Revisi UU TNI: Ancaman terhadap Demokrasi Indonesia

Revisi UU TNI: Ancaman terhadap Demokrasi Indonesia
Sumber: harianreportase.com/Dok. Ist

Kutipan lagu kebangsaan Indonesia Raya telah memberikan tanda, langkah awal yang harus diambil untuk membangun Indonesia adalah pembangunan jiwa bangsa.

Namun, setelah lebih dari dua dekade reformasi bergulir dan Indonesia perlahan membangun sistem demokrasi yang menjunjung tinggi supremasi sipil.

Apa jadinya jika fondasi yang telah dibangun dengan susah payah kini terancam oleh kebijakan yang membawa kita mundur ke masa lalu?

Revisi Pasal 47 UU TNI yang baru-baru ini disahkan telah membuka pintu lebar bagi prajurit aktif untuk menduduki jabatan-jabatan sipil di berbagai institusi pemerintahan, termasuk kementerian dan lembaga non-pertahanan.

Kebijakan ini bagaikan déjà vu yang membawa kita kembali ke era dwifungsi ABRI praktik yang telah kita tinggalkan sejak reformasi 1998.

Militer, yang sebelumnya memainkan peran ganda melalui dwifungsi ABRI, seharusnya sudah ditarik dari panggung politik dan diarahkan untuk kembali fokus pada tugas pertahanan negara.

Polemik pun tak terelakkan. Apakah ini bentuk kolaborasi strategis yang dibutuhkan dalam menghadapi tantangan zaman? Ataukah justru sebuah kemunduran yang mengancam prinsip-prinsip demokrasi yang telah kita bangun dengan susah payah?

Sebagai bangsa yang telah merasakan pahitnya otoritarianisme, kita semestinya lebih waspada terhadap kebijakan-kebijakan yang berpotensi menggerus prinsip-prinsip demokrasi.

Keterlibatan militer dalam ranah sipil bukan sekadar masalah administratif, melainkan persoalan fundamental tentang bagaimana kita memandang demokrasi dan supremasi sipil.

Para pendukung revisi UU TNI menyebut bahwa keterlibatan militer di ranah sipil bukanlah bentuk kemunduran, melainkan respons terhadap realitas baru yang semakin kompleks.

Dunia kini menghadapi ancaman non-tradisional, seperti kejahatan siber, krisis iklim, hingga pandemi global, semuanya membutuhkan respons yang cepat, terorganisir, dan berdisiplin tinggi. Di sinilah kehadiran prajurit TNI dianggap bisa menjadi solusi.

Namun, organisasi masyarakat sipil seperti YLBHI dan Jaringan Gusdurian telah menyuarakan keprihatinan mereka. Mereka dengan tegas menolak revisi ini karena dianggap mengancam supremasi sipil dan mengurangi profesionalisme TNI.

Bukankah seharusnya prajurit aktif fokus pada tugas utama mereka, menjaga pertahanan negara alih-alih terjun ke ranah politik atau administrasi pemerintahan?

Sistem meritokrasi yang seharusnya menjadi tulang punggung birokrasi kita pun terancam.

Ketika jabatan-jabatan sipil strategis diisi oleh personel militer aktif, apa yang terjadi dengan ribuan aparatur sipil negara yang telah mempersiapkan diri, mengasah kompetensi, dan meniti karir dengan harapan suatu saat dapat berkontribusi pada posisi tersebut?

Yang lebih memprihatinkan, proses pembahasan dan pengesahan RUU TNI ini dinilai tidak transparan dan minim partisipasi publik.

Kebijakan yang menyangkut hajat hidup orang banyak semestinya melibatkan diskusi publik yang luas, bukan diputuskan di ruang-ruang tertutup oleh segelintir elit.

Para pengkritik revisi ini menganggap bahwa keterlibatan prajurit aktif dalam jabatan sipil secara langsung menggerus prinsip utama demokrasi: supremasi sipil atas militer.

Selain itu, ada kekhawatiran bahwa keterlibatan militer dalam jabatan sipil bisa menimbulkan konflik kepentingan dan membuka peluang politisasi TNI.

Ketika seorang prajurit aktif menjabat di kementerian atau lembaga sipil, apakah ia akan menjalankan tugasnya dengan sudut pandang birokrasi, atau tetap dalam kerangka kedisiplinan militer?

Para pakar hukum dan akademisi telah memperingatkan bahwa revisi UU TNI ini dapat membawa Indonesia kembali ke era militerisme ala Orde Baru.

Orde yang dulu kita tolak karena membawa penderitaan dan pembungkaman suara-suara kritis. Ironisnya, peringatan ini seolah diabaikan demi kepentingan jangka pendek.

Dalam kondisi seperti ini, penting bagi kita untuk melihat masalah ini secara seimbang. Tidak dapat disangkal bahwa TNI telah dan akan terus menjadi bagian penting dari bangsa ini.

Namun, peran itu harus ditempatkan dalam kerangka konstitusional yang jelas. Keterlibatan militer dalam ranah sipil, jika benar-benar dibutuhkan, harus dilakukan dengan prinsip kehati-hatian yang tinggi.

Kolaborasi sipil-militer bisa saja terjadi dalam kondisi tertentu, tetapi harus dibatasi secara tegas.

Misalnya, hanya prajurit yang mendekati masa pensiun yang dapat ditugaskan di jabatan sipil, dengan proses seleksi terbuka dan persetujuan dari lembaga sipil yang berwenang.

Di sisi lain, jabatan yang boleh diisi juga harus dibatasi hanya untuk posisi yang bersifat strategis dan temporer, bukan jabatan struktural tetap.

Transparansi dan akuntabilitas harus menjadi kunci. Mekanisme pengawasan dari DPR dan masyarakat sipil perlu diperkuat agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang atau pengerdilan institusi sipil.

Selain itu, diperlukan juga penguatan kapasitas ASN agar tidak selalu bergantung pada militer dalam menangani tugas-tugas berat.

Sebagai bangsa yang pernah mengalami trauma kolektif akibat dominasi militer dalam politik, kita perlu lebih kritis terhadap kebijakan yang berpotensi mengembalikan praktik-praktik masa lalu.

Reformasi 1998 bukanlah peristiwa biasa; ia adalah titik balik sejarah yang menandai tekad bangsa untuk bergerak menuju demokrasi yang lebih substantif.

Mari kita ingat kembali semangat reformasi 1998 yang menuntut supremasi sipil dalam pemerintahan.

Ketika darah reformasi mengalir di jalan-jalan ibu kota, yang diperjuangkan bukan sekadar pergantian rezim, melainkan perubahan fundamental dalam sistem politik kita—termasuk memisahkan militer dari politik praktis.

Demokrasi bukan hanya tentang pemilu lima tahunan atau kebebasan berekspresi, tetapi juga tentang tata kelola kekuasaan yang jernih dan tidak tumpang tindih.

Ketika batas antara militer dan sipil mulai kabur, kita patut bertanya: ke mana arah demokrasi kita?

RUU TNI, dalam wujudnya yang sekarang, membuka peluang bagi kekaburan peran tersebut. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah dan DPR untuk meninjau ulang pasal-pasal yang berpotensi merusak keseimbangan kekuasaan.

Jika tidak, sejarah bisa saja terulang. Dan kali ini, kita mungkin tidak seberuntung dulu dalam memperjuangkan kembali reformasi.

Seperti yang pernah dikatakan oleh salah satu bapak reformasi, Gus Dur, “Demokrasi membutuhkan usaha bersama yang terus-menerus dari seluruh rakyat untuk menjaganya.” Kini, usaha itu kembali diuji dengan revisi UU TNI yang kontroversial ini.

 

Penulis: Wanda Aulia Putri
Mahasiswa Prodi Agroekoteknologi, Universitas Brawijaya

Editor: Siti Sajidah El-Zahra
Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses