Polemik Disahkannya OMNIBUS LAW Undang-Undang Cipta Kerja

Disahkannya Omnibus law UUD

Pada saat ini isu mengenai omnibus law menjadi isu yang paling sering dibicarakan baik di kalangan elit politik maupun masyarakat kelas bawah. Peresmian omnibus law menjadi daya tarik bagi semua orang. Terjadi perdebatan yang sangat sengit mengenai disetujuinya omnibus law oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), ada yang mendukung dan tidak sedikit pula yang justru menentang diresmikannya omnibus law.

Walau istilah omnibus law menjadi istilah yang sering disebutkan oleh banyak orang sekarang ini, tapi tidak sedikit pula yang tidak memahami apa itu omnibus law. Secara gramatikal, yakni kata omnibus yang berasal dari bahasa Latin berarti “untuk semuanya”.[1] Dari definisi omnibus ini dikaitkan dengan omnibus bill. Omnibus bill adalah sebuah RUU dalam satu bentuk yang mengatur bermacam-macam hal yang terpisah dan berbeda, dan sering kali menggabungkan sejumlah subjek yang berbeda dalam satu cara, sedemikian rupa sehingga dapat memaksa eksekutif untuk menerima ketentuan yang tidak disetujui atau juga membatalkan seluruh pengundangan.[2] Secara sederhana omnibus law merupakan undang-undang yang substansinya merevisi dan/atau mencabut banyak undang-undang.

Sebenarnya keberadaan omnibus law ini dapat membantu penyederhanaan peraturan yang terlalu banyak dan tumpang tindih satu sama lain. Namun permasalahan peraturan adalah masalah yang rumit. Masalah yang terjadi bukan hanya sekedar jumlah peraturan yang banyak, tapi masalah diharmonis antar peraturan, kurangnya partisipasi publik, ego sektoral sampai isi yang tidak sesuai dengan materi muatan.

Bacaan Lainnya
DONASI

Presiden Joko Widodo dalam pidato pelantikannya di Sidang Paripurna MPR RI pada 20 Oktober 2019 menyampaikan 5 (lima) hal yang akan dikerjakan selama lima tahun ke depan. Salah satunya adalah menyederhanakan segala bentuk kendala regulasi. Pemerintah akan mengajak DPR untuk menerbitkan dua undang-undang besar. Pertama, Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja. Kedua, Undang-Undang Pemberdayaan UMKM. Masing-masing undang-undang tersebut akan menjadi Omnibus Law, yaitu satu undang-undang yang sekaligus merevisi beberapa undang-undang, bahkan puluhan undang-undang yang menghambat penciptaan lapangan kerja dan menghambat pengembangan UMKM juga akan langsung direvisi.

[1] Edelweis Lararenjana, “Mengenal Apa Itu Omnibus Law Beserta Konsep dan Sejarah Perkembangannya”, diakses 15 Oktober 2020, Merdeka.com, https://m.merdeka.com/jatim/mengenal-apa-itu-omnibus-law-beserta-konsep-dan-sejarah-perkembangannya-kln.html? [2] Ibid

Tujuan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat membuat omnibus law ini untuk menyederhanakan berbagai peraturan perundang-undangan untuk menciptakan lapangan pekerjaan yang lebih luas bagi rakyat. Omnibus law diklaim bertujuan untuk menangani segalam permasalahan di dunia ekonomi dan bisnis. Melalui omnibus law ini diharapkan menyerap dana investasi yang besar untuk menciptakan lapangan pekerjaan.

Salah satu omnibus law yang baru saja disahkan oleh DPR adalah Undang-Undang Cipta Kerja. Undang-undang ini menimbulkan banyak pertentangan di kalangan masyarakat. Masyarakat menilai bahwa adanya undang-undang ini lebih mementingkan para pebisnis ketimbang masyarakat sebagai pekerja.

Terdapat berbagai pasal dalam Undang-Undang Cipta Kerja yang menimbulkan perdebatan dan penolakan. Dalam Undang-Undang Cipta Kerja terdapat pemangkasan hari libur bagi pekerja. Ketentuan tersebut terdapat pada Pasal 79 ayat (2) huruf (b), Pasal 79, ayat (3), ayat (4) dan ayat (5). Semua pasal itu mengatur cuti mingguan, cuti tahunan serta menghapus kewajiban perusahaan untuk memberikan istirahat panjang dua bulan bagi pekerja yang sudah bekerja selama enam tahun berturut-turut dan berlaku tiap kelipatan masa kerja enam tahun.[3]

Selain itu, dalam Undang-Undang Cipta Kerja menghapus aturan mengenai jangka waktu perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) atau pekerja kontrak. Sebelumnya dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan masa kontak kerja adalah dua tahun dan dapat diperpanjang satu kali dengan masa waktu satu tahun. Dengan peraturan yang baru ini terdapat kekhawatiran bahwa pengusaha dapat memiliki kekuasaan untuk mempertahankan status pekerja kontrak tanpa batas.[4]

Peraturan lain yang banyak disorot adalah penghapusan sanksi bagi perusahan yang pembayar upah tidak sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan. Jika sebelumnya upah pekerja ditentukan oleh perjanjian antara perusahaan dan pekerja dan jumlahnya tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tapi dalam peraturan yang baru, ketentuan tersebut dihapuskan. Selain itu, adanya pesangon pemutusan hubungan kerja (PHK) yang diturunkan dari 32 kali upah menjadi 25 kali upah. Dengan rincian 19 kali upah ditanggung pemberi kerja dan 6 kali upah ditanggung melalui program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).[5]

[3] Lusiana Mustinda, “Omnibus Law UU Cipta Kerja: Draf, Tujuan, Poin, serta Mengapa Banyak Ditolak?”, diakses 15 Oktober 2020, detiknews, https://news.detik.com/berita/d-5202254/omnibus-law-uu-cipta-kerja-draf-tujuan-poin-serta-mengapa-banyak-ditolak. [4] Ibid.

Disahkannya Undang-Undang Cipta Kerja membuat kalangan terpecah menjadi dua kubu. Di mana satu kubu mendukung undang-undang tersebut dan satu kubu menentang undang-undang tersebut. Salah satu yang menyambut baik disahkannya undang-undang tersebut adalah para pengusaha. Menurut Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Bidang Hubungan Internasional Shinta Widjaya Kamdani, kalangan dunia usaha menyambut baik dan memberikan apresiasi kepada pemerintah dan DPR.[6] Selain itu, ekonom Bahana Sekuritas, Putera Satria Sambijantoro menilai bahwa omnibus law UU Cipta Kerja dapat menyederhanakan persyaratan yang berlapis dan bertentangan. Antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah karena adanya pengambilan keputusan ekonomi yang lebih terpusat.[7]

Namun tidak sedikit pula yang mentang berlakunya Undang-Undang Cipta Kerja. Banyaknya ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Cipta Kerja yang dapat merugikan bagi pekerja, terjadi banyak penolakan atas disahkannya undang-undang tersebut terutama para pekerja yang memang terdampak secara langsung. Menurut Amnesty International Indonesia bahwa Undang-Undang Cipta Kerja yang baru disahkan DPR sangat tidak progresif dan banyak ketentuan dalam UU tersebut yang melanggar prinsip non-retrogresi sehingga membawa kemunduran dalam hal pemenuhan hak-hak masyarakat.[8]

Berlakunya Undang-Undang Cipta Kerja yang justru menimbulkan banyak keresahan di masyarakat ini, menandakan bahwa sistem pembuatan peraturan perundang-undangan di Indonesia harus diperbaiki. Aspirasi masyarakat dalam pembautan sebuah undang-undang mutlak diperlukan agar undang-undang yang dihasilkan adalah undang-undang yang bertujuan untuk kemaslahatan masyarakat. Undang-undang dibuat haruslah bertujuan untuk menyejahterakan rakyat.

[5] Ibid. [6] Vina Fadhrotul Mukaromah, “Ini Pro Kontra yang Muncul Setelah Omnibus Law UU Cipta Kerja Disahkan”, diakses 15 Oktober 2020, kompas.com, https://www.kompas.com/tren/read/2020/10/07/143101665/ini-pro-kontra-yang-muncul-setelah-omnibus-law-uu-cipta-kerja-disahkan?page=all#page2. [7] Ibid. [8] Ibid.

Rizal Ananda Mulya
Mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam

Editor: Diana Pratiwi

Baca Juga:
GMNI STIA-LAN Menilai Omnibus Law Tidak Pro Kelas Pekerja
IKAMI Jogja Kecam Penganiayaan Dosen Korban Salah Tangkap Saat Demo Tolak Omnibus Law di Makassar
PB IKAMI Sulsel: UU Omnibus Law dapat Merugikan Pekerja

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI