Terdapat banyak pengertian yang mencoba untuk mendefinisikan arti kota secara akurat, semisal sosiolog E.E. Bergel dalam karyanya Urban Sociology (1955) yang mencoba mencampurkan beberapa pengertian kota sebagai gabungan elemen-elemen pemukiman, struktur, moda transportasi, instalasi, dan sebagainya secara terintegrasi, fungsional serta menyeluruh.
Berdasarkan satu pengertian tersebut, kota merupakan sesuatu yang kompleks, kota melibatkan beroperasinya beragam sektor masyarakat secara berkaitan. Kompleksitas kota juga semakin tinggi dengan perubahan-perubahan masyarakat kota yang begitu cepat, terlebih dengan mudahnya kota menjalin hubungan dengan dunia luar.
Baca juga: Pesona Batu Kapal Hidden Gem di Bantul Yogyakarta
Dengan kompleksitas kota yang begitu rumit serta segala dinamikanya, kajian-kajian mengenai kota selalu menjadi sesuatu yang menarik dan relevan dengan perkembangan zaman. Dalam hal ini, ilmu sejarah juga menghasilkan tema sejarah kota yang membahas ruang geografi tersebut secara historis dan bahkan multidimensional. Salah satu kajian yang ada dalam sejarah kota adalah kajian terhadap konsep “kota tradisional”.
Kota tradisional dapat dikaitkan dengan ruang geografis yang dahulu berperan sebagai pusat-pusat permukiman besar dan sumber kendali kerajaan-kerajaan Nusantara di masa lalu. Secara umum, kota tradisional berkembang pada waktu sebelum dimulainya masa kolonialisme Eropa di Nusantara, walaupun dalam beberapa kasus suatu kota tradisional juga dapat berkembang bahkan setelah meluasnya kekuasaan kolonial, seperti halnya di Surakarta. Maka, bila dilihat dari periodisasi sejarah Indonesia, kota-kota tradisional berkembang pada masa kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha hingga masa kerajaan-kerajaan Islam.
Berdasarkan karya Ilham Daeng Makkelo (2017) yaitu “Sejarah Perkotaan: Sebuah Tinjauan Historiografis dan Tematis” Salah satu karakteristik yang dapat ditemui dari kota tradisional adalah relasinya dengan spiritualisme masyarakat kota zaman dahulu. Kota tradisional berkembang dengan lebih mempertimbangkan unsur religius-magis serta kepercayaan setempat. Terbatasnya ilmu pengetahuan yang ada dahulu kala menyebabkan pembangunan kota seringkali dibarengi pemikiran-pemikiran irasional.
Baca juga: Kesenjangan Pendidikan Indonesia: Antara Kota dan Daerah
Beberapa kota tradisional dibangun dengan pertimbangan terhadap mata angin, garis imajiner kepercayaan, hingga ramalan ahli nujum. Contohnya seperti merujuk pada “Pengantar Sejarah Kota” karya Purnawan Basundoro (2016), dalam proses pencarian lahan untuk mendirikan Surakarta, Pakubuwana II lebih memilih tanah di barat Sungai Bengawan Solo walaupun kondisi geografisnya kurang baik, hal ini disebabkan ramalan ahli nujumnya, Tumenggung Hanggawangsa, bahwa masyarakat Jawa akan kembali pada kepercayaan Buddhisme jika Surakarta dibangun di timur Sungai Bengawan Solo.
Situasi ini merupakan refleksi keterbatasan ilmu pengetahuan saat itu dalam mengembangkan kebijakan kota, belum ada landasan ilmiah yang kuat layaknya ilmu geografi, ilmu geologi, atau ilmu bumi modern untuk membantu para penguasa kerajaan.
Dalam perkembangan kota-kota tradisional di Nusantara, terdapat beberapa monumen atau pola struktur yang secara umum menjadi karakteristik tata ruang kota. Biasanya, kota tradisional dapat ditandai dengan keberadaan keraton, candi atau masjid, pasar, alun-alun, serta tembok.
Baca juga: Dari Desa ke Kota: Menjembatani Kesenjangan Pendidikan di Indonesia
Struktur-struktur tersebut tidak hanya berdiri sendiri dan terlepas antara satu dengan yang lainnya secara fungsional, tetapi dibentuk untuk saling terikat dan membangun simbol kekuasaan terhadap masyarakatnya.
Seperti merujuk pada “Kawasan ‘Pusat Kota’ Dalam Perkembangan Sejarah Perkotaan di Jawa” yang ditulis Damayanti dan Handinoto (2005), orientasi kota tradisional akan terpusat pada keraton atau istana sang raja, yang di dalamnya tidak hanya diisi oleh keluarga kerajaan, tetapi juga para bangsawan, abdi dalem, dan petinggi-petinggi kerajaan lainnya.
Di Yogyakarta misalnya, keraton ini dilindungi oleh tembok pembatas yang seluruh areanya kemudian dikenal sebagai jeron benteng. Lalu, area keraton kota tradisional akan berhubungan langsung dengan alun-alun yang dilengkapi candi atau masjid dan pasar di sekelilingnya.
Di Jawa, struktur-struktur kota tersebut disusun sedemikian rupa sehingga membentuk pola mandala dengan raja sebagai pusatnya. Pola mandala juga terbentuk tidak hanya untuk menghormati raja yang berkuasa, tetapi juga diarahkan agar menghormati persemayaman para dewa atau ilahi di tempat tinggi, dikenal sebagai Gunung Meru dalam kepercayaan Hindu-Buddha.
Sebagai contoh, di Yogyakarta keraton mengarah kepada Gunung Merapi di utara, gunung yang merupakan representasi dari Gunung Meru. Tata susun seperti ini mencerminkan terimplementasinya konsep makrokosmos-mikrokosmos dan kepercayaan lokal masyarakat dalam perkembangan kota tradisional.
Kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat kota tradisional di Nusantara khas akan feodalisme dan segregasi. Status sosial masyarakat bisa dilihat dari seberapa dekat kediamannya dengan keraton, semakin dekat jaraknya maka dapat mengindikasikan status sosial yang tinggi, sedangkan semakin jauh dari keraton atau bahkan dari kota mengindikasikan status sosial yang lebih rendah.
Sistem kepercayaan menjadi sangat penting dalam menentukan hubungan antara kelas sosial, sebab masyarakat bawah yang merupakan mayoritas penduduk saat itu menghormati penguasa, keluarganya, dan para bangsawan dengan kepercayaan bahwa mereka adalah pemegang kekuasaan yang dualistik, yaitu duniawi dan rohaniah.
Sedangkan, dalam kota tradisional hampir tidak ada golongan masyarakat menengah layaknya masyarakat modern, beberapa masyarakat bawah bisa menjadi kalangan elite hanya melalui kekayaan, terutama melalui perdagangan yang tidak dapat dilakukan semua orang dengan modal terbatas.
Di luar itu, masyarakat kota tradisional hanya dapat mempertahankan status sosialnya secara ascribed, yakni dengan mewarisi kepemilikan orang tuanya. Demikian pula dengan peluang profesi yang ada, masyarakat kota tradisional pada umumnya hanya melanjutkan pekerjaan yang telah dilakukan orang tua dan telah diajarkan secara turun-temurun, keterbatasan ilmu pengetahuan serta aksesnya mengakibatkan kecilnya pilihan untuk memilih jalan hidup.
Berdasarkan tulisan “Bibliografi Sejarah Perkotaan: Dari Kota Tradisional Sampai Modern” karya Sri Ana Handayani (2022), kota tradisional berdasarkan geografisnya dapat dibagi menjadi dua, yaitu kota pesisir dan pedalaman, yang lantas membuat adanya perbedaan sektor profesi masyarakat dan berpengaruh pada kondisi sosial. Masyarakat kota tradisional di pesisir, seperti di Tuban, Gresik, dan Surabaya biasanya bekerja di sektor komersial, dan sebagai dampak dari perdagangan tersebut masyarakat kota pesisir juga cenderung menjadi lebih beragam dari segi etnis, ras, dan latar belakang lainnya.
Sedangkan masyarakat kota pedalaman seperti Surakarta dan Yogyakarta cenderung berbudaya agraris dengan bekerja sebagai petani di sawah-sawah pinggiran kota, lalu karena tipenya sebagai kota pedalaman yang lebih kental di bidang politik dan keagamaan, masyarakat atas akan menempati posisi-posisi bangsawan atau pemuka agama. Jadi, berbeda dengan masyarakat kota pesisir yang heterogen, masyarakat kota pedalaman cenderung homogen.
Di abad ke-17 dan seterusnya, pengaruh kedatangan bangsa Eropa serta konsolidasi kolonialisme seiring waktu menjadi tanda berakhirnya perkembangan kota-kota tradisional di Indonesia serta dimulainya perkembangan kota-kota modern. Meski begitu, beberapa kota tradisional masa lalu masih mempertahankan jejak citra khasnya. Di Surakarta misalnya, dari abad-19 hingga kini kegiatan tradisi dan adat istiadat masih senantiasa dilaksanakan terlepas dari kolonialisme Hindia-Belanda yang kuat.
Simbol-simbol tradisional juga masih bertahan di beberapa kota yang kini telah bertransformasi menjadi kota modern, seperti Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan alun-alunnya yang menghormati Gunung Meru. Dapat terlihat bahwa konsep kota tradisional sangat erat dengan budaya yang diwariskan turun temurun meskipun telah ditimpa oleh perubahan zaman.
Penulis:
1. Salsabilla
2. Jonathan Hasudungan
Mahasiswa Program Studi Ilmu Sejarah Universitas Padjadjaran
Editor: Rahmat Al Kafi