Gelombang kritik mengiringi rencana penulisan ulang sejarah nasional yang dilakukan di bawah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Kontroversi ini semakin tajam ketika sejumlah sejarawan dan arkeolog semakin rentan memprotes campur tangan terhadap narasi sejarah, terutama yang berkaitan dengan era Jokowi dan penghapusan bagian-bagian tragis seperti plot massal pada Mei 1998.
Dari perspektif hukum konstitusi, langkah ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai batas kekuasaan negara dalam membangun memori masyarakat.
Konstitusi Indonesia menjamin hak atas informasi, kebebasan akademik, dan hak masyarakat untuk mengetahui. Jika sejarah ditulis hanya berdasarkan kepentingan politik, maka negara telah melanggar hak dasar warga negara atas kebenaran.
Supremasi hukum tidak boleh menjadi satu-satunya pengatur narasi sejarah, apalagi menutupi luka bangsa yang belum sembuh.
Tragedi Mei 1998 merupakan titik kelam sejarah Indonesia yang tidak bisa dihapuskan hanya karena dianggap tidak menguntungkan penguasa. Dalam konteks negara hukum, keberanian untuk mengakui masa lalu merupakan bagian dari akuntabilitas publik.
Menghilangkan atau menyederhanakan bagian sejarah ini berarti menghilangkan hak para korban untuk mendapatkan pengakuan dan melemahkan fondasi keadilan transisi yang sedang dibangun.
Upaya menyusun sejarah versi negara juga melanggar prinsip pemisahan kekuasaan. Negara tidak boleh bertindak sebagai pelaku, hakim, atau penulis sejarah.
Dalam sistem demokrasi konstitusional, narasi sejarah harus disusun secara terbuka dan berdasarkan fakta yang diverifikasi oleh kelompok independen, bukan dibentuk berdasarkan kepentingan penguasa sesaat.
Dalam hukum ketatanegaraan, rekayasa sejarah dapat dikategorikan sebagai suatu bentuk “politik melupakan” yang secara langsung bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum.
Supremasi hukum menuntut keterbukaan dan kejujuran terhadap masa lalu sebagai syarat utama membangun kepercayaan warga negara terhadap lembaga negara.
Hak atas ingatan kolektif bukan sekadar simbolis, melainkan bagian dari hak konstitusional warga negara. Ketika suatu negara menghapus bagian penting dari sejarah suatu negara, berarti menghilangkan hak masyarakat untuk belajar dari masa lalu.
Hal ini merupakan bentuk pengingkaran terhadap amanat konstitusi yang menjamin transparansi, partisipasi masyarakat, dan kebebasan akademik.
Kritik dari para guru yang mengundurkan diri dari tim penulis sejarah merupakan suara moral yang wajib didengar. Mereka menolak untuk percaya pada satu narasi yang dibuat-buat. Dalam tradisi supremasi hukum, suara sejarawan merupakan bagian penting dari sistem “checks and balances” terkait rujukan pada otoritas negara.
Jika sejarah dikuasai negara, maka pendidikan akan menjadi alat propaganda. Generasi muda akan tumbuh dengan pemahaman sejarah yang belum lengkap, bahkan salah kaprah. Dalam jangka panjang, hal ini akan merusak kesadaran kritis masyarakat dan melemahkan partisipasi politik yang sehat.
Baca Juga: Paralel antara Fiksi dan Sejarah: Tragedi Ohara, Baitul Hikmah, dan Perpustakaan Pramoedya
Menulis ulang sejarah harus menjadi momentum kolektif untuk membangun narasi yang adil dan inklusif, bukan menghapus jejak luka.
Pemerintah harus memfasilitasi ruang terbuka bagi para ahli lintas disiplin dan korban sejarah untuk berbicara. Sebab dalam suatu negara hukum, sejarah bukan milik pemerintah, melainkan milik seluruh rakyat.
Menulis ulang sejarah dengan mengabaikan konstitusi bukan sekadar masalah akademis, namun masalah etika dan hukum. Jika negara ini terus seperti ini maka negara tersebut telah menyimpang dari prinsip demokrasi yang telah diperjuangkan sejak reformasi.
Kebenaran sejarah bukan untuk ditata ulang, melainkan diungkapkan dan dilestarikan, demi masa depan bangsa yang berdasarkan kejujuran dan keadilan.
Penulis: Amanda Fakhirah Dzakiyah
Mahasiswa Hukum Tata Negara Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Editor: Ika Ayuni Lestari
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru di Google News