Di tengah pandemi Covid-19, DPR dan pemerintah kembali menggulirkan bahasan terkait revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Suara penolakan, datang dari Demokrat, NasDem, dan Partai Amanat Nasional (PAN). Politikus Demokrat Didik Mukrianto menilai tak elok jika revisi KUHP dibahas saat Indonesia tengah dibekap pandemi.
“Seharusnya DPR mengutamakan dulu keselamatan masyarakat. Tunda dulu pembahasan UU termasuk RUU KUHP hingga Indonesia terbebas dari Covid-19,” ucapnya kepada Alinea.id, Minggu (5/4). Menurut dia, draf revisi KUHP masih membutuhkan sosialisasi dan uji publik yang lebih luas supaya tidak terus diselimuti kontroversi. Ia memandang sulit melibatkan publik dalam pembahasan dalam situasi saat ini.
OMNIBUS LAW DAN UU No.13/2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN
(TAHAP: PEMBAHASAN)
Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja telah diserahkan poleh pemerintah kepada DPR. RUU Cipta Kerja yang ditujukan untuk menarik investasi dan memperkuat perekonomian nasional ini mendapat banyak kritik dari berbagai pihak, dimana terdapat beberapa aturan kontroversial dalam RUU Omnibus law cipta lapangan kerja. Berikut ini 5 aturan kontroversi RUU Omnibus law cipta lapangan kerja:
1. Hak Cuti dan istirahat
Salah satu aturan yang memancing kontroversi dalam RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja adalah aturan hak cuti yang diatur dalam pasal 79 ayat 1 hingga 5. Pasal tersebut memuat berbagai macam perubahan dari UU Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003 pasal 79, di antaranya:
•Meniadakan hak cuti mingguan, sehingga hak cuti mingguan yang seharusnya ada selama 2 hari libur dalam seminggu kerja, yang tertulis dalam draft hanya 1 hari libur dalam seminggu kerja.
•Menyerahkan hak cuti panjang kepada perusahaan, RUU Omnibus law tidak mencantumkan hak cuti panjang selama 2 bulan bagi karyawan yang sudah bekerja selama 6 tahun secara terus menerus dan menyerahkan aturan itu kepada perusahaan atau perjanjian kerja sama yang disepakati
•Tidak adanya hak cuti haid bagi perempuan. Omnibus law tidak menuliskan hak cuti haid di hari pertama dan kedua masa menstruasi yang sebelumnya diatur dalam UU Ketenagakerjaan.
•Tidak adanya hak cuti penting, draft itu pula tidak mengatur tentang cuti penting seperti cuti dengan alasan menikah, menikahkan, membaptis, mengkhitan, meninggal dunia, dan karyawan yang istrinya melahirkan atau keguguran.
•Tidak adanya hak cuti menjalankan ibadah keagamaan dan cuti karena bela negara.
2. Upah
RUU Omnibus Law Cipta Lapangan kerja EKRUT
Pemerintah juga mengubah aturan mengenai upah minimum pekerja-EKRUT. Selain melakukan berbagai macam perubahan dalam hak cuti, ternyata RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja juga mengubah isi dari aturan tentang upah yang terdapat dalam UU Ketenagakerjaan nomor 13 tahun 2003 seperti:
- Adanya upah satuan hasil dan waktu. Upah satuan hasil adalah upah yang ditetapkan berdasarkan satu waktu seperti harian, mingguan atau bulanan. Sementara upah satuan hasil adalah upah yang ditetapkan berdasarkan hasil dari pekerjaan yang telah disepakati.
- Meniadakan upah minimum sektoral kabupaten/ kota (UMK), sehingga penentuan upah hanya berdasarkan Upah Minimum Provinsi. Hal ini akan merugikan pekerja, contoh UMK Karawang mencapai Rp 4.594.324. Sedangkan UMP Jawa Barat pada 2020 hanya Rp 1.8 juta. Bila disesuaikan dengan UMP bisa jadi upah minimum Karawang nantinya hanya Rp 1.8 juta saja.
- Perbedaan rumus hitung upah minimum. Pemerintah juga mengatur rumus besaran upah minimum yang ditetapkan dalam RUU Omnibus Llaw Cipta Lapangan kerja menjadi: UMt+1 = UMt + (UMt x %Pet) dari sebelumnya UMt+{UMt x (INFLASIt + % ∆ PDBt).
3. Pesangon
Catatan lain dari RUU yang memicu kontroversi adalah tentang uang pesangon yang diberikan perusahaan kepada karyawan saat PHK terjadi. Berikut beberapa poin perbedaannya dengan UU Ketenagakerjaan nomor 13 tahun 2003.
- Tidak adanya uang penggantian hak. UU Ketenagakerjaan pasal 156 menyebutkan bila PHK terjadi, maka pengusaha wajib membayar uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak. Sayangnya uang penggantian hak tidak tercatat di dalam draft RUU Omnibus ini.
- Uang penghargaan masa kerja 24 tahun dihapus. RUU Omnibus law juga menghapus poin H dalam pasal 156 ayat 3 terkait uang penghargaan bagi karyawan yang memiliki masa kerja 24 tahun atau lebih yang seharusnya menerima uang penghargaan sebanyak 10 bulan upah.
- Uang pesangon bagi karyawan yang di PHK karena surat peringatan dihapus. Padahal dalam UU Ketenagakerjaan pasal 161 menyebutkan karyawan yang di PHK karena mendapat surat peringatan memiliki hak mendapatkan pesangon.
- Menghapuskan uang pesangon bagi karyawan yang di PHK karena peleburan, pergantian status kepemilikan perusahaan. Karyawan di PHK karena pergantian status kepemilikan perusahaan tidak akan diberi pesangon lagi oleh perusahaan awal sebab hal ini sudah dihapus dalam draft Omnibus law.
- Menghapuskan uang pesangon bagi karyawan yang di PHK karena perusahaan merugi 2 tahun dan pailit. Pemerintah telah menghapus UU Ketenagakerjaan pasal 164 dan 165 di dalam draft RUU Omnibus law. Jadi nantinya karyawan yang di PHK karena perusahaan mengalami kerugian dan pailit tidak mendapatkan pesangon.
- Menghapuskan uang santunan berupa pesangon bagi ahli waris atau keluarga apabila karyawan meninggal. Draft RUU Omnibus juga telah menghapus pemberian uang santunan berupa pesangon, hak uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak bagi ahli waris yang ditinggalkan.
- Menghapuskan uang pesangon bagi karyawan yang di PHK karena akan memasuki usia pensiun. Pemerintah telah menghapus pasal 167 UU Ketenagakerjaan yang isinya mengatur pesangon bagi karyawan yang di PHK karena memasuki usia pensiun.
- Menghapus sanksi pidana bagi perusahaan yang tidak mengikutsertakan karyawan dalam jaminan pensiun. Dengan menghapus pasal 184 UU Ketenagakerjaan.
4. PHK
RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja masih menyisakan banyak polemik dalam aturan terkait pemutusan hubungan kerja. Setidaknya ada 9 alasan perusahaan boleh melakukan PHK seperti:
- Perusahaan bangkrut;
- Perusahaan tutup karena merugi;
- Perubahan status perusahaan;
- Karyawan melanggar perjanjian kerja;
- Karyawan melakukan kesalahan berat;
- Karyawan memasuki usia pensiun;
- Karyawan mengundurkan diri;
- Karyawan meninggal dunia;
- Karyawan mangkir
Sementara, sekarang pemerintah menambah 5 poin lagi alasan perusahaan boleh melakukan PHK di dalam draft RUU Omnibus Law, meliputi:
- Perusahaan melakukan efisiensi;
- Perusahaan melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan perusahaan;
- Perusahaan dalam keadaan penundaan kewajiban pembayaran utang;
- Perusahaan melakukan perbuatan yang merugikan pekerja;
- Pekerja/buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 (dua belas) bulan.
5. Status pekerja
Draft RUU Omnibus Law Cipta Lapangan kerja telah menghapus pasal 59 UU Ketenagakerjaan yang mengatur tentang syarat pekerja waktu tertentu atau pekerja kontrak. Sementara bila melihat UU yang lalu, kontrak terhadap pekerja itu maksimal dilakukan 2 tahun, lalu boleh diperpanjang kembali dalam waktu 1 tahun. Dengan dihapuskannya aturan tersebut, maka menurut Said Iqbal selaku Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia kemungkinan pekerja atau buruh bisa saja dikontrak selamanya.
Selain lima aturan kontroversial RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja di atas, masih banyak aturan lain yang menjadi perdebatan, seperti aturan tentang tenaga kerja asing, jam kerja yang eksploitasi, hilangnya jaminan sosial hingga hukum pidana yang dihilangkan.
RUU MINERBA NOMOR 3/2020 DAN UU NOMOR 4/2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA (MINERBA)
(TAHAP: SELESAI)
DPR RI telah mengesahkan revisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba) dalam sidang paripurna yang berlangsung di Jakarta pada Selasa (12/5/2020). Sidang paripurna DPR mengesahkan revisi UU Minerba itu menjadi undang-undang.
Pemerintah secara sadar memberikan bentuk jaminan (bailout) untuk melindungi keselamatan elite korporasi, tetap tidak bagi lingkungan hidup dan rakyat,” kata Koordinator Jaringan Advokasi Tambang, Merah Johansyah, Selasa, 12 Mei 2020.
Menurut Merah, kini koalisi masyarakat sipil tengah menimbang langkah yang akan diambil setelah UU itu resmi disahkan. “Kami sedang menimbang langkah-langkahnya, baik hukum maupun nonhukum.” Ada sejumlah pasal kontroversial dalam aturan soal mineral dan batu bara serta pasal-pasal penting yang dihapus dari UU lama. Berikut daftarnya:
1. Pasal 1 ayat (13a)
Ada ketentuan baru bernama Surat Izin Penambangan Batuan (SIPB), yakni izin yang diberikan untuk melaksanakan kegiatan usaha pertambangan batuan jenis tertentu atau untuk keperluan tertentu. Pasal ini dinilai membuka ruang rente baru.
2. Pasal 1 ayat 28a
Pasal ini mengatur bahwa Wilayah Hukum Pertambangan adalah seluruh ruang darat, ruang laut, termasuk ruang dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah yakni kepulauan Indonesia, tanah di bawah perairan, dan landas kontinen.
Definisi yang baru ada di UU anyar ini mengancam ruang hidup masyarakat karena seluruh kegiatan, mulai dari penyelidikan hingga pertambangan masuk dalam ruang hidup masyarakat.
3. Pasal 4 ayat 2
Pasal ini mengatur bahwa penguasaan mineral dan batu bara diselenggarakan oleh pemerintah pusat. Dalam UU lama, pasal itu juga memberikan kewenangan untuk pemerintah daerah. UU Minerba baru ini mengatur semua kewenangan perizinan tak lagi ada di pemerintah daerah, melainkan ditarik ke pusat. Sentralisasi ini dinilai bertentangan dengan semangat otonomi daerah.
4. Pasal 22
Pasal 22 huruf a dan d tentang kriteria menetapkan WPR telah membuka ruang bagi penambangan di sungai dengan luas maksimal 100 hektar, setelah mengubah luas maksimal sebelumnya 25 hektar.
5. Pasal 42 dan Pasal 42A
Pasal ini dianggap mempermudah pengusaha pertambangan mineral dan batu bara dalam menguasai lahan dalam jangka waktu yang lebih lama untuk keperluan eksplorasi. Sebelumnya waktu yang diberikan untuk eksplorasi adalah 2 tahun.
Dengan UU baru, pengusaaan tanah dalam skala besar oleh pengusaha tambang setidaknya 8 tahun dan dapat diperpanjang satu tahun setiap kali perpanjangan. Penguasaan lahan lebih lama ini dinilai berpeluang untuk land banking.
6. Dihapusnya Pasal 83 ayat (2) dan (4) UU Minerba Lama
Pasal 83 ayat (2) UU Minerba lama mengatur batasan luas WIUPK untuk produksi pertambangan mineral logam paling banyak 25 ribu hektare. Adapun Pasal 83 (4) UU lama menyebut batasan luas WIUPK untuk produksi pertambangan batu bara paling banyak 15 ribu hektare.
7. Pasal 162 dan 164
Dua pasal ini dinilai membuka peluang kriminalisasi terhadap warga penolak tambang. Pasal 162 menyebut bahwa “Setiap orang yang merintangi atau mengganggu kegiatan Usaha Pertambangan dari pemegang IUP, IUPK, IPR atau SIPB yang telah memenuhi syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Adapun Pasal 164 mengatur soal sanksi tambahan bagi orang yang dimaksud dalam Pasal 162. Sanksi tambahan itu berupa perampasan barang yang digunakan dalam melakukan tindak pidana, perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana, dan/atau kewajiban membayar biaya yang timbul akibat tindak pidana.
8. Dihapusnya Pasal 165 UU Minerba Lama
Pasal 165 dalam UU Minerba lama memuat sanksi pidana bagi pejabat yang korupsi Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin Pertambangan Rakyat (IPR), dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Pasal itu menyebut, “Setiap orang yang mengeluarkan IUP, IPR, atau IUPK yang bertentangan dengan Undang-Undang ini dan menyalahgunakan kewenangannya diberi sanksi pidana paling lama 2 (dua) tahun penjara dan denda paling banyak Rp200.000.000 (dua ratus juta rupiah).
Namun ketentuan ini hilang dalam UU baru. Sejumlah pihak menilai hilangnya UU ini membuka celah bagi korupsi di bidang minerba.
9. Pasal 169A
Pasal ini mengatur tentang perpanjangan kontrak karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) tanpa melalui lelang. KK dan PKP2B diberi jaminan perpanjangan otomatis 2×10 tahun tanpa harus mengurangi perluasan wilayahnya.
Padahal, UU yang lama mengatur kawasan harus dikembalikan kepada negara setiap habis kontrak dan dilelang ulang. Pasal dalam UU anyar ini dinilai membuka celah perpanjangan sejumlah perusahaan raksasa minerba yang akan selesai masa kontraknya.
10. Pasal 169B ayat (5)
Pemegang KK dan PKP2B dalam mengajukan permohonan IUPK sebagai kelanjutan Operasi Produksi Kontrak/Perjanjian dapat mengajukan permohonan wilayah di luar WIUPK untuk tahap kegiatan operasi produksi kepada menteri untuk menunjang kegiatan usaha pertambangan. Pasal ini dianggap memberikan keistimewaan bagi pemegang IUPK untuk mendapatkan konsesi tambahan.
RUU HALUAN IDEOLOGI PANCASILA(HIP)
(TAHAP: PENETAPAN USUL)
•UU Usulan Komisi/Anggota/Badan Legislasi pada 22 April 2020 dengan agenda rapat Pengambilan Keputusan/PAF atas Penyusunan RUU tentang Haluan Ideologi Pancasila. Pada rapat ini sudah dilampirkan Draft RUU HIP dan Pendapat para Fraksi-Fraksi di DPR.
•Berdasarkan pendapat Fraksi-Fraksi (F-PDI Perjuangan, F-PGolkar, F-PGerindra, F-PNasdem, F-PKB, F-PAN, dan F-PPP) menerima hasil kerja Panja dan menyetujui RUU tentang Haluan Ideologi Pancasila untuk kemudian diproses lebih lanjut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
•Sementara itu, F-PDemokrat tidak menyampaikan pendapatnya karena berdasarkan pertimbangan situasi dan kondisi masyarakat yang sedang kesulitan menghadapi wabah Covid-19 serta dampaknya, F-PDemokrat kemudian menarik keanggotaan dari Panja RUU tentang Haluan Ideologi Pancasila.
12 Mei 2020 : Penetapan Usul DPR
Rapat selanjutnya adalah Rapat Paripurna dalam rangka Pengambilan Keputusan/PAF RUU tentang Haluan Ideologi Pancasila menjadi RUU Usul DPR pada 12 Mei 2020. Rapat Paripurna DPR akhirnya menyetujui RUU HIP menjadi usul inisiatif dan masuk Program Legislasi Nasional. Dalam Pasal 7 RUU HIP dituliskan:
(1) Ciri pokok Pancasila adalah keadilan dan kesejahteraan sosial dengan semangat kekeluargaan yang merupakan perpaduan prinsip ketuhanan, kemanusiaan, kesatuan, kerakyatan/demokrasi politik dan ekonomi dalam satu kesatuan.
(2) Ciri Pokok Pancasila berupa trisila, yaitu: sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, serta ketuhanan yang berkebudayaan.
(3) Trisila sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terkristalisasi dalam ekasila, yaitu gotong-royong.
“Memeras Pancasila menjadi Trisila lalu Ekasila yakni ‘gotong-royong’ adalah nyata-nyata upaya pengaburan makna Pancasila sendiri,” kata MUI, mengutip maklumat MUI Pusat dan MUI se-provinsi Indonesia, Jumat (12/6).
“Dan secara terselubung ingin melumpuhkan keberadaan sila pertama,” katanya lagi.
MUI juga mempertanyakan dan memprotes tidak dicantumkannya TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Larangan Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam draf RUU.
FAKTA OPINI
Tentu Mahasiswa tidak buta, meski unjuk rasa terbataskan keadaan pandemi. Reaksi pastinya akan tetap ada, di beberapa kampus mengadakan diskusi online terkait perubahannya RUU dan kebijakan yang sulit diterima bahkan membuat Press Release agar mendapat publitas dari masyarakat dan menjadi poin penting bagi pemerintah. Aksi seruan media pun terlihat di mana-mana, seperti Seruan Terbuka Dari BEM SI(Seluruh Indonesia) melalui akun Facebook (https://m.facebook.com/pg/aliansibemseluruhindonesia/posts/) dan Instagram (https://instagram.com/bem_si) .
Tidak hanya BEM SI, lembaga-lembaga eksekutif lain dan tidak sedikit juga yang mencoba menunjukkan reaksi, untuk memberitahu bahwa kami peduli dan tidak juga tuli.
Beberapa permasalahan yang memunculkan reaksi:
Hak dasar yang dimiliki oleh tiap individu dalam sebuah negara tercantum pada konstitusinya, Di Indonesia kebebasan untuk berpendapat diatur dalam Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”) sebagai berikut:
• Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
Justice Majesty Index Martha
Mahasiswa Universitas Achmad Yani Banjarmasin