Dalam arsitektur sistem peradilan pidana di Indonesia, Balai Pemasyarakatan (Bapas) berada di posisi yang krusial namun paling tersembunyi. Di tengah hiruk-pikuk ruang sidang, gegap gempita penangkapan, dan sorotan terhadap lembaga pemasyarakatan (lapas), Bapas sering kali berjalan dalam lorong sunyi: tak terlihat, tak terdengar, dan acap kali tak dipahami.
Padahal, Bapas adalah ujung tombak dari sistem pemasyarakatan yang berfokus pada reintegrasi sosial. Di sanalah para Pembimbing Kemasyarakatan (PK) dan Asisten PK bekerja meretas jalan pulang bagi mereka yang pernah tersesat dalam kejahatan.
Baca juga: Pembimbing Kemasyarakatan: Penegak Hukum yang Tidak Populer
Fungsi Strategis yang Terabaikan
Secara hukum, keberadaan Bapas diatur dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan, yang menegaskan bahwa pemasyarakatan bukan hanya tentang menghukum, tetapi juga membimbing dan memulihkan.
Pasal 10 ayat (1) UU tersebut menyebutkan:
“Balai Pemasyarakatan merupakan Unit Pelaksana Teknis yang melaksanakan bimbingan kemasyarakatan dan pengentasan anak serta pengawasan terhadap klien pemasyarakatan.”
Dengan kata lain, Bapas adalah lembaga yang mempersiapkan, mengawasi, dan mendampingi klien—baik anak maupun dewasa—dalam menjalani proses pembinaan di luar lembaga, termasuk program integrasi sosial seperti pembebasan bersyarat, cuti bersyarat, dan asimilasi.
Namun dalam praktiknya, peran strategis ini sering dianggap remeh. Banyak aktor penegak hukum bahkan tidak memahami pentingnya litmas (penelitian kemasyarakatan), atau menganggapnya sekadar dokumen administratif. Padahal, rekomendasi Bapas bisa menentukan arah kehidupan seseorang: apakah akan kembali ke masyarakat dengan dukungan yang cukup, atau justru terjerembab kembali ke lingkaran kejahatan.
Tantangan di Lorong Gelap
Bapas menghadapi tantangan yang tidak ringan. Di banyak daerah, jumlah Pembimbing Kemasyarakatan tidak sebanding dengan jumlah klien. Rasio PK dengan klien bisa mencapai 1:100 atau lebih—jauh dari ideal. Kondisi ini berdampak langsung pada kualitas bimbingan dan pengawasan.
Selain itu, masih banyak masyarakat yang memandang sinis keberadaan Bapas. Ada anggapan bahwa mereka “terlalu lunak” terhadap pelaku kejahatan. Padahal, misi Bapas bukan membebaskan, tetapi membina dan menjembatani pemulihan, baik bagi pelaku maupun lingkungan sosialnya.
Kondisi ini diperparah dengan minimnya perhatian anggaran, dukungan kebijakan, dan pelatihan berkelanjutan. Bapas seolah dibiarkan berjalan sendiri dalam sistem yang belum sepenuhnya mendukung pendekatan keadilan restoratif.
Baca juga: Menangani Potensi Gangguan Keamananan dan Ketertiban di Lapas
Bapas dan Misi Restoratif
Dalam semangat restorative justice yang belakangan mulai digaungkan, Bapas justru menjadi lembaga yang paling relevan. PK adalah pihak yang bisa menilai kesiapan pelaku untuk berdamai, mendampingi proses pemulihan, dan menyusun rencana reintegrasi sosial yang konkret.
Namun, jika negara tidak memperkuat kelembagaan Bapas, memperluas kewenangan, dan menyediakan sumber daya yang cukup, maka semangat restoratif akan berhenti sebagai jargon.
Baca juga: Tantangan dan Solusi untuk Peningkatan Keamanan dalam Menangani Kasus Kekerasan di Lapas
Menghidupkan Lorong Sunyi
Balai Pemasyarakatan mungkin berada di lorong yang sunyi, tapi lorong ini adalah jalan pulang bagi banyak orang. Di sanalah cita-cita pemasyarakatan dijalankan secara nyata: bukan hanya menghukum, tetapi mengubah dan membimbing.
Jika kita benar-benar ingin sistem peradilan yang manusiawi, maka perhatian pada Bapas bukanlah pilihan, melainkan keharusan. Karena di lorong sunyi itulah, keadilan sejati diam-diam sedang diupayakan.
Penulis: Rian Suheri Akbar, S.H.
Pembimbing Kemasyarakatan (PK) Ahli Pertama
Kementrian Imigrasi dan Pemasyarakatan UPT Bapas Kelas II Palopo
Editor: Rahmat Al Kafi