Di era informasi saat ini, banyak orang memiliki kebebasan yang besar untuk menyatakan keyakinan agama mereka.
Termasuk pergeseran agama yang kadang-kadang dilakukan secara publik melalui media sosial.
Namun, bagaimana sikap pemerintah terhadap masalah ini? Apakah negara memiliki hak untuk terlibat? Atau seharusnya itu hanya masalah pribadi?
Setiap orang memiliki kebebasan untuk memeluk agama dan beribadat menurut agama yang mereka pilih, menurut Pasal 28E (1) UUD 1945.
Sebaliknya, Pasal 29 menyatakan bahwa negara berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa.
Ini berarti bahwa negara menerima agama, tetapi tidak boleh memaksa penduduknya untuk menganut keyakinan tertentu.
Di sini pentingnya Hukum Tata Negara: menjamin bahwa negara bertindak sebagai pelindung daripada pengontrol.
Negara harus memberikan kebebasan beragama, tetapi tidak boleh mendiskriminasi orang yang menganut agama lain.
Sayangnya, dalam praktiknya masih ada tekanan sosial bahkan ancaman hukum, terutama jika dikaitkan dengan pasal-pasal penodaan agama atau UU ITE.
Sekarang pertanyaannya adalah apakah sanksi sosial atau bahkan undang-undang yang melarang pindah agama masih berlaku di negara demokratis seperti Indonesia?.
Kebebasan beragama adalah hak, bukan hadiah, sehingga jawabannya harus mengacu pada konstitusi.
Baca juga: Pemahaman Hak dan Kewajiban Warga Negara dalam Menghadapi Era Globalisasi
Kesimpulan
Negara harus netral tentang keyakinan.
Bukan tugasnya untuk menghakimi, tetapi untuk melindungi setiap warga negara dari keyakinan mereka selama mereka tidak melanggar hukum atau menimbulkan kekerasan.
Baca juga: Hukum Tata Negara Bukan Sekadar Teori: Mengapa Mahasiswa Harus Peduli?
Menjaga keadilan tanpa mengorbankan kebebasan adalah tantangan besar hukum tata negara saat ini.
Penulis: Shabrina Raisa Azaria
Mahasiswa Jurusan Hukum Tata Negara, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Dosen Pengampu: Syihaabul Hudaa, M.Pd.
Editor: Anita Said
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru di Google News