Beberapa tahun terakhir, Indonesia mencatat peningkatan skor Indeks Tingkat Kegemaran Membaca (TGM) masyarakat.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), skor TGM nasional naik dari 66,77 pada tahun 2023 menjadi 72,44 di tahun 2024. Kenaikan ini mengindikasikan bahwa secara statistik, minat baca masyarakat Indonesia menunjukkan tren positif. Namun, apakah hal ini benar-benar mencerminkan peningkatan kualitas budaya literasi secara menyeluruh?
Perlu dipahami bahwa skor TGM masih berada dalam kategori sedang, bukan tinggi. Dengan kata lain, masyarakat Indonesia mulai menunjukkan ketertarikan untuk membaca, tetapi belum sampai pada tahap menjadikan membaca sebagai kebutuhan yang esensial. Bahkan, jika dilihat lebih jauh, data ini juga menunjukkan ketimpangan antar wilayah.
Provinsi seperti Daerah Istimewa Yogyakarta (79,99), Kepulauan Bangka Belitung (77,47), Jawa Timur (77,15), Jawa Barat (75,07), dan Kalimantan Selatan (74,63) menjadi lima teratas dalam hal minat baca. Namun masih banyak provinsi, terutama di kawasan Indonesia bagian timur, yang berada jauh di bawah angka tersebut.
Peningkatan skor TGM memang patut diapresiasi. Namun, ada pertanyaan krusial yang perlu diajukan: apa yang sebenarnya dibaca masyarakat?
Jika bahan bacaan yang dikonsumsi didominasi oleh konten singkat di media sosial, artikel sensasional, atau narasi-narasi viral yang dangkal, maka peningkatan minat baca ini belum tentu berbanding lurus dengan peningkatan kualitas literasi.
Membaca: Antara Kebutuhan dan Kesadaran
Realitas di lapangan menunjukkan bahwa banyak masyarakat membaca karena tuntutan, entah karena tugas sekolah, pekerjaan, atau kebutuhan sesaat. Jarang yang membaca untuk memperkaya perspektif, mengasah daya pikir, atau memperluas wawasan. Padahal, dalam dunia yang semakin kompleks ini, kemampuan berpikir kritis dan reflektif sangat dibutuhkan.
Baca juga:Â Pemanfaatan Perpustakaan Daerah sebagai Fasilitas Mahasiswa dalam Meningkatkan Literasi
Di sisi lain, budaya membaca mendalam (deep reading) mulai tergeser oleh pola konsumsi informasi yang serba cepat. Maraknya konten berformat singkat, baik dalam bentuk video maupun teks, membentuk kebiasaan berpikir yang dangkal dan terburu-buru. Dalam jangka panjang, hal ini berpotensi melemahkan kemampuan masyarakat dalam memahami informasi secara utuh dan menyeluruh.
Peran Perpusnas dan Tantangan Literasi
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (Perpusnas) terus menunjukkan komitmennya dalam memperkuat ekosistem literasi nasional. Melalui sejumlah program seperti Transformasi Perpustakaan Berbasis Inklusi Sosial (TPBIS), Gerakan Literasi Desa, dan pengalokasian Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk pengembangan perpustakaan desa, Perpusnas aktif mengintervensi berbagai lini demi memperluas akses dan kualitas layanan literasi.
Tantangan literasi masih nyata. Nilai kondisi perpustakaan umum dan sekolah berada di angka 57,62, yang termasuk dalam kategori sedang. Ini menandakan masih banyak perpustakaan di daerah yang kekurangan fasilitas, koleksi, dan tenaga pustakawan. Ketimpangan akses, terutama di wilayah terpencil, menegaskan pentingnya pemerataan layanan literasi.
Literasi tak bisa dibangun lewat pendekatan simbolik semata, namun juga membutuhkan kesinambungan dan tumbuh dari kebiasaan membaca serta berpikir kritis sejak dini, mulai dari rumah, sekolah, hingga komunitas. Tanpa program yang konsisten dan sesuai kebutuhan lokal, capaian indeks tinggi bisa jadi tidak mencerminkan kondisi nyata.
Literasi: Lebih dari Sekadar Bisa Membaca
Sering kali literasi disalahartikan sebagai kemampuan membaca dan menulis semata. Padahal, literasi sejati mencakup kemampuan memahami informasi secara kritis, mengevaluasi kebenarannya, dan menggunakannya secara bijak.
Masyarakat yang mudah terpapar hoaks, kesulitan memilah fakta dari opini, serta minim empati terhadap perbedaan, menunjukkan betapa pentingnya pembangunan literasi secara menyeluruh.
Peningkatan minat baca tidak boleh berhenti pada angka harus diterjemahkan ke dalam kebiasaan membaca yang bermakna. Buku tidak hanya harus hadir, tetapi juga dibaca, direnungi, dan didiskusikan. Literasi harus hadir sebagai budaya, bukan sebagai beban atau formalitas semata.
Penulis: Sabrina Aulia Putri
Mahasiswa Sastra Inggris, Universitas Negeri Semarang
Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News