomi, ilmu pengetahuan, dan teknologi nyatanya tidak membawa manusia pada suatu tatanan ideal, melainkan malah menghancurkan sendi-sendi kehidupan manusia di berbagai sektor, termasuk cara berpikir (the way of thinking).

Cara berpikir rasio instrumentalis khas kebudayaan Aufklärung yang memandang entitas di luar manusia—seperti hewan, tumbuhan, dan alam—semata-mata sebagai objek, secara perlahan membentuk pola pikir mayoritas manusia modern.

Dalam horison ini, manusia modern mulai memandang sesamanya juga sebagai objek, persis sebagaimana cara mereka memandang alam. Akibatnya, manusia lain dianggap sebagai entitas pasif yang dapat ditundukkan, dieksploitasi, atau dimanfaatkan untuk memenuhi kepentingan pribadi.

Dalam bahasa yang lebih lugas, manusia modern sering kali melihat sesamanya tak lebih dari sekadar alat untuk memuaskan hasrat atau ambisi. Sehingga pada akhirnya melahirkan barbarisme baru yang berakar pada pengabaian nilai-nilai kemanusiaan.

Bentuk konkret dari barbarisme ini terlihat jelas dalam tragedi besar abad ke-20, seperti Perang Dunia I dan II, di mana teknologi dan rasionalitas digunakan untuk menghancurkan, alih-alih menciptakan harmoni. Menurut Horkheimer dan Adorno, akar dari semua ini terletak pada era Pencerahan yang terlalu mendewakan rasionalitas, sehingga mengabaikan dimensi moral dan spiritualitas manusia.

Rasionalitas yang pada awalnya dimaksudkan untuk membebaskan justru menjadi alat perbudakan yang membentuk peradaban keras yang irasional.

Gerakan-gerakan yang mengusung rasionalitas—seperti yang dilihat pada Malaka Project, misalnya—berusaha membawa kembali pola pikir rasional ke dalam kehidupan kita, dengan harapan bahwa logika ini akan membawa kebaikan dan kemajuan bangsa.

Namun, sudahkah kita cukup belajar dari sejarah? Dari peradaban yang didominasi oleh logika rasional yang akhirnya memunculkan perang, ketidakadilan, dan kerusakan ekologi? Jika kita terus menggantungkan diri pada rasionalitas yang sempit, kita akan terjebak dalam lingkaran setan yang tak berujung.

Baca Juga: Kehidupan dan Kematian Menurut Filsafat Timur dan Barat

Upaya Malaka Project dalam memajukan bangsa melalui pendekatan rasionalitas patut mendapat apresiasi. Namun demikian, penting untuk diingat bahwa kita tidak dapat sepenuhnya mengandalkan rasionalitas semata. Indonesia adalah bangsa yang memiliki akar kebudayaan yang kaya dan khas.

Aneka kebudayaan tersebut telah menaungi dinamika kehidupan bangsa selama berabad-abad lamanya. Kita berbeda dengan Barat. Masyarakat kita secara historis senantiasa memposisikan diri sebagai bagian integral dari alam, berbeda dengan masyarakat Barat yang cenderung melihat alam sebagai sesuatu untuk ditaklukkan, dieksploitasi, dan didominasi.

Oleh karena itu, Malaka Project perlu tetap memberi ruang yang cukup bagi dimensi moralitas dan spiritualitas dalam setiap gerakannya. Dimensi ini bukan sekadar warisan nenek moyang, melainkan juga fondasi penting bagi orientasi ilmu pengetahuan yang kelak diwariskan kepada generasi penerus.

Tanpa itu, gerakan sebesar apa pun hanya akan berakhir sebagai perayaan rasionalitas yang hampa, kehilangan arah, dan menjauh dari makna sebenarnya. Hal ini sangatlah krusial, agar kita tak terjerumus dalam jurang kehancuran seperti Perang Dunia yang lahir dari penyalahgunaan rasionalitas.

Polemik ini bukan hanya masalah filsafat belaka. Melainkan lebih jauh dari itu. Ini adalah tentang bagaimana kita hidup, bagaimana kita menghubungkan diri dengan dunia, dengan sesama, dan dengan Tuhan.

Rasionalitas harus kembali ditempatkan pada posisinya yang benar—sebagai alat untuk mencari kebenaran, bukan sebagai alat untuk menundukkan dan mengeksploitasi. Kita perlu belajar untuk kembali melihat hidup dan kehidupan ini dengan mata hati, dan tidak hanya melalui akal semata.

 

Faisal Ahdi Mawardi

Penulis: Faisal Ahdi Mawardi
Mahasiswa Program Studi Aqidah & Filsafat Islam, UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Editor: I. Khairunnisa
Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses