Jerat Maut Pasal Karet UU ITE

Pasal Karet UU ITE

UU ITE kerap disebut-sebut dalam setiap permasalahan yang membawa nama hukum. UU ITE adalah Undang-Undang Transaksi dan Informasi Elektronik yang mana masih memiliki pasal-pasal karet. Hal tersebut berpotensi mengancam kebebasan dalam berekspresi dan mengeluarkan pendapat yang akan terus memakan korban.

Kejadian ini merupakan hal yang bertentangan dengan kehidupan berdemokrasi di Indonesia. Sebab, pasal-pasal UU ITE banyak digunakan untuk membungkam aspirasi-aspirasi yang kritis. Dalam arti lain berbeda dari pandangan politik oleh elit serta penguasa lainnya, serta dalam hal melancarkan kepentingan oknum tertentu.

UU ITE pertama kali disahkan pada tahun 2008 namun, sejak pertama kali disahkan sudah mulai memakan korban. Southeast Asian Freedom of Expression Network (SAFEnet), sebuah lembaga nirlaba yang memperhatikan tentang kebebasan berekspresi mencatat setidaknya ada 271 pelaporan kasus UU ITE sejak 2008.  

Bacaan Lainnya

Pasal 27 ayat 1 banyak digunakan para pelapor yang mana pasal tersebut berisi mengenai konten pelanggaran kesusilaan. Kemudian Pasal 27 ayat 3 tentang pencemaran nama baik. Pasal 28 ayat 2 tentang ujaran kebencian dan pasal 29 tentang ancama kekerasan. Pada dasarnya UU ITE ada untuk mengatur mengenai internet atau cyberlaw. Tetapi dalam penerapannya, pasal karet dalam UU ITE justru disalahgunakan untuk menjebak orang-orang yang berbeda pendapat hingga menjebak lawan politik.

Korban Jerat UU ITE

Jerat pahit pasal karet UU ITE telah dialami langsung oleh Baiq Nuril, mantan guru honorer di SMAN 7 Mataram, NTB. Ia yang menjadi korban dari pelecehan seksual justru dilaporkan balik dengan tuduhan menyebarkan percakapan dengan mantan kepala sekolahnya. Padahal, percakapan itu sengaja ia rekam karena Baiq Nuril merasa tidak nyaman dengan curhatan Sang Kepala Sekolah yang mengarah pada pelecehan seksual.

Seharusnya, polemik mengenai pengusutan kasus pencemaran nama baik secara pidana tidak perlu terjadi dengan syarat pembuatan UU dilakukan secara proporsional. Yaitu dengan menyusun ketentuan pidana sehingga menutup kemungkinan adanya pasal-pasal yang bermasalah dan multitafsir.

Pelaporan kasus pelanggaran UU ITE mengalami peningkatan sejak tahun 2013. Bahkan jika melihat kasus dari tahun-tahun sebelumnya, adanya peningkatan sebesar empat kali lipat  pelaporan kasus-kasus UU ITE. Lonjakan lain juga nampak pada tahun 2016 saat UU ITE mengalami revisi namun tidak banyak membahas pasal bermasalah itu. Di tahun 2016, setidaknya ada 83 pelaporan kasus pelanggaran ITE.

Ramainya pelaporan kasus UU ITE selaras dengan momen-momen politik. Seperti pada Pilkada Jakarta 2012, menjelang Pemilu Presiden 2014, dan Pilkada Jakarta pada tahun 2017. Padahal, UU ITE ada sebagai upaya jaminan kepastian hukum terhadap informasi dan transaksi elektronik. Menurut catatan Tifa Foundation, UU ITE seharusnya hadir untuk mengatur internet (cyberlaw). Yang dalam penerapan pasal karet ini malah memakan banyak korban.

UU ITE Senjata Politik

UU ini seharusnya menjadi pertimbangan untuk ditinjau kembali, melihat banyaknya pasal karet bak pisau bermata dua yang bisa digunakan untuk menyerang siapapun.  Dengan kesaktian dari pasal-pasal karet UU ITE yang sangat elastis ini, ia sampai mampu menyulap freedom of speech (kebebasan berbicara) menjadi hate speech  (ujaran kebencian).

Pasalnya, UU ini tidak memiliki garis yang membedakan antara freedom of speech dengan hate speech sehingga dapat menjadi blunder bagi siapapun yang mengutarakannya. Kebebasan berpendapat justru mengalami kemunduran dengan adanya UU ITE ini. Orang-orang sudah terlanjur takut diancam dengan menggunakan UU ITE sehingga ia pendapatnya tidak dapat diutarakan secara bebas karena enggan berurusan dengan hukum.

Kebebasan berpendapat merupakan sikap alamiah di era demokrasi dan bagian syarat tumbuhnya partisipasi publik yang sehat.  Pertanyaannya, apakah para pemegang kebijakan dan elite partai politik mau mencabut “pasal karet” tersebut?

Jika memperhatikan gelagat para elit politik, nampaknya mereka belum mau mencabutnya. Justru UU ITE menjadi alat ampuh bagi kubu politik maupun non-politik untuk membungkam musuh-musuhnya.  Karena jika kita melihat dari alotnya proses pembahasan ulang UU ITE ini, kita dapat melihat bahwa fenomena ini merupakan fenomena yang sangat sarat akan kepentingan. Mereka merasa bahwa UU ini merupakan senjata ampuh untuk menjebak lawannya jika suatu saat ada yang “bermain-main” dengannya.

Keberlanjutan UU ITE

Dilansir dari website Mahkamah Konstitusi (MK), setidaknya sudah ada 5 putusan terkait pengujian konstitusionalitas UU ITE. Namun hanya satu dari kelima putusan tersebut yang dikabulkan seluruhnya oleh MK, yaitu terkait kewajiban negara menyusun ketentuan mengenai penyadapan melalui undang-undang. Opini MK menganggap UU ini masih penting oleh karena jika pasal ini tidak ada, maka orang akan bebas untuk menghina orang lain.

Selain itu, adanya kepentingan politik para penguasa negeri untuk mempertahankan UU ini, mereka dapat dengan mudahnya “membungkam” suara-suara kritis dengan mengkriminalisasi mereka karena dianggap menghina presiden dan petinggi yang berkuasa. Sehingga yang bisa dilakukan adalah mendorong penghapusan atau paling tidak merevisi pasal-pasal karet UU ITE yang rentan disalahgunakan untuk membatasi hak untuk bebas berpendapat.

Seharusnya pemerintah perlu mengambil langkah besar untuk mendorong jalur-jalur non-pidana seperti alur perdata, sehingga pelaku mendapatkan hukuman berupa denda daripada harus mendekam di sel penjara. Kemungkinan lain yang masih bisa diperjuangkan adalah melalui jalur politik dengan mendorong diadakannya revisi atas UU ITE. Meski telah mengalami amandemen pada tahun 2016, UU ITE masih memiliki pasal-pasal karet yang berpotensi menjadi jerat politik.

Salsabila Tisma Safira
Mahasiswa Program Studi Kebidanan Universitas Brawijaya

Editor: Muflih Gunawan

Baca Juga:
RUU HIP vs Covid-19 di Era New Normal
Pembahasan RUU Hadir di Tengah Ketegangan Masyarakat
GMNI Alor Gelar Aksi Tolak UU MD3

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI