Setiap tahunnya, perguruan tinggi negeri dan swasta Indonesia menghasilkan ribuan lulusan sarjana. Data dari Badan Pusat Statististika (BPS) mencatat sebanyak 452.713 sarjana muda lulus di tahun 2023 pada jenjang Strata 1. Dari banyaknya sarjana muda yang dihasilkan hanya sebagian saja yang bisa langsung memperoleh pekerjaan setelah kelulusan.
Hal ini sudah terjadi berulang dengan siklus yang sama setiap tahunnya. Fenomena tersebut dapat disebabkan karena kompetensi yang dimiliki sarjana muda di era tranformasi teknologi cenderung kurang relevan dengan permintaan lembaga maupun instansi pemerintahan.
Banyaknya sarjana muda dengan kompetensi yang sama juga menjadi pengaruh bagi mereka dalam mendapatkan pekerjaan langsung setelah lulus. Hal ini dikarenakan jumlah lembaga ataupun instansi yang membutuhkan kompetensi tersebut tidak sebanding dengan banyaknya jumlah lulusan.
Fenomena sarjana menganggur didukung oleh tranformasi teknologi yang saat ini kita alami. Searah dengan kemajuan teknologi, lembaga dan instansi yang ada juga akan mencari SDM yang sudah mumpuni di bidang teknologi terkini. Ironisnya, jumlah sarjana muda dengan kompetensi tersebut masih terbatas, akibatnya lapangan pekerjaan ada, tapi jumlah sarjana muda yang menganggur tetap banyak.
Fakta lain menambahkan bahwa tidak semua sektor pekerjaan mempublikasikan proses penjaringan karyawannya, hal ini menjadi kendala bagi sarjana muda dalam menemukan informasi terkait lowongan pekerjaan.
Banyaknya lulusan sarjana tidak sebanding dengan jumlah dan jenis lapangan kerja yang ada (tidak sesuai passion). Kompetensi yang dimiliki sarjana muda tidak relevan dengan kebutuhan lembaga atau instansi terkait, sehingga sarjana harus terpaksa menganggur meskipun sebenarnya ada lapangan kerja hanya saja tidak memiliki potensi di bidang yang dibutuhkan oleh lembaga atau instansi terkait.
Perusahaan-perusahaan IT besar Indonesia seperti start-up GoJek, Traveloka, Tokopedia, Sea Group (induk perusahaan Shopee) juga membutuhkan karyawan. Namun hanya sebagian sarjana muda dari beberapa kampus ternama yang memiliki kompetensi memadai untuk bisa menjadi bagian dari perusahaan-perusahaan tersebut.
Satu-satunya cara yang dapat dilakukan sarjana muda adalah membuka mata. Melihat dunia yang sudah mengalami transformasi teknologi begitu pesat. Akibatnya semua sektor kehidupan dipaksa untuk mengikuti kemajuan tersebut.
Jika sudah demikian seorang fresh graduate harus mampu bersikap adaptif, selalu mau belajar hal baru, bersikap dinamis dalam menerima segala bentuk inovasi baru yang dihasilkan oleh teknologi, tentunya dengan diikuti kapabilitas dalam hal penggunaan teknologi dari yang paling dasar hingga teknologi terkini.
Terakhir, sarjana muda harus pandai membawa diri dengan perubahan yang ada melalui sebuah inovasi. Hal ini menjadi penting untuk melibatkan teknologi dalam proses kehidupan manusia.
Baca Juga:Â Pengaruh Perkembangan Teknologi terhadap Prospek Kerja Teknik Sipil
Untuk menghadapi transformasi teknologi, diperlukan sikap adaptif agar dapat menerima hal-hal baru. Tidak menolak perubahan yang datang, serta memiliki keinginan untuk mempelajari hal baru tersebut. Alih-alih membatasi potensi diri, seseorang harus mampu berpikir terbuka dan kritis untuk rela mempelajari hal baru.
Contoh sikap adaptif adalah kesiapan calon sarjana dengan bekal pengetahuan mengenai teknologi terkini. Dapat berupa mempelajari sekaligus memiliki salah satu keterampilan yang dibutuhkan di era digital saat ini seperti data analytics, content writer, content creator, SEO, desain IU/UX pada website, programmer, atau bahkan web development.
Dilansir dari kominfo.go.id, indeks kemampuan masyarakat Indonesia dalam memanfaatkan teknologi dalam pekerjaan masih berada di angka 43,18. Sementara itu, data dari McKinsey&Company mengungkapkan bahwa sebanyak 23 juta pekerjaan nantinya akan membutuhkan teknologi, sehingga sarjana sebagai calon pekerja harus memiliki keterampilan yang sepadan.
Sarjana muda juga perlu bersikap dan berpikir dinamis. Selalu mengikuti perkembangan terkini dari inovasi teknologi yang ada. Tidak mudah puas dengan keterampilan yang saat ini telah dimiliki, sehingga perlu terus belajar untuk menambah potensi diri.
Dengan sikap dinamis, seseorang tidak menganggap transformasi teknologi sebagai sebuah ancaman, melainkan ajang untuk mengembangkan kompetensi diri.
Salah satu hal besar yang harus dimiliki sarjana muda untuk dapat membangun kompetensi di tengah transformasi teknologi adalah dengan memiliki kemampuan mengoperasikan teknologi dasar (software) serta terus update sekaligus mampu mengoperasikan teknologi terkini seperti halnya Artificiall Inteligent (AI).
Dengan kompetensi dan pengetahuan terhadap teknologi yang luas, sudah seharusnya mampu menjadikan seorang fresh graduate untuk menciptakan temuan baru yang mengintegrasikan teknologi dengan pekerjaan agar lebih mudah dan efektif. Sebagai contoh, penggunaan fitur AI untuk membuat desain. Di mana inspirasi utama berasal dari gagasan seseorang, tetapi yang melakukan proses perwujudan ide tersebut adalah kecerdasan buatan (AI).
Untuk bisa berkompetisi dengan tranformasi teknologi, sarjana muda harus berkompetensi tinggi. Tidak cukup hanya pengetahuan di bangku perkuliahan saja, melainkan pengetahuan dan keterampilan terhadap kebaruan teknologi.
Untuk membangun kompetensi sarjana muda, diperlukan kesiapan pola berpikir yang segar dan baru. Sehingga dihasilkan sebuah anggapan bahwa kemajuan teknologi bukanlah ancaman, melainkan peluang bagi umat manusia untuk lebih mau belajar, adaptif, dinamis, dan inovatif dalam menerima perubahan. Sehingga dihasilkan kemampuan untuk memanfaatkan teknologi sebagai media mempermudah pekerjaan manusia.
Penulis: Lia Afiana
Mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI), UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan
Editor: I. Khairunnisa
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News